Pemerintahan
Dinasti Umayyah (41-132 H)
Periode Negara
Madinah berakhir dengan wafatnya Khalifah Ali bin Abi Thalib. Tokoh yang naik
ke panggung politik dan pemerintahan adalah Muawiyyah bin Abu Sufyan, Gubernur
wilayah Syam sejak zama Khalifah Umar. Ia adalah pendiri dan Khalifah pertama
Dinasti ini. Terbentuknya dinasti Muawiyah memangku jabatan khalifah secara
resmi,menurut ahli sejarah, terjadi pada tahun 661 M/ 41 H. Bukan pada
pertengahan tahun 600 M/ 40 H pada saat Umayyah memproklamirkan diri menjadi
khalifah di Iliya (Palestina), setelah pihaknya dinyatakan oleh Majelis Tahkim
sebagai pemenang.
Peristiwa itu
terjadi setelah Hasan bin Ali yang dibaiat oleh pengikut setia Ali menjadi
Khalifah, sebagai pengganti Ali, mengundurkan diri dari gelanggang politik.
Sebab ia tidak ingin lagi terjadi pertumpahan darah yang lebih besar, dan
menyerahkan kekuasaan sepenuhnya kepada Muawiyah. Langkah penting Hasan bin Ali
ini dapat dikatakan sebagai usaha rekonsiliasi umat Islam yang terpecah belah.
Karenanya peristiwa itu dalam sejarah Islam dikenal dengan tahun persatuan (am
al-jama’at). Yaitu episode sejarah yang mempersatukan umat kembali berada
di bwah kekuasaan seorang khalifah.
Muawiyah
dikenal sebagai seorang politikus dan administrator yang pandai. Umar bin
Khattab sendiri pernah menilainya sebagai seorang yang cakap dalam urusan
politik pemerintahan, cerdas dan jujur. Ia juga dikenal seorang negarawan yang
ahli bersiasat, piawai dalam merancang taktik dan strategi, disamping kegigihan
dan keuletan serta kesediaannya menempuh segala cara dalam berjuang. Untuk
mencapai citi-citanya karena pertimbangan politik dan tuntutan situasi. Dengan
kemampuan tersebut dan bakat kepemimpinan yang dimilikinya, Muawiyah
dinilaiberhasil merekrut para pemuka masyarakat, politikus dan administrator ke
dalam sistemnya pada zamannya, untuk memperkuat posisinya dipuncak pimpinan.
Muawiyah juga dikenal berwatak keras dan tegas, tapi juga bisa bersifat toleran
dan lapang dada. Hal ini dapat dilihat dalam ucapannya yang terkenal sebagai
prinsip yang ia terapkan dalam memimpin: “Aku tidak mempergunakan pedangku
kalau cambuk saja cukup, dan tidak pula kupergunakan cambukku kalau perkataan
saja sudah memadai, andaikata aku dengan orang lain memperebutkan sehelai
rambut, tiadalah akan putus rambut itu, karena bila mereka mengencangkannya aku
kendorkan, dan bila mereka mengendorkannya akan kukencangkan.” [1]
Sejalan dengan
watak dan prinsip Muawiyah tersebut serta pemikirannya yang perspektif dan
inovatif, ia membuat berbagai kebijaksanaan dan keputusasaan politik dalam dan
luar negeri. Dan jejak ini diteruskan oleh para penggantinya dengan
menyempurnakannya.
Pertama, pemindahan pusat pemerintahan dari Madinah ke Damaskus.
Keputusan ini didasarkan pada pertimbangan politis dan alasan keamanan. Karena
letaknya jauh dari Kufah pusat kaum Syiah pendukung Ali, dan jauh dari Hijaz
tempat tinggal mayoritas Bani Hasyim dan Bani Umayyah, sehingga bisa terhindar
dari konflik yang lebih tajam antara dua Bani itu dalam memperebutkan
kekuasaan. Lebih dari itu, Damaskus yang
terletak di wilayah Syam (Suria) adalah daerah yang berada di bawah genggaman
pengaruh Muawiyah selama 20 tahun sejak ia diangkat menajdi Gubernur di distrik
itu sejak zaman Khalifah Umar bin Khattab.
Kedua, Muawiyah memberi penghargaan kepada orang-orang yang
berjasa dalam perjuangannya mencapai puncak kekuasaan. Seperti Amr bin Ash ia
angkat kembali menjadi gubernur di Mesir, Al-Mughirah bin Syu’bah juga diangkat
menjadi Gubernur di wilayah Persia.
Ketiga, menumpas orang-orang yang beroposisi yang dianggap
berbahaya jika tidak bisa dibujuk dengan harta dan kedudukan, dan menumpas kaum
pemberontak. Ia menupas kaum Khawarij yang merongrong wibawa kekuasaannya dan mengkafirkannya.
Golongan ini menuduhnya tidak mau berhukum kepada al-Qur’an dalam mewujudkan
perdamaian dengan Ali di perang Shiffin melainkan ia mengikuti ambisi hawa
nafsu politik.
Keempat, membangun kekuatan militer yang terdiri dari
tigaangkatan, dart, laut dan kepolisian yang tangguh dan loyal. Mereka diberi
gaji yang cukup, dua kali lebih besar daripada yang diberikan Umar kepada
tentaranya. Ketiga angkatan ini bertugas menjamin stabilitas keamanan dalam
negeri dan mendukung kebijaksanaan politik luar negeri yanitu memperluas
kekuasaan.
Kelima, meneruskan perluasan wilayah kekuasaan Islam baik ke Timur maupun ke Barat. Peluasaan wilayah
ini diteruskan oleh para penerus Muawiyah, seperti Khalifah Abd al-malik ke
Timur, Khalifah al-walid ke barat, dan ke Prancis di zaman Khalifah Umar bin
Abdul Aziz.
Keenam, baik Muawiyah maupun penggantinya membuat kebijaksanaan
yang berbeda dari zaman Khulafa al-Rasyidin. Mereka merekrut orang-orang
non-muslim sebgai pejabat-pejabat dalam pemerintahan, seperti penasehat,
administrator, dokter dan di kesatuan-kesatuan tentara. Tepi di zaman Khalifah
Umar bin Abd Aziz kebijaksanaan itu ia hapuskan. Karena orang-orang non muslim
(Yahudi, Nasrani dan Majusi) yang memperoleh privilege di dalam pemerintahan banyak
merugikan kepentingan umat Islam bahkan menganggap rendah mereka.
Ketujuh, Muawiyah mengadakan pembaharuan di bidang administrasi
pemerintahan dan melengkapinya dengan jabatan-jabatan baru yang dipengarui oleh
kebudayaan Byzantium.
Kedelapan, kebijaksanaan dan keputusan politik penting yang dibuat
oleh Khalifah Muawiyah adalah mengubah sistwm pemerintahan dari bentuk khalifah
yang bercorak demokratis menjadi sistem monarki dengan mengangkat putranya,
Yazid, menjadi putra mahkota untuk menggantikannya sebagai khalifah
sepeninggalannya nanti.
Muawiyah
mengubah sistem pemerintahan menjadi monarki, namun Dinasti ini tetap memakai
gelar Khalifah. Bahkan Muawiyah menyebut dirinya sebagai Amir al-Mu’minin.
[2]
Setelah
‘Ali wafat, kursi jabatan kekhalifahan dialihkan kepada anaknya, Hasan ibn
‘Ali. Hasan diangkat oleh pengikutnya (Syi’ah) yang masih setia di Kuffah.
Tetapi pengangkatan ini hanyalah suatu percobaan yang tidak mendapat dukungan
yang kuat.[3] Hasan menjabat sebagai khalifah
hanya dalam beberapa bulan saja.
Peralihan
Kekuasaan dari Hasan ke Mu’awiyah
Di
tengah masa kepemimpinan Hasan yang makin lemah dan posisi Mu’awiyah lebih
kuat, akhirnya Hasan mengadakan akomodasi atau membuat perjanjian damai.
Syarat-syarat yang diajukan Hasan dalam perjanjian tersebut adalah:
- Agar
Mu’awiyah tidak menaruh dendam terhadap seorangpun dari penduduk Irak.
- Menjamin
keamanan dan memaafkan kesalahan-kesalahan mereka.
- Agar
pajak tanah negeri Ahwaz diperuntukkan kepadanya dan diberikan tiap tahun.
- Agar
Mu’awiyah membayar kepada saudaranya, yaitu Husain, dua juta dirham.
- Pemberian
kepada Bani Hasyim haruslah lebih banyak dari pemberian kepada Bani Abdi
Syams.
Perjanjian itu berhasil mempersatukan umat Islam kembali dalam satu
kepemimpinan politik, di bawah pimpinan Mu’awiyah ibn Abi Sufyan. Dengan kata
lain, Hasan telah menjual haknya sebagai khalifah kepada Mu’awiyah.Akibat
perjanjian itu menyebabkan Mu’awiyah menjadi penguasa absolut. Naiknya
Mu’awiyah menjadi khalifah pada awalnya tidak melalui forum pembai’atan yang
bebas dari semua umat. Mu’awiyah dibai’at pertama kali oleh penduduk Syam
karena memang berada di bawah kekuasaannya, kemudian ia dibai’at oleh umat
secara keseluruhan setelah tahun persatuan atau ‘am jama’ah (661).
Pembai’atan tersebut tidak lain hanyalah sebuah pengakuan terpaksa terhadap
realita dan dalam upaya menjaga kesatuan umat. Maka, di sini telah masuk unsur
kekuatan dan keterpaksaan menggantikan musyawarah. Karenanya dapat dikatakan
bahwa telah terjadi perceraian antara idealisme dan realita.[4]
C. Sistem Pemerintahan dan Orientasi
Kebijakan Politik Umayyah
Pemindahan
kekuasaan kepada muawiyyah mengakhiri bentuk demokrasi kekholifahan menjadi
monarki heridetis, yang diperoleh tidak dengan pemilihan atas suara terbanyak.
Pergantian khalifah secara terumurun dimulai dari sikap muawiyyah mengangkat
anaknya Yazid, sebagai putra mahkota. Sikap muawiyyah seperti ini dipengaruhi
oleh keadaan syiria selama ia menjadi gubernur disana.
Pada
masa muawiyyah mulai diadakan perubahan-perubahan administrasi pemerintahan,
dibentuk pasukan tombak pengawal raja, dan dibangun bagian khusus di dalam
masjid untuk pengamanan tatkala dia menjalankan sholat.
Kebijakan
politik Umayyah, selain usaha-usaha pengamanan di dalam negeri yang sering
dilakukan oleh saingan-saingan politiknya serta pertentangan-pertentangan
suku-suku Arab, adalah upaya perluasan wilayah kekuasaan. Pada zaman Muawiyyah,
Ukbah ibnu Nafi berhasil menguasai Tunis, dan kemudian didirikan kota Qairawan
pada tahun 760 M yang kemudian menjadi salah satu pusat kebudayaan Islam. [5]
D.
Kehancuran
Dinasti Bani Umayyah
Ada
beberapa faktor yang menyebabkan Dinasti Bani Umayyah lemah dan membawanya
kepada kehancuran. Faktor-faktor itu antara lain:
1. Sistem
pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatu yang baru bagi
tradisi Arab yang lebih menekankan aspek senioritas.
2. Latar
belakang terbentuknya Dinasti Bani Umayyah tidak bisa dipisahkan dari
konflik-konflik politik yang diterjadi di masa Ali.
3. Penyebab
langsung tergulingnya kekuasaan Dinasti Bani Umayyah adalah munculnya kekuatan
baru yang dipelopori oleh keturunan Al-Abbas Ibnu Abdul Al-Mutholib. [6]
Perkembangan
pada masa Bani Umayyah
1. Asritektur
Seni
bangunan (arsitektur) pada zaman umayyah bertump pada bangunan sipil berupa
kota-kota, dan bangunan agama berupa masjid-masjid. Beberapa kota baru atau
perbaikan kota lama telah dibangun dalam zaman umayyah yang diiringi
pembangunan berbagai gedung dengan gaya perpaduan Persia, Romawi, dan Arab
dengan dijiwai semangat Islam.
Damaskus
yang pada masa sebelum Islam merupakan ibukota Kerajaan Romawi Timur di Syam,
adalah kota lama yang dibangun kembali pada masa umayyah dan dijadikan ibukota
daulah ini. Di kota ini didirikan gedung-gedung indah yang bernilai seni,
dilengkapi jalan-jalan dan taman-taman rekreasi yang menakjubkan. Muawiyah
membangun “istana hijau” di Miyata dan pada tahun 704 M istana itu diperbarui
oleh Walid ibn Abd al-Malik.
Pada
masa Walid dibangun pula masjid agung yang terkenal dengan nama “Masjid
Damaskus” atas kreasi arsitektur Abu Ubaidah ibn Jarrah Guna keperluan
pembangunannya Khalifah Walid mendatangkan 12.000 orang tukang bangunan dari
Romawi. Masjid ini dibangun berukuran 300x200 m dan memiliki 68 pilar
dilengkapi dinding-dinding berukir yang cukup indah.
2. Organisasi
Militer
Pada
masa umayyah organisasi militer terdiri dari Angkatan Darat (al-Jund), Angkatan Laut (al-Bahriyah) dan Angkatan Kepolisian (as-Syurtah). Berbeda dengan masa Usman,
bala tentara pada masa ini bukan muncul atas kesadaran sendiri untuk melakukan
perjuangan, tetapi semacam dipaksakan. Sesuai dengan politik Arabnya, angkatan
bersenjata terdiri dari orang-orang Arab atau unsur Arab.
Angkatan
Laut, yang sesungguhnya telah dirintis oleh Mu’awiyah sejak masa Umar tatkala
ia akan melakukan penyerangan ke negeri Romawi melalui jalan laut, kemudian
pada masa Usman usahanya itu dilanjutkan dengan resmi menjadi Khalifah Umayyah mulai diusahakan pembuatan
kapal-kapal perang guna menangkis serangan Armada Byzantium serta keperluan
sarana transportasi dalam usaha perluasan kekuasaan Islam ke daerah-daerah
lain.
3. Perdagangan
Setelah
daulah Umayyah berhasil menguasai wilayah yang cukup luas maka lalu lintas
perdagangan mendapat jaminan yang layak. Lalu lintas darat melalui jalan Sutera
ke Tiongkok guna memperlancar perdagangan sutera, keramik, obat-obatan dan
wewangian. Adapun lalu lintas di lautan ke arah negeri-negeri belahan timur
untuk mencari rempah-rempah, bumbu, kasturi, permata, logam mulia, gading, dan
bulu-buluan.
4. Kerajinan
Pada
masa Khalifah Abd Malik mulai dirintis pembuatan tiraz (semacam bordiran), yakni cap resmi yang dicetak pada pakaian
Khalifah dan para pembesar pemerintahan. Format tiraz yang mula-mula
merupakan terjemahan dari rumus Kristen, kemudian oleh Abdul Aziz (Gubernur
Mesir) diganti dengan rumus Islam, lafaz “La
Illaha Illa Allah”. Guna memperlancar produktifitas pakaian resmi kerajaan,
maka Abdul Malik mendirikan pabrik-pabrik kain. Setiap pabrik diawasi oleh “Sahib at-Tiraz”, yang bertujuan
mengawasi tukang emas dan penjahit, menyelidiki hasil karya dan membayar gaji
mereka.
Di bidang seni lukis, sejak Khalifah Mu’awiyah
sudah mendapat perhatian masyarakat. Seni lukis tersebut selain terdapat di
masjid-masjid, juga tumbuh di luar masjid.
5. Reformasi
Fisikal
Selama
pemerintahan umayyah hampir semua pemilik tanah baik muslim maupun non muslim,
diwajibkan membayar pajak tanah. Sementara itu pajak kepala tidak berlaku bagi
penduduk muslim, sehingga banyaknya penduduk yang masuk Islam secara ekonomis
merupakan latarbelakang berkurangnya penghasilan negara.
Di
samping itu, memang masih ada pembedaaan beban pajak antara muslim Arab dan
non-Arab maupun yang non-muslim[7].