Sabtu, 27 Oktober 2012

pemerintahan dinasti umayah


Pemerintahan Dinasti Umayyah (41-132 H)
Periode Negara Madinah berakhir dengan wafatnya Khalifah Ali bin Abi Thalib. Tokoh yang naik ke panggung politik dan pemerintahan adalah Muawiyyah bin Abu Sufyan, Gubernur wilayah Syam sejak zama Khalifah Umar. Ia adalah pendiri dan Khalifah pertama Dinasti ini. Terbentuknya dinasti Muawiyah memangku jabatan khalifah secara resmi,menurut ahli sejarah, terjadi pada tahun 661 M/ 41 H. Bukan pada pertengahan tahun 600 M/ 40 H pada saat Umayyah memproklamirkan diri menjadi khalifah di Iliya (Palestina), setelah pihaknya dinyatakan oleh Majelis Tahkim sebagai pemenang.
Peristiwa itu terjadi setelah Hasan bin Ali yang dibaiat oleh pengikut setia Ali menjadi Khalifah, sebagai pengganti Ali, mengundurkan diri dari gelanggang politik. Sebab ia tidak ingin lagi terjadi pertumpahan darah yang lebih besar, dan menyerahkan kekuasaan sepenuhnya kepada Muawiyah. Langkah penting Hasan bin Ali ini dapat dikatakan sebagai usaha rekonsiliasi umat Islam yang terpecah belah. Karenanya peristiwa itu dalam sejarah Islam dikenal dengan tahun persatuan (am al-jama’at). Yaitu episode sejarah yang mempersatukan umat kembali berada di bwah kekuasaan seorang khalifah.
Muawiyah dikenal sebagai seorang politikus dan administrator yang pandai. Umar bin Khattab sendiri pernah menilainya sebagai seorang yang cakap dalam urusan politik pemerintahan, cerdas dan jujur. Ia juga dikenal seorang negarawan yang ahli bersiasat, piawai dalam merancang taktik dan strategi, disamping kegigihan dan keuletan serta kesediaannya menempuh segala cara dalam berjuang. Untuk mencapai citi-citanya karena pertimbangan politik dan tuntutan situasi. Dengan kemampuan tersebut dan bakat kepemimpinan yang dimilikinya, Muawiyah dinilaiberhasil merekrut para pemuka masyarakat, politikus dan administrator ke dalam sistemnya pada zamannya, untuk memperkuat posisinya dipuncak pimpinan. Muawiyah juga dikenal berwatak keras dan tegas, tapi juga bisa bersifat toleran dan lapang dada. Hal ini dapat dilihat dalam ucapannya yang terkenal sebagai prinsip yang ia terapkan dalam memimpin: “Aku tidak mempergunakan pedangku kalau cambuk saja cukup, dan tidak pula kupergunakan cambukku kalau perkataan saja sudah memadai, andaikata aku dengan orang lain memperebutkan sehelai rambut, tiadalah akan putus rambut itu, karena bila mereka mengencangkannya aku kendorkan, dan bila mereka mengendorkannya akan kukencangkan.” [1]
Sejalan dengan watak dan prinsip Muawiyah tersebut serta pemikirannya yang perspektif dan inovatif, ia membuat berbagai kebijaksanaan dan keputusasaan politik dalam dan luar negeri. Dan jejak ini diteruskan oleh para penggantinya dengan menyempurnakannya.
Pertama, pemindahan pusat pemerintahan dari Madinah ke Damaskus. Keputusan ini didasarkan pada pertimbangan politis dan alasan keamanan. Karena letaknya jauh dari Kufah pusat kaum Syiah pendukung Ali, dan jauh dari Hijaz tempat tinggal mayoritas Bani Hasyim dan Bani Umayyah, sehingga bisa terhindar dari konflik yang lebih tajam antara dua Bani itu dalam memperebutkan kekuasaan.  Lebih dari itu, Damaskus yang terletak di wilayah Syam (Suria) adalah daerah yang berada di bawah genggaman pengaruh Muawiyah selama 20 tahun sejak ia diangkat menajdi Gubernur di distrik itu sejak zaman Khalifah Umar bin Khattab.
Kedua, Muawiyah memberi penghargaan kepada orang-orang yang berjasa dalam perjuangannya mencapai puncak kekuasaan. Seperti Amr bin Ash ia angkat kembali menjadi gubernur di Mesir, Al-Mughirah bin Syu’bah juga diangkat menjadi Gubernur di wilayah Persia.
Ketiga, menumpas orang-orang yang beroposisi yang dianggap berbahaya jika tidak bisa dibujuk dengan harta dan kedudukan, dan menumpas kaum pemberontak. Ia menupas kaum Khawarij yang merongrong  wibawa kekuasaannya dan mengkafirkannya. Golongan ini menuduhnya tidak mau berhukum kepada al-Qur’an dalam mewujudkan perdamaian dengan Ali di perang Shiffin melainkan ia mengikuti ambisi hawa nafsu politik.
Keempat, membangun kekuatan militer yang terdiri dari tigaangkatan, dart, laut dan kepolisian yang tangguh dan loyal. Mereka diberi gaji yang cukup, dua kali lebih besar daripada yang diberikan Umar kepada tentaranya. Ketiga angkatan ini bertugas menjamin stabilitas keamanan dalam negeri dan mendukung kebijaksanaan politik luar negeri yanitu memperluas kekuasaan.  
Kelima, meneruskan perluasan wilayah kekuasaan Islam baik  ke Timur maupun ke Barat. Peluasaan wilayah ini diteruskan oleh para penerus Muawiyah, seperti Khalifah Abd al-malik ke Timur, Khalifah al-walid ke barat, dan ke Prancis di zaman Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Keenam, baik Muawiyah maupun penggantinya membuat kebijaksanaan yang berbeda dari zaman Khulafa al-Rasyidin. Mereka merekrut orang-orang non-muslim sebgai pejabat-pejabat dalam pemerintahan, seperti penasehat, administrator, dokter dan di kesatuan-kesatuan tentara. Tepi di zaman Khalifah Umar bin Abd Aziz kebijaksanaan itu ia hapuskan. Karena orang-orang non muslim (Yahudi, Nasrani dan Majusi) yang memperoleh privilege di dalam pemerintahan banyak merugikan kepentingan umat Islam bahkan menganggap rendah mereka.
Ketujuh, Muawiyah mengadakan pembaharuan di bidang administrasi pemerintahan dan melengkapinya dengan jabatan-jabatan baru yang dipengarui oleh kebudayaan Byzantium.
Kedelapan, kebijaksanaan dan keputusan politik penting yang dibuat oleh Khalifah Muawiyah adalah mengubah sistwm pemerintahan dari bentuk khalifah yang bercorak demokratis menjadi sistem monarki dengan mengangkat putranya, Yazid, menjadi putra mahkota untuk menggantikannya sebagai khalifah sepeninggalannya nanti.
Muawiyah mengubah sistem pemerintahan menjadi monarki, namun Dinasti ini tetap memakai gelar Khalifah. Bahkan Muawiyah menyebut dirinya sebagai Amir al-Mu’minin. [2]
Setelah ‘Ali wafat, kursi jabatan kekhalifahan dialihkan kepada anaknya, Hasan ibn ‘Ali. Hasan diangkat oleh pengikutnya (Syi’ah) yang masih setia di Kuffah. Tetapi pengangkatan ini hanyalah suatu percobaan yang tidak mendapat dukungan yang kuat.[3] Hasan menjabat sebagai khalifah hanya dalam beberapa bulan saja.
 Peralihan Kekuasaan dari Hasan ke Mu’awiyah
Di tengah masa kepemimpinan Hasan yang makin lemah dan posisi Mu’awiyah lebih kuat, akhirnya Hasan mengadakan akomodasi atau membuat perjanjian damai. Syarat-syarat yang diajukan Hasan dalam perjanjian tersebut adalah:
  1. Agar Mu’awiyah tidak menaruh dendam terhadap seorangpun dari penduduk Irak.
  2. Menjamin keamanan dan memaafkan kesalahan-kesalahan mereka.
  3. Agar pajak tanah negeri Ahwaz diperuntukkan kepadanya dan diberikan tiap tahun.
  4. Agar Mu’awiyah membayar kepada saudaranya, yaitu Husain, dua juta dirham.
  5. Pemberian kepada Bani Hasyim haruslah lebih banyak dari pemberian kepada Bani Abdi Syams.
            Perjanjian itu berhasil mempersatukan umat Islam kembali dalam satu kepemimpinan politik, di bawah pimpinan Mu’awiyah ibn Abi Sufyan. Dengan kata lain, Hasan telah menjual haknya sebagai khalifah kepada Mu’awiyah.Akibat perjanjian itu menyebabkan Mu’awiyah menjadi penguasa absolut. Naiknya Mu’awiyah menjadi khalifah pada awalnya tidak melalui forum pembai’atan yang bebas dari semua umat. Mu’awiyah dibai’at pertama kali oleh penduduk Syam karena memang berada di bawah kekuasaannya, kemudian ia dibai’at oleh umat secara keseluruhan setelah tahun persatuan atau ‘am jama’ah (661). Pembai’atan tersebut tidak lain hanyalah sebuah pengakuan terpaksa terhadap realita dan dalam upaya menjaga kesatuan umat. Maka, di sini telah masuk unsur kekuatan dan keterpaksaan menggantikan musyawarah. Karenanya dapat dikatakan bahwa telah terjadi perceraian antara idealisme dan realita.[4]

C.    Sistem Pemerintahan dan Orientasi Kebijakan Politik Umayyah
Pemindahan kekuasaan kepada muawiyyah mengakhiri bentuk demokrasi kekholifahan menjadi monarki heridetis, yang diperoleh tidak dengan pemilihan atas suara terbanyak. Pergantian khalifah secara terumurun dimulai dari sikap muawiyyah mengangkat anaknya Yazid, sebagai putra mahkota. Sikap muawiyyah seperti ini dipengaruhi oleh keadaan syiria selama ia menjadi gubernur disana.
Pada masa muawiyyah mulai diadakan perubahan-perubahan administrasi pemerintahan, dibentuk pasukan tombak pengawal raja, dan dibangun bagian khusus di dalam masjid untuk pengamanan tatkala dia menjalankan sholat.

Kebijakan politik Umayyah, selain usaha-usaha pengamanan di dalam negeri yang sering dilakukan oleh saingan-saingan politiknya serta pertentangan-pertentangan suku-suku Arab, adalah upaya perluasan wilayah kekuasaan. Pada zaman Muawiyyah, Ukbah ibnu Nafi berhasil menguasai Tunis, dan kemudian didirikan kota Qairawan pada tahun 760 M yang kemudian menjadi salah satu pusat kebudayaan Islam. [5]

D.    Kehancuran Dinasti Bani Umayyah
Ada beberapa faktor yang menyebabkan Dinasti Bani Umayyah lemah dan membawanya kepada kehancuran. Faktor-faktor itu antara lain:
1.      Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatu yang baru bagi tradisi Arab yang lebih menekankan aspek senioritas.
2.      Latar belakang terbentuknya Dinasti Bani Umayyah tidak bisa dipisahkan dari konflik-konflik politik yang diterjadi di masa Ali.
3.      Penyebab langsung tergulingnya kekuasaan Dinasti Bani Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan Al-Abbas Ibnu Abdul Al-Mutholib. [6]
 Perkembangan pada masa Bani Umayyah
1.      Asritektur
Seni bangunan (arsitektur) pada zaman umayyah bertump pada bangunan sipil berupa kota-kota, dan bangunan agama berupa masjid-masjid. Beberapa kota baru atau perbaikan kota lama telah dibangun dalam zaman umayyah yang diiringi pembangunan berbagai gedung dengan gaya perpaduan Persia, Romawi, dan Arab dengan dijiwai semangat Islam.
Damaskus yang pada masa sebelum Islam merupakan ibukota Kerajaan Romawi Timur di Syam, adalah kota lama yang dibangun kembali pada masa umayyah dan dijadikan ibukota daulah ini. Di kota ini didirikan gedung-gedung indah yang bernilai seni, dilengkapi jalan-jalan dan taman-taman rekreasi yang menakjubkan. Muawiyah membangun “istana hijau” di Miyata dan pada tahun 704 M istana itu diperbarui oleh Walid ibn Abd al-Malik.
Pada masa Walid dibangun pula masjid agung yang terkenal dengan nama “Masjid Damaskus” atas kreasi arsitektur Abu Ubaidah ibn Jarrah Guna keperluan pembangunannya Khalifah Walid mendatangkan 12.000 orang tukang bangunan dari Romawi. Masjid ini dibangun berukuran 300x200 m dan memiliki 68 pilar dilengkapi dinding-dinding berukir yang cukup indah.
2.      Organisasi Militer
Pada masa umayyah organisasi militer terdiri dari Angkatan Darat (al-Jund), Angkatan Laut (al-Bahriyah) dan Angkatan Kepolisian (as-Syurtah). Berbeda dengan masa Usman, bala tentara pada masa ini bukan muncul atas kesadaran sendiri untuk melakukan perjuangan, tetapi semacam dipaksakan. Sesuai dengan politik Arabnya, angkatan bersenjata terdiri dari orang-orang Arab atau unsur Arab.
Angkatan Laut, yang sesungguhnya telah dirintis oleh Mu’awiyah sejak masa Umar tatkala ia akan melakukan penyerangan ke negeri Romawi melalui jalan laut, kemudian pada masa Usman usahanya itu dilanjutkan dengan resmi menjadi  Khalifah Umayyah mulai diusahakan pembuatan kapal-kapal perang guna menangkis serangan Armada Byzantium serta keperluan sarana transportasi dalam usaha perluasan kekuasaan Islam ke daerah-daerah lain.
3.      Perdagangan
Setelah daulah Umayyah berhasil menguasai wilayah yang cukup luas maka lalu lintas perdagangan mendapat jaminan yang layak. Lalu lintas darat melalui jalan Sutera ke Tiongkok guna memperlancar perdagangan sutera, keramik, obat-obatan dan wewangian. Adapun lalu lintas di lautan ke arah negeri-negeri belahan timur untuk mencari rempah-rempah, bumbu, kasturi, permata, logam mulia, gading, dan bulu-buluan.
4.      Kerajinan
Pada masa Khalifah Abd Malik mulai dirintis pembuatan tiraz (semacam bordiran), yakni cap resmi yang dicetak pada pakaian Khalifah dan para pembesar pemerintahan. Format tiraz  yang mula-mula merupakan terjemahan dari rumus Kristen, kemudian oleh Abdul Aziz (Gubernur Mesir) diganti dengan rumus Islam, lafaz “La Illaha Illa Allah”. Guna memperlancar produktifitas pakaian resmi kerajaan, maka Abdul Malik mendirikan pabrik-pabrik kain. Setiap pabrik diawasi oleh “Sahib at-Tiraz”, yang bertujuan mengawasi tukang emas dan penjahit, menyelidiki hasil karya dan membayar gaji mereka.
 Di bidang seni lukis, sejak Khalifah Mu’awiyah sudah mendapat perhatian masyarakat. Seni lukis tersebut selain terdapat di masjid-masjid, juga tumbuh di luar masjid.
5.      Reformasi Fisikal
Selama pemerintahan umayyah hampir semua pemilik tanah baik muslim maupun non muslim, diwajibkan membayar pajak tanah. Sementara itu pajak kepala tidak berlaku bagi penduduk muslim, sehingga banyaknya penduduk yang masuk Islam secara ekonomis merupakan latarbelakang berkurangnya penghasilan negara.
Di samping itu, memang masih ada pembedaaan beban pajak antara muslim Arab dan non-Arab maupun yang non-muslim[7].


       [1] Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, terjemahan Mukhtar Yahya dan Sanusi Latif, (Jakarta: Pustaka A-al-Husna, 1988), h. 41
       [2] Suyuthi Pulungan, Fiqh siyasah, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1999), Cet. 4, h. 167
       [3]  A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid 2, (Jakarta: Pustaka Alhusna,1982), hlm.33.
       [4] M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm.139-140.
       [5] Dudung Abdurrahman, Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik hingga Modern, (Yogyakarta: Lasfi Yogyakarta, 2002), h. 84
       [6] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2005), h. 48
[7] Dudung Abdurrahman dkk, Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik hingga Modern,… h. 89-93

pemerintahan dinasti umayah


Pemerintahan Dinasti Umayyah (41-132 H)
Periode Negara Madinah berakhir dengan wafatnya Khalifah Ali bin Abi Thalib. Tokoh yang naik ke panggung politik dan pemerintahan adalah Muawiyyah bin Abu Sufyan, Gubernur wilayah Syam sejak zama Khalifah Umar. Ia adalah pendiri dan Khalifah pertama Dinasti ini. Terbentuknya dinasti Muawiyah memangku jabatan khalifah secara resmi,menurut ahli sejarah, terjadi pada tahun 661 M/ 41 H. Bukan pada pertengahan tahun 600 M/ 40 H pada saat Umayyah memproklamirkan diri menjadi khalifah di Iliya (Palestina), setelah pihaknya dinyatakan oleh Majelis Tahkim sebagai pemenang.
Peristiwa itu terjadi setelah Hasan bin Ali yang dibaiat oleh pengikut setia Ali menjadi Khalifah, sebagai pengganti Ali, mengundurkan diri dari gelanggang politik. Sebab ia tidak ingin lagi terjadi pertumpahan darah yang lebih besar, dan menyerahkan kekuasaan sepenuhnya kepada Muawiyah. Langkah penting Hasan bin Ali ini dapat dikatakan sebagai usaha rekonsiliasi umat Islam yang terpecah belah. Karenanya peristiwa itu dalam sejarah Islam dikenal dengan tahun persatuan (am al-jama’at). Yaitu episode sejarah yang mempersatukan umat kembali berada di bwah kekuasaan seorang khalifah.
Muawiyah dikenal sebagai seorang politikus dan administrator yang pandai. Umar bin Khattab sendiri pernah menilainya sebagai seorang yang cakap dalam urusan politik pemerintahan, cerdas dan jujur. Ia juga dikenal seorang negarawan yang ahli bersiasat, piawai dalam merancang taktik dan strategi, disamping kegigihan dan keuletan serta kesediaannya menempuh segala cara dalam berjuang. Untuk mencapai citi-citanya karena pertimbangan politik dan tuntutan situasi. Dengan kemampuan tersebut dan bakat kepemimpinan yang dimilikinya, Muawiyah dinilaiberhasil merekrut para pemuka masyarakat, politikus dan administrator ke dalam sistemnya pada zamannya, untuk memperkuat posisinya dipuncak pimpinan. Muawiyah juga dikenal berwatak keras dan tegas, tapi juga bisa bersifat toleran dan lapang dada. Hal ini dapat dilihat dalam ucapannya yang terkenal sebagai prinsip yang ia terapkan dalam memimpin: “Aku tidak mempergunakan pedangku kalau cambuk saja cukup, dan tidak pula kupergunakan cambukku kalau perkataan saja sudah memadai, andaikata aku dengan orang lain memperebutkan sehelai rambut, tiadalah akan putus rambut itu, karena bila mereka mengencangkannya aku kendorkan, dan bila mereka mengendorkannya akan kukencangkan.” [1]
Sejalan dengan watak dan prinsip Muawiyah tersebut serta pemikirannya yang perspektif dan inovatif, ia membuat berbagai kebijaksanaan dan keputusasaan politik dalam dan luar negeri. Dan jejak ini diteruskan oleh para penggantinya dengan menyempurnakannya.
Pertama, pemindahan pusat pemerintahan dari Madinah ke Damaskus. Keputusan ini didasarkan pada pertimbangan politis dan alasan keamanan. Karena letaknya jauh dari Kufah pusat kaum Syiah pendukung Ali, dan jauh dari Hijaz tempat tinggal mayoritas Bani Hasyim dan Bani Umayyah, sehingga bisa terhindar dari konflik yang lebih tajam antara dua Bani itu dalam memperebutkan kekuasaan.  Lebih dari itu, Damaskus yang terletak di wilayah Syam (Suria) adalah daerah yang berada di bawah genggaman pengaruh Muawiyah selama 20 tahun sejak ia diangkat menajdi Gubernur di distrik itu sejak zaman Khalifah Umar bin Khattab.
Kedua, Muawiyah memberi penghargaan kepada orang-orang yang berjasa dalam perjuangannya mencapai puncak kekuasaan. Seperti Amr bin Ash ia angkat kembali menjadi gubernur di Mesir, Al-Mughirah bin Syu’bah juga diangkat menjadi Gubernur di wilayah Persia.
Ketiga, menumpas orang-orang yang beroposisi yang dianggap berbahaya jika tidak bisa dibujuk dengan harta dan kedudukan, dan menumpas kaum pemberontak. Ia menupas kaum Khawarij yang merongrong  wibawa kekuasaannya dan mengkafirkannya. Golongan ini menuduhnya tidak mau berhukum kepada al-Qur’an dalam mewujudkan perdamaian dengan Ali di perang Shiffin melainkan ia mengikuti ambisi hawa nafsu politik.
Keempat, membangun kekuatan militer yang terdiri dari tigaangkatan, dart, laut dan kepolisian yang tangguh dan loyal. Mereka diberi gaji yang cukup, dua kali lebih besar daripada yang diberikan Umar kepada tentaranya. Ketiga angkatan ini bertugas menjamin stabilitas keamanan dalam negeri dan mendukung kebijaksanaan politik luar negeri yanitu memperluas kekuasaan.  
Kelima, meneruskan perluasan wilayah kekuasaan Islam baik  ke Timur maupun ke Barat. Peluasaan wilayah ini diteruskan oleh para penerus Muawiyah, seperti Khalifah Abd al-malik ke Timur, Khalifah al-walid ke barat, dan ke Prancis di zaman Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Keenam, baik Muawiyah maupun penggantinya membuat kebijaksanaan yang berbeda dari zaman Khulafa al-Rasyidin. Mereka merekrut orang-orang non-muslim sebgai pejabat-pejabat dalam pemerintahan, seperti penasehat, administrator, dokter dan di kesatuan-kesatuan tentara. Tepi di zaman Khalifah Umar bin Abd Aziz kebijaksanaan itu ia hapuskan. Karena orang-orang non muslim (Yahudi, Nasrani dan Majusi) yang memperoleh privilege di dalam pemerintahan banyak merugikan kepentingan umat Islam bahkan menganggap rendah mereka.
Ketujuh, Muawiyah mengadakan pembaharuan di bidang administrasi pemerintahan dan melengkapinya dengan jabatan-jabatan baru yang dipengarui oleh kebudayaan Byzantium.
Kedelapan, kebijaksanaan dan keputusan politik penting yang dibuat oleh Khalifah Muawiyah adalah mengubah sistwm pemerintahan dari bentuk khalifah yang bercorak demokratis menjadi sistem monarki dengan mengangkat putranya, Yazid, menjadi putra mahkota untuk menggantikannya sebagai khalifah sepeninggalannya nanti.
Muawiyah mengubah sistem pemerintahan menjadi monarki, namun Dinasti ini tetap memakai gelar Khalifah. Bahkan Muawiyah menyebut dirinya sebagai Amir al-Mu’minin. [2]
Setelah ‘Ali wafat, kursi jabatan kekhalifahan dialihkan kepada anaknya, Hasan ibn ‘Ali. Hasan diangkat oleh pengikutnya (Syi’ah) yang masih setia di Kuffah. Tetapi pengangkatan ini hanyalah suatu percobaan yang tidak mendapat dukungan yang kuat.[3] Hasan menjabat sebagai khalifah hanya dalam beberapa bulan saja.
 Peralihan Kekuasaan dari Hasan ke Mu’awiyah
Di tengah masa kepemimpinan Hasan yang makin lemah dan posisi Mu’awiyah lebih kuat, akhirnya Hasan mengadakan akomodasi atau membuat perjanjian damai. Syarat-syarat yang diajukan Hasan dalam perjanjian tersebut adalah:
  1. Agar Mu’awiyah tidak menaruh dendam terhadap seorangpun dari penduduk Irak.
  2. Menjamin keamanan dan memaafkan kesalahan-kesalahan mereka.
  3. Agar pajak tanah negeri Ahwaz diperuntukkan kepadanya dan diberikan tiap tahun.
  4. Agar Mu’awiyah membayar kepada saudaranya, yaitu Husain, dua juta dirham.
  5. Pemberian kepada Bani Hasyim haruslah lebih banyak dari pemberian kepada Bani Abdi Syams.
            Perjanjian itu berhasil mempersatukan umat Islam kembali dalam satu kepemimpinan politik, di bawah pimpinan Mu’awiyah ibn Abi Sufyan. Dengan kata lain, Hasan telah menjual haknya sebagai khalifah kepada Mu’awiyah.Akibat perjanjian itu menyebabkan Mu’awiyah menjadi penguasa absolut. Naiknya Mu’awiyah menjadi khalifah pada awalnya tidak melalui forum pembai’atan yang bebas dari semua umat. Mu’awiyah dibai’at pertama kali oleh penduduk Syam karena memang berada di bawah kekuasaannya, kemudian ia dibai’at oleh umat secara keseluruhan setelah tahun persatuan atau ‘am jama’ah (661). Pembai’atan tersebut tidak lain hanyalah sebuah pengakuan terpaksa terhadap realita dan dalam upaya menjaga kesatuan umat. Maka, di sini telah masuk unsur kekuatan dan keterpaksaan menggantikan musyawarah. Karenanya dapat dikatakan bahwa telah terjadi perceraian antara idealisme dan realita.[4]

C.    Sistem Pemerintahan dan Orientasi Kebijakan Politik Umayyah
Pemindahan kekuasaan kepada muawiyyah mengakhiri bentuk demokrasi kekholifahan menjadi monarki heridetis, yang diperoleh tidak dengan pemilihan atas suara terbanyak. Pergantian khalifah secara terumurun dimulai dari sikap muawiyyah mengangkat anaknya Yazid, sebagai putra mahkota. Sikap muawiyyah seperti ini dipengaruhi oleh keadaan syiria selama ia menjadi gubernur disana.
Pada masa muawiyyah mulai diadakan perubahan-perubahan administrasi pemerintahan, dibentuk pasukan tombak pengawal raja, dan dibangun bagian khusus di dalam masjid untuk pengamanan tatkala dia menjalankan sholat.

Kebijakan politik Umayyah, selain usaha-usaha pengamanan di dalam negeri yang sering dilakukan oleh saingan-saingan politiknya serta pertentangan-pertentangan suku-suku Arab, adalah upaya perluasan wilayah kekuasaan. Pada zaman Muawiyyah, Ukbah ibnu Nafi berhasil menguasai Tunis, dan kemudian didirikan kota Qairawan pada tahun 760 M yang kemudian menjadi salah satu pusat kebudayaan Islam. [5]

D.    Kehancuran Dinasti Bani Umayyah
Ada beberapa faktor yang menyebabkan Dinasti Bani Umayyah lemah dan membawanya kepada kehancuran. Faktor-faktor itu antara lain:
1.      Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatu yang baru bagi tradisi Arab yang lebih menekankan aspek senioritas.
2.      Latar belakang terbentuknya Dinasti Bani Umayyah tidak bisa dipisahkan dari konflik-konflik politik yang diterjadi di masa Ali.
3.      Penyebab langsung tergulingnya kekuasaan Dinasti Bani Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan Al-Abbas Ibnu Abdul Al-Mutholib. [6]
 Perkembangan pada masa Bani Umayyah
1.      Asritektur
Seni bangunan (arsitektur) pada zaman umayyah bertump pada bangunan sipil berupa kota-kota, dan bangunan agama berupa masjid-masjid. Beberapa kota baru atau perbaikan kota lama telah dibangun dalam zaman umayyah yang diiringi pembangunan berbagai gedung dengan gaya perpaduan Persia, Romawi, dan Arab dengan dijiwai semangat Islam.
Damaskus yang pada masa sebelum Islam merupakan ibukota Kerajaan Romawi Timur di Syam, adalah kota lama yang dibangun kembali pada masa umayyah dan dijadikan ibukota daulah ini. Di kota ini didirikan gedung-gedung indah yang bernilai seni, dilengkapi jalan-jalan dan taman-taman rekreasi yang menakjubkan. Muawiyah membangun “istana hijau” di Miyata dan pada tahun 704 M istana itu diperbarui oleh Walid ibn Abd al-Malik.
Pada masa Walid dibangun pula masjid agung yang terkenal dengan nama “Masjid Damaskus” atas kreasi arsitektur Abu Ubaidah ibn Jarrah Guna keperluan pembangunannya Khalifah Walid mendatangkan 12.000 orang tukang bangunan dari Romawi. Masjid ini dibangun berukuran 300x200 m dan memiliki 68 pilar dilengkapi dinding-dinding berukir yang cukup indah.
2.      Organisasi Militer
Pada masa umayyah organisasi militer terdiri dari Angkatan Darat (al-Jund), Angkatan Laut (al-Bahriyah) dan Angkatan Kepolisian (as-Syurtah). Berbeda dengan masa Usman, bala tentara pada masa ini bukan muncul atas kesadaran sendiri untuk melakukan perjuangan, tetapi semacam dipaksakan. Sesuai dengan politik Arabnya, angkatan bersenjata terdiri dari orang-orang Arab atau unsur Arab.
Angkatan Laut, yang sesungguhnya telah dirintis oleh Mu’awiyah sejak masa Umar tatkala ia akan melakukan penyerangan ke negeri Romawi melalui jalan laut, kemudian pada masa Usman usahanya itu dilanjutkan dengan resmi menjadi  Khalifah Umayyah mulai diusahakan pembuatan kapal-kapal perang guna menangkis serangan Armada Byzantium serta keperluan sarana transportasi dalam usaha perluasan kekuasaan Islam ke daerah-daerah lain.
3.      Perdagangan
Setelah daulah Umayyah berhasil menguasai wilayah yang cukup luas maka lalu lintas perdagangan mendapat jaminan yang layak. Lalu lintas darat melalui jalan Sutera ke Tiongkok guna memperlancar perdagangan sutera, keramik, obat-obatan dan wewangian. Adapun lalu lintas di lautan ke arah negeri-negeri belahan timur untuk mencari rempah-rempah, bumbu, kasturi, permata, logam mulia, gading, dan bulu-buluan.
4.      Kerajinan
Pada masa Khalifah Abd Malik mulai dirintis pembuatan tiraz (semacam bordiran), yakni cap resmi yang dicetak pada pakaian Khalifah dan para pembesar pemerintahan. Format tiraz  yang mula-mula merupakan terjemahan dari rumus Kristen, kemudian oleh Abdul Aziz (Gubernur Mesir) diganti dengan rumus Islam, lafaz “La Illaha Illa Allah”. Guna memperlancar produktifitas pakaian resmi kerajaan, maka Abdul Malik mendirikan pabrik-pabrik kain. Setiap pabrik diawasi oleh “Sahib at-Tiraz”, yang bertujuan mengawasi tukang emas dan penjahit, menyelidiki hasil karya dan membayar gaji mereka.
 Di bidang seni lukis, sejak Khalifah Mu’awiyah sudah mendapat perhatian masyarakat. Seni lukis tersebut selain terdapat di masjid-masjid, juga tumbuh di luar masjid.
5.      Reformasi Fisikal
Selama pemerintahan umayyah hampir semua pemilik tanah baik muslim maupun non muslim, diwajibkan membayar pajak tanah. Sementara itu pajak kepala tidak berlaku bagi penduduk muslim, sehingga banyaknya penduduk yang masuk Islam secara ekonomis merupakan latarbelakang berkurangnya penghasilan negara.
Di samping itu, memang masih ada pembedaaan beban pajak antara muslim Arab dan non-Arab maupun yang non-muslim[7].


       [1] Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, terjemahan Mukhtar Yahya dan Sanusi Latif, (Jakarta: Pustaka A-al-Husna, 1988), h. 41
       [2] Suyuthi Pulungan, Fiqh siyasah, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1999), Cet. 4, h. 167
       [3]  A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid 2, (Jakarta: Pustaka Alhusna,1982), hlm.33.
       [4] M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm.139-140.
       [5] Dudung Abdurrahman, Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik hingga Modern, (Yogyakarta: Lasfi Yogyakarta, 2002), h. 84
       [6] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2005), h. 48
[7] Dudung Abdurrahman dkk, Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik hingga Modern,… h. 89-93

hukum membaca basmalah


1.        Membaca Basmalah dalam Al-Fatihah
Hadits dari Anas bin Malik r.a ia berkata:
صَلَّيْتُ مَعَ رَسُوْلِ للهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَ عُمَرَ وَ عُثْمَا نَ فَلَمْ أَسْمَعْ اَحَدًا مِنْهُمْ يَقْرَأْ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ ( رواه مسلم و الترمذي و النساءى واللفظ لمسلم )

“Saya shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Abu Bakar, Umar dan Utsman, maka saya tidak mendengar seorang pun dari mereka membaca “BISMILLAAHIR RAHMANIR RAHIM". H.R Muslim (I/170), at-Tirmidzi (244), An-Nasai (II/104),- Lafazh ini dari Muslim.
صَلَّيْتُ خَلْفَ رَسُوْلِ للهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَ عُمَرَ وَ عُثْمَا نَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُمْ فَلَمْ أَسْمَعْ اَحَدًا مِنْهُمْ يَجْهَرُ بِبِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ (رواه النسائ)
“Saya shalat di belakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, Umar, Utsman radiallahu ‘anhum, maka saya tidak mendengar seseorang dari mereka mengeraskan ‘BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM’ ”. HR.An-Nasai (II/104)
Jadi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca basmalah dengan sirr (tidak keras) dan kadang-kadang dengan jahr (keras)[1].

A.      Hanafiyah
Abu Hanifah, Abu Ast-Tsauri, dan Imam Ahmad berpendapat bahwa basmalah hanya dibaca pelan bersama al-Fatihah pada setiap rakaat. Baik imam atau munfarid harus membaca basmalah secara sir pada tiap raka’at, baik shalat sir atau jahr. Hukumnya sunnah[2].

B.       Syafi’iyah
Basmalah itu harus dibaca ketika shalat jahr ataupun sirr. Menurut Imam Syafi’i, basmalah itu merupakan satu ayat dari surah al-Fatihah[3]. Oleh sebab itu hukum membacanya ialah fardhu dan bukan sunnah. Siapa yang tidak membaca basmalah, maka shalatnya batal.

C.       Hanabilah
Hukum membaca basmalah ialah sunnah. Orang membacanya tiap raka’at dengan sirr. Basmalah bukanlah termasuk ayat surah Al-Fatihah. Ia dibaca sebelum ta’awudz, maka gugurlah hukum membaca ta’awudz dan tidak usah diulang kembali. Begitu pula bila meninggalkan membaca basmalah dan terus saja membaca Al-Fatihah, maka hukumnya gugur dan tidak usah diulang kembali.

D.      Malikiyah
Hukum membaca basmalah, ialah makruh dalam shalat fardhu, baik ia sirr atau jahr. Lain halnya bila orang meniatkan keluar dari khilafiyah. Pada waktu itu, maka dia hendaklah membaca pada permulaan surah al-Fatihah secara sirr dan hukumnya mandub. Menjaharkannya, ialah makruh[4].

Ulama yang berpendapat bahwa basmalah adalah salah satu ayat dari surah al-Fatihah, maka kalimat basmalah harus dibaca, terkait dengan kewajiban membaca al-Fatihah dalam shalat.
Adapun ulama yang menganggap bahwa basmalah itu termasuk ayat pertama setiap surah, mereka berkesimpulan bahwa basmalah harus dibaca pada setiap surah di al-Qur’an[5].

2.        Membaca Al-Fatihah dalam Shalat
Bacaan Al-Fatihah Rasulullah ketika shalat. Dari Ummu Salamah ra.ia berkata bahwa :
أَنَّهَا سُئِلَتْ عَنْ قِرَاءَةِ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ كَانَ يَقْطَعُ قِرَاءَتَهُ آيَةً آيَةً بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ الْحَمْدُ اللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ.  (رواه أحمد وأبو داود) 
“Sesungguhnya ia ditanya tentang bacaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia menjawab : “Beliau membacanya dengan memutus satu ayat-satu ayat “BISMILLAHIR RAHMAANIR RAHIIM”, “ALHAMDULILLAHI RABBBIL ‘ALAMIIN”, “ARRAHMAANIR RAHIIM”, “MAALIKIYAUMID DIIN”. HR. Ahmad dan Abu Dawud (Nailul Authar II/225)[6]

لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَا تِحَةِ الْكِتَا بِ (رواه البخارى ومسلم وأبو داود وانسا ئ وابن ماجة و اللفظ لأبى داود)
“Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Al-Fatihah”. HR. Al-Bukhari (I/138), Muslim (I/167), Abu Dawud (822), An-Nasai (I/106). Ibnu Majah (837).-Lafazh ini dari Abu Dawud.

Tentang seseorang yang tidak hafal surah Al-Fatihah, Rasulullah saw. bersabda,
قُلْ : سُبْحَانَ اللهِ , وَالْحَمْدُ لِلّهِ , وَلاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ , وَاللهُ أَكْبَرُ , وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ اِلاَّ بِا اللهِ .
“Katakanlah, ‘Subhanallah wal hamdulillah, wa la ilaha illallah wallahu akbar wa la hawla wa la quwwata illa billah. (Mahasuci Allah, segala puji milik Allah, tiada Tuhan selain Allah, Allah Mahabesar, tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah)”. HR. Abu Dawud[7]
Akan tetapi, bacaan itu hanya dikhususkan bagi orang yang benar-benar tidak mampu, meskipun telah berusaha untuk menghafalnya, atau bagi non-Arab yang mengalami kesulitan dalam hal itu.

A.      Hanafiyah
Membaca Al-Fatihah dalam shalat fardhu tidak diharuskan, dan membaca bacaan apa saja dari Al-Qur’an itu boleh, berdasarkan Al-Qur’an surah Muzzammil ayat 20:
(#râätø%$$sù $tB uŽœ£uŠs? z`ÏB Èb#uäöà)ø9$#
“karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran.”.
Membaca Al-Fatihah itu hanya diwajibkan pada dua raka’at pertama, sedangkan pada raka’at ketiga pada shalat Maghrib, dan dua raka’at terkahir pada shalat Isya dan Ashar kalau mau bacalah, bila tidak bacalah tasbih, atau diam.
B.       Syafi’iyah
Membaca Al-Fatihah itu adalah wajib pada setiap raka;at tidak ada bedanya, baik pada dua raka’at pertama maupun pada raka’at terakhir, baik pada shalat fardhu maupun sunnah. Basmalah itu merupakan bagian dari surah, yang tidak boleh ditingglkan dalam keadaan apapun. Dan harus dibaca dengan suara keras pada shalat subuh dan dua raka’at yang pertama pada shalat magrib dan Isya, selain raka’at tersebut harus dibaca dengan pelan.

C.  Malikiyah
Membaca Al-Fatihah itu harus pada setiap rakaa’at, tidak ada bedanya, baik dalam raka’at-raka’at pertama maupun pada raka’at terkahir, baik dalam shalat fardhu dan sunnah, sebagaimana pendapat Syafi’i.
Basmalah bukan termasuk dalam surah, bahkan disunahkan untuk ditinggalkan. Disunahkan menyaringkan bacaan pada shalat subuh dan dua raka’at pertama pada shalat magrib dan isya’.
D.      Hanabilah
Wajib membaca Al-Fatihah pada setiap raka’at, dan sesudahnya disunahkan membaca surah Al-Qura’an pada dua raka’at pertama. Dan pada shalat subuh, serta dua raka’at pertama pada shalat magrib dan Isya disunahkan membacanya dengan nyaring. Basmalah merupakan bagian dari surah, tetapi cara membacanya harus dengan pelan-pelan dan tidak boleh dengan keras.[8]


[1] Abdullah Fadlil Aly Sirrradj, Tuntunan Shalat Menurut Sunnah Rasulullah saw.,(Bekasi: Al-Jama’ah, 1991), hlm.168
[2] Drs. H. Kahar Masyhur, Salat Wajib Menurut Mazhab Yang Empat, (Jakarta:PT Rineka Cipta,1995),hlm.226
[3] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid,(Jakart:Pustaka Azzam, 2006), hlm,256
[4] Drs. H. Kahar Masyhur, Salat Wajib Menurut Mazhab Yang Empat,… hlm.227
[5] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid,(Jakart:Pustaka Azzam, 2006), hlm,259
[6]Abdullah Fadlil Aly Sirrradj, Tuntunan Shalat Menurut Sunnah Rasulullah saw.,(Bekasi: Al-Jama’ah, 1991), hlm.170
[7] Abu Malik Kamal, Fiqih Sunnah Wanita, ( Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007), hlm 96
[8] M. Jawad.Mughaniyah, Fiqh Lima Mazhab,(Jakarta:Lentera,2007),hlm.106-108