Senin, 31 Oktober 2011

Pengertian FILSAFAT dan ILMU

PENDAHULUAN

Bismillah, berbicara mengenai filsafat tidak jauh akan membicarakan tentang hakikat apa yang dituju, filsafat juga disebut dengan induk dari segala ilmu, mereka para ahlinya mendeskripsikan dengan pohon ilmu, dari akar akan tumbuh batang lalu daun serta buah hingga jatuh dan tumbuh lagi ditempat yang lain dan seterusnya, sehingga disebut dengan induknya ilmu.
Selanjutnya mengenai ilmu, ilmu mempunyai kriteria-kriteria tertentu bila ingin dianggap sebagai sebuah ilmu, begitupun dengan filsafat ilmu merupakan bagian dari cabang filsafat yang akan dibahas pada makalah ini yang mungkin perlu kritikan dan masukan ibu dosen serta teman-teman sekalian.
Ruang lingkup pembahasan makalah ini adalah sbb :
a.       Pengertian filsafat dan ilmu.
b.      Pengertian filsafat ilmu.
c.       Ruang lingkup filsafat ilmu.
d.      Hubungan filsafat dengan filsafat ilmu.



PEMBAHASAN
FILSAFAT ILMU

A.       Pengertian FILSAFAT dan ILMU.
Sebelum membahas pengertian filsafat ada baiknya kita mengupas terlebih dahulu tentang ilmu, ilmu dalam bahasa inggris disebut science sedangkan pengetahuan disebut knowledge, terdapat manusia yang ingin hanya tahu semata dan ada pula manusia yang haus akan pengetahuan tersebut secara mendalam contoh ketika air dididihkan panas ia tidak puas dengan itu saja namun meneliti mengapa air tersebut panas? apa yang membuatnya panas? sampai titik apa air tersebut menjadi mendidih? pertanyaan ini  yang selalu ada dan hadir dalam benak dirinya yang karena ketidakpuasan dalam dirinya hanya dengan tahu saja, pengetahuan ini yang disebut pengetahuan ilmu atau kita sebut saja dengan ilmu saja.
Sebagaimana telah dikemukakan poedjawijatna guru besar Universitas Indonesia Fakultas Psikologi dan Sastra juga guru besar di IKIP Jakarta yang sekarang bernama UNJ. Menerangkan bahwa ilmu tidak terlalu menghiraukan kegunaan, hanya hendak tahu semata, karena tujuan utamanya adalah tahu yang mendalam, sedapat mungkin benar-benar tahu apa sebab demikian dan mengapa demikian, ilmu juga memiliki segi negatif untuk mencegahnya penggunaan negatif maka etika sangat penting dalam meminimalisirnya.
Syarat-syarat terbentuknya ilmu adalah sebagai berikut :
a.       Objective
b.      Metodis
c.       Sistimatis
d.      Universal.
Dari penjelasan pengertian ilmu di atas, semoga pembaca dapat memahaminya kita langsung saja pada pengertian filsafat yang mungkin pembahasannya sangat luas.



Filsafat
Secara etimoligis atau ilmu bahasa filsafat berasal dari dua kata yakni philein yang berarti cinta dan Sophia yang berarti kebijaksanaan. Filsafat berarti cinta kebijaksanaan, cinta berarti hasrat yang besar atau berkobar-kobar atau yang sungguh-sungguh.
Istilah filsafat berawal pada pandangan bahwa pengetahuan manusia yang sensual melalui indra bukan pengetahuan sebenarnya. Para pemikir yunani ingin mengetahui tentang sebab sedalam-dalamnya. Mereka tahu bahwa pengetahuan yang demikian itu hanya dimiliki oleh para dewa, manusia hanya punya keinginan dan cita-cita semata, manusia yang mencintai pengetahuan disebut cinta kebijaksanaan, filosofia orangnya disebut filosuf, orang yang mengajukan pertanyaan sesungguhnya filsuf juga dengan mengajukan pertanyaan ia sudah berfilsafat.
Atau berfikir adalah mengelola data indrawi menjadi pengertian, atau proses mencari makna, dan kebijaksanaan artinya pengambilan keputusan yang memihak pihak yang lemah.
Sutardjo A. Wiramihardja (2006:9) mengatakan bahwa secara etimologis, filsafat berasal dari beberapa bahasa, yaitu bahasa Inggris dan bahasa Yunani. Dalam bahasa Inggris yaitu philosophy, sedangkan dalam bahasa yunani, yaitu philein atau philos dan sofein atau sophi. Socrates mengatakan bahwa filosof adalah orang yang mencintai atau mencari kebijaksanaan atau kebenaran.
Sutardjo A. Wiramihardja (20006:10) menjelaskan secara terminologis :
1.                  Wacana atau argumentasi menandakan bahwa filsafat memiliki kegiatan berupa pembicaraan yang mengandalkan pada pemikiran, rasio, tanpa verifikasi uji empiris.
2.                  Segala hal atau sarwa sekalian alam, artinya semua meteri pembicaraan filsafat adalah segala hal menyangkut keseluruhan yang bersifat universal.
3.                  Sistematis artinya perbincangan mengenai segala sesuatu dilakukaan secara teratur mengenai segala mengikuti sistem yang berlaku sehingga tahapan-tahapannya mudah diikuti.
4.                  Radikal artinya sampai ke akar-akarnya, sampai pada konsekuensinya yang terakhir.
5.                  Hakikat merupakan istilah yang menjadi ciri khas filsafat. Hakikat adalah pemahaman yang paling mendasar. Jadi filsafat tidak hanya berbicara tentang wujud atau materi sebagaimana ilmu pengetahuan, tetapi berbicara makna yang terdapat dibelakangnya. Dalam filsafat, hakikat tersebut sebagai akibat berfikir radikal.
Juhaya S. Pradja (1997:1) mengatakan bahwa secara terminologis, filsafat mempunyai arti yang bermacam-macam :
  1. Plato (427SM-347SM). Ia mengatakan bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada, ilmu yang berminat mencapai kebenaran asli.
  2. Aristoteles (381SM-322SM) Mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, etika, ekonomi, politik dan estetika.
  3. Al Farabi (wafat 950 M) Seorang filosof muslim, mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya.
Dapat diambil kesimpulan tentang pengertian filsafat, dengan lima hal mendasar :[1]
  1. Pengetahuan tentang cara berfikir kritis;
  2. Pengetahuan tentang kritik yang radikal;
  3. Pengetahuan tentang berfikir kritis sistematis;
  4. Pengetahuan tentang pemahaman universal terhadap semua persoalaan; dan
  5. Pengetahuan tentang kebenaran pemikiran yang tanpa batas dan masalah yang tidak pernah tuntas.

Sedangkan menurut poedjawaijatna dalam bukunya tahu dan pengetahuan sebuah pengantar ilmu dam filsafat medefinisikan filsafat dengan ilmu yang mencari sebab yang sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada.

Hakikat filsafat

Filsafat bermula dari pertanyaan dan berakhir pada pertanyaan. Hakikat filsafat adalah bertaya terus-menerus, karenanya dikatakan bahwa filsafat adalah sikap bertanya itu sendiri . Dengan bertanya, filsafat mencari kebenaran namun, filsafat tidak menerima kebenaran apapun sebagai sesuatu yang sudah selesai. Yang ada hanyalah sikap kritis, meragukan setiap kebenaran yang ditemukan, dalam filsafat apa yang dianggap kebenaran atau yang pada titik tertentu diyakini sebagai kebenaran selalu diliputi dengan tanda Tanya (?).

Dengan bertanya, orang menghadapi realitas suatu masalah, sebagai sebuah pertanyaan, tugas untuk digeluti, dicari tahu jawabannya. Bagi filsafat dengan cara itulah manusia menemukan akan kebenaran, pemahaman mendalam akan masalah dan realitas kehidupan, dengan bertanya manusia bisa memahami suatu masalah secara masuk akal.

Dari penjelasan diatas pada dasarnya filsafat dirangkum sehingga mempunyai ciri-ciri sbb :

a.       Deskriptif

b.      Kritis dan analisis

c.       Evaluatif dan normative

d.      Spekulatif

e.       Sistimatis

f.       Mendalam

g.      Mendasar

h.      Menyeluruh


Munculnya Filsafat

Filsafat, terutama Filsafat barat muncul di Yunani semenjak kira-kira abad ke 7 S.M.. Filsafat muncul ketika orang-orang mulai memikirkan dan berdiskusi akan keadaan alam, dunia, dan lingkungan di sekitar mereka dan tidak menggantungkan diri kepada (agama) lagi untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini.
Banyak yang bertanya-tanya mengapa filsafat muncul di Yunani dan tidak di daerah yang beradab lain kala itu seperti Babilonia, Yudea (Israel) atau Mesir. Jawabannya sederhana: di Yunani, tidak seperti di daerah lain-lainnya tidak ada kasta pendeta sehingga secara intelektual orang lebih bebas.
Orang Yunani pertama yang bisa diberi gelar filsuf ialah Thales dari Mileta, sekarang di pesisir barat Turki. Tetapi filsuf-filsuf Yunani yang terbesar tentu saja ialah: Sokrates, Plato dan Aristoteles. Sokrates adalah guru Plato sedangkan Aristoteles adalah murid Plato. Bahkan ada yang berpendapat bahwa sejarah filsafat tidak lain hanyalah “Komentar-komentar karya Plato belaka”. Hal ini menunjukkan pengaruh Plato yang sangat besar pada sejarah filsafat.
Buku karangan plato yang terkenal adalah berjudul "etika, republik, apologi, phaedo, dan krito".

Pembidangan secara umum filsafat.
Dalam tradisi filsafat Barat, dikenal adanya pembidangan dalam filsafat yang menyangkut tema tertentu.
  • Metafisika mengkaji hakikat segala yang ada. Dalam bidang ini, hakikat yang ada dan keberadaan (eksistensi) secara umum dikaji secara khusus dalam Ontologi. Adapun hakikat manusia dan alam semesta dibahas dalam Kosmologi.
  • Epistemologi mengkaji tentang hakikat dan wilayah pengetahuan (episteme secara harafiah berarti “pengetahuan”). Epistemologi membahas berbagai hal tentang pengetahuan seperti batas, sumber, serta kebenaran suatu pengetahuan.
  • Aksiologi membahas masalah nilai atau norma yang berlaku pada kehidupan manusia. Dari aksiologi lahirlah dua cabang filsafat yang membahas aspek kualitas hidup manusia: etika dan estetika.
  • Etika, atau filsafat moral, membahas tentang bagaimana seharusnya manusia bertindak dan mempertanyakan bagaimana kebenaran dari dasar tindakan itu dapat diketahui. Beberapa topik yang dibahas di sini adalah soal kebaikan, kebenaran, tanggung jawab, suara hati, dan sebagainya.
  • Estetika membahas mengenai keindahan dan implikasinya pada kehidupan. Dari estetika lahirlah berbagai macam teori mengenai kesenian atau aspek seni dari berbagai macam hasil budaya.[2]
Hubungan filsafat dengan ilmu.
            Antara filsafat dan ilmu dapat dipertemukan dalam objek materinya namun dalam objek formanya berbeda, ilmu berhenti pada ketika tidak dapat dibuktikan secara faktual filsafat tidak demikian karna objectnya ada dan mungkin ada, ilmu membahas tentang Sesuatu yang jelas seperti meneliti gejala alam dalam bahasa inggris science atau ilmu eksakta yang keberadaannya dapat dipertanggung jawabkan, tetapi apakah arti hidup,?, adakah nilai hidup dan adakah maksud dan tujuannya.? Itu semua bukanlah objek ilmu hayat.
            Kalau ada yang menjawab : hidup dan alam tak ada artinya, tak bernilai dan tak bertujuan serta sebaliknya kalau ada yang berpendapat ada nilai hidup pada umumnya. Pun hidup manusia dan serta alam manusia yang hidup itu ada tujuannya pula maka kesemuanya itu, apa merupakan jawaban yang positif atau negatif.
Bukan jawaban ilmiah, melainkan filsafat.
            Walaupun demikian antara ilmu dan filsafat ada juga hubunganya, filsafat memang dalam penyelidikannya mulai dari apa yang dialami manusia, karna tak ada pengetahuan, kalau tidak bersentuhan lebih dahulu dari indra. Sedangkan ilmu yang hendak menekaah hasil pengindraan itu tidak mungkin mengambil keputusan dengan menjalankan fikiran tanpa menggunakan dalil dan hukum fikiran yang tidak mungkin dialaminya.
            Sebaliknya, filsafatpun memerlukan data dari ilmu jika misalnya ahli filsafat manusia hendak menyelidiki manusia itu serta hendak serta hendak menentukan apakah manusia itu, ia memang harus mengetahui gejala tindakan manusia. Dalam hal ini ilmulah yang bernama psikologi akan menolong filsafat itu, filsafat akan pincang atau jauh dari kebenaran jika menghiraukan psikologi.[3]
            Agar lebih jelas bahwa ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang disusun secara sistematis yang memberi jawabab atas ontology yaitu apa yang ingin diketahui epistimologi yaitu bagaimana cara memperoleh pengetahuan dan aksiologi yaitu untuk apa kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia. Sedang filsafat adalah ilmu yang komprehensif maka dilazim disebut induknya ilmu sedangkan ilmu sifatnya parsial (pragmatisme), ilmu pengetahuan hanya membicarakan hal-hal yang khusus atau satu bidang saja.
   Ilmu berasal dari bahasa Arab, yakni ”ilm” yang diartikan pengetahuan. Dalam filsafat, ilmu dan pengetahuan itu berbeda, pengetahuan bukan berarti ilmu, tetapi ilmu merupakan akumulasi pengetahuan, sebagaimana bedanya science dan knowledge dalam bahasa Inggris.[4]
Filsafat Ilmu, kata lain dari epitomologi, berasal dari bahasa Latin, episteme yang berarti knowledge, yaitu pengetahuan; logos berarti theory. Jadi, epistemologi berarti ”teori pengetahuan” atau teori tentang metode, cara, dan dasar dari ilmu pengetahuan, atau studi tentang hakikat tertinggi, kebenaran, dan batasan ilmu manusia.[5]




B.        FILSAFAT ILMU.
Filsafat ilmu merupakan bagian dari filsafat yang menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu. Manakalah orang berfiqir secara filsafat, ketiga wilayah itu – ada, pengetahuan, dan nilai – kembali digunakan dalam mengupas dan menganalisis segala sesuatunya.[6]
Filsafat Ilmu, kata lain dari epitomologi, berasal dari bahasa Latin, episteme yang berarti knowledge, yaitu pengetahuan; logos berarti theory. Jadi, epistemologi berarti ”teori pengetahuan” atau teori tentang metode, cara, dan dasar dari ilmu pengetahuan, atau studi tentang hakikat tertinggi, kebenaran, dan batasan ilmu manusia.
Istilah ”epistemologi” pertama kali dipakai oleh J. F. Ferrier, institutes of Metaphysics(1854 M) yang membedakan dua cabang filsafat : epistemologi dan ontologi, epistemologi adalah sains filosofis (philosophical scince) tentang asal usul pengetahuan dan kebenaran. Puncak pengetahuan epistemologi adalah masalah kebenaran yang membawa ke ambang pintu metafisika (Hamlyn, 1972:94).
Filsafat ilmu atau epistomologi adalah analisis filosofis terhadap sumber-sumber pengetahuan, epitomologi mempersoalkan kebenaran pengetahuan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa filsafat ilmu adalah filsafat yang mengkaji seluk-beluk dan tata cara memperoleh suatu pengetahuan, sumber-sumber pengetahuan, metode dan pendekatan yang digunakan untuk mendapatkan pengetahuan logis dan rasional.[7]
C.       Ruang Lingkup Filsafat Ilmu
Ontology berada dalam wilayah ada. Berasal dari kata yunani Onto ( ada ) dan logos (teory), dengan demikian ontology dapat diartikan dengan teori tentang ada. Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini adalah apakah object yang ditelaah ilmu? bagaimana hakikat dari object itu?, bagaimana hubungan antara object tadi dengan daya tangkap manusia?
Epistemology berada dalam wilyah pengetahuan berasal dari kata yunani episteme (pengetahuan) dan logos (teory) dengan demikian epistimologi dapat diartikan dengan teori tentang pengetahuan. Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini antara lain: bagaimanakah proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan menjadi ilmu? Bagaimana prosedurnya? Untuk hal ini kita merambah kepada bidang filsafat metodelogi. Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita bisa mendapat pengetahuan yang benar? Apa yang dimaksud dengan kebenaran itu sendiri? Apa kritetianya? Kita pun akan masuk kecabang filsafat logika.
Aksiologi berada dalam wilayah nilai berasal dari kata yunani axion (nilai) dan logos (teori) pertanyaan yang menyangkut wilayah ini antara lain untuk apa pengetahuan ilmu digunakan? Bagaimana kaitan antara penggunaannya dengan kaidah moral? Bagaimana penentuan object yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan metode ilmiah yang digunakan dengan norma-norma moral dan profesional? Dengan begitu kita masuk pada filsafat etika.
D.       Hubungan FILSAFAT dengan FILSAFAT ILMU.
Sudah dikelaskan diatas bahwa filsafat ilmu merupakan cabang dari filsafat yang object kajiannya adalah ilmu itu sendiri, timbal balik antara keduanya tak dapat dipisahkan karena filsafat ilmu merupakan salah satu dari pembagian filsafat yang luas, singkat kata filsafat ilmu nama lain dari epistimologi ia merupakan bagian yang secara umum adalah pembagian dari filasafat.

  



PENUTUP

Kesimpulan
   Ilmu berasal dari bahasa Arab, yakni ”ilm” yang diartikan pengetahuan. Dalam filsafat, ilmu dan pengetahuan itu berbeda, pengetahuan bukan berarti ilmu, tetapi ilmu merupakan akumulasi pengetahuan, sebagaimana bedanya science dan knowledge dalam bahasa Inggris.
Filsafat Ilmu, kata lain dari epitomologi, berasal dari bahasa Latin, episteme yang berarti knowledge, yaitu pengetahuan; logos berarti theory. Jadi, epistemologi berarti ”teori pengetahuan” atau teori tentang metode, cara, dan dasar dari ilmu pengetahuan, atau studi tentang hakikat tertinggi, kebenaran, dan batasan ilmu manusia.
Filsafat ilmu adalah filsafat yang mengkaji seluk-beluk dan tata cara memperoleh suatu pengetahuan, sumber-sumber pengetahuan, metode dan pendekatan yang digunakan untuk mendapatkan pengetahuan logis dan rasional.







DAFTAR PUSTAKA
Poedjawijatna. Tahu dan Pengetahuan: pengantar ilmu dan filsafat, Jakarta: PT Rineka Cipta.
Prawironegoro, Darsono. Filsafat Ilmu, Jakarta: Nusantara Consulting, 2010.
Saebani, Beni Ahmad. Filsafat Ilmu: kontemplasi filosofis tentang seluk beluk, sumber, dan tujuan ilmu pengetahuan, Bandung: CV Pustaka Setia, 2009.
Soetrisno dan Rita Hanafie. Filsafat Ilmu dan Metode Penelitian, Jogjakarta: CV Andy, 2007.
Vardianyah, Dani. Filsafat Ilmu Komunikasi, Jakarta: PT Index, 2005.
http://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat



[1] Beni Ahmad Saebani,  Filsafat Ilmu: kontemplasi filosofis tentang seluk beluk, sumber, dan tujuan ilmu pengetahuan, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2009), h. 29.
[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat
[3] Poedjawijatna, Tahu dan Pengetahuan, (Jakarta: PT Rineka Cipta)
[4] Ibid. hal 35
[5] Ibid. hal. 30
[6] Dani Vardiansyah, Filsafat Ilmu Komunikasi, (Jakarta : PT index, 2005)
[7] Beni Ahmad Saebani, Filsafat Ilmu: kontemplasi filosofis tentang seluk beluk, sumber, dan tujuan ilmu pengetahuan, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2009) 

AL-FARABI DAN FILSAFATNYA

PENDAHULUAN
Perkataan “Filsafat”, bukanlah bahasa Arab. Sebelum Islam datang, orang Arab tidak mempunyai filsafat, meskipun mereka mempunyai Hikmah dan Hukama, mempunyai Bijaksana dan para Bijaksanawan. Dalam Al-Qur’an, berulang-ulang kita dapati perkataan Hikmah, dan berulang kali pula dinyatakannya, bahwa Hikmah itu, diperoleh dari Tuhan. Hikmah ini suatu barang yang bukan luar biasa lagi sebagai karunia Tuhan bagi semua bangsa. Tidak demikian halnya dengan filsafat. Filsafat, merupakan suatu bentuk ilmu pengetahuan, yang hanya diciptakan oleh orang-orang Yunani dahulu kala. Karena Tuhan memberikan akal, di mana manusia menggunakannya untuk membentuk filsafat.
Al-Farabi, salah seorang ahli filsafat Islam yang terbesar, telah mengarangkan sebuah analisa dari perkataan filsafat ini. Ia mengatakan, bahwa filsafat terambil dari perkataan philosophia, yang kemudian diuraikannya: philo berarti pencinta dan sophia berarti hikmah, dan karena itu: Philosophia berarti pencinta hikmah atau bijaksana.




PEMBAHASAN
A.    Al-Farabi dan Pemikiran Filsafatnya
Al-Farabi menyandang nama lengkap Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan Abu Nasr al-farabi.[1] Ia lahir di Wasij dekat Farab di kawasan ma wara’a al-nahr (Transoxiana) pada tahun 258 H/870 M, dan wafat tahun 339 H/950 M. Dari data yang terhimpun diinformasikan bahwa al-Farabi hidup dalam keluarga seorang jenderal Turki.[2] Pendidikan dasar al-Farabi dimulai dengan mempelajari dasar-dasar ilmu agama dan bahasa. Ia juga mempelajari matematika dan filsafat serta melakukan pengembaraan untuk mendalami ilmu-ilmu lain. Sejak muda hingga dewasa, ia bergelut dengan dunia ilmu. Ia mengunjungi Bagdad dan belajar pada ahli logika, Abu Bisyr Matta ibnu Yunus dan Yuhanna ibnu Khaylan di Harran.
Di bidang filsafat, ia melahap habis karya-karya Aristoteles sampai-sampai ia membaca de Anima Aristoteles sebanyak 200 kali, dan Physics 40 kali.[3] Berkat keseriusannya mendalami karya-karya Aristoteles, ia pun dijuluki sebagai Guru Kedua. Selama 20 tahun tinggal di Bagdad, al-Farabi tertarik pada pusat Aleppo, tempat berkumpulnya manusia-manusia hebat di lingkungan istana Saif al-Daulah al-Hamadani.[4] Kecerdasan dan kemahirannya pula yang membawanya ke lingkaran istana.[5]
Mengenai filsafat al-Farabi berpendapat bahwa filsafat itu ialah: menyelidiki hakikat sebenarnya dari segala yang ada (obyek material) dengan tujuan untuk mencari hakikat obyek tersebut (obyek formal).
 Mengenai metafisika, al-Farabi antara lain menyinggung tentang hakikat Tuhandan sifat-sifatnya serta teori emanasi.
Dalam hal tasawuf, al-Farabi menitikberatkan pandangannya pada ratio (pikiran), bukan didasari atas kerohanian semata-mata yang berpangkal pada pemberantasan kesenangan-kesenangan lahiriah dari badan untuk dapat membersihkan jiwa dan mencapai kesempurnaan tertinggi.
Dengan demikian al-Farabi berpendapat bahwa kesucian jiwa tidak hanya didapat melalui perbuatan-perbuatan badaniah, akan tetapi yang lebih utama akan didapat melalui pikiran dan pemikiran.[6]
Pemikiran filsafat al-Farabi menjadi dasar pijakan Ibnu Sina. Secara garis besar, obyek kajian filsafat al-Farabi ada lima, yaitu ontologi, metafisika teologis, konsep kosmologi yang berkaitan dengan teori emanasi, jiwa rasional, dan filsafat politik.

Ontologi
 Masalah tertinggi dan universal yang menjadi konsern pemikiran al-Farabi ialah konsep wujud (Being). Sesuatu yang ada namun sulit didefinisikan dengan tepat mengingat wujud lebih dahulu ada sebelum konsep tentang segalanya ada. Mendefinisikan konsep berarti menganalisa apa yang terkandung dalam wujud, padahal wujud (Being) merupakan sesuatu yang paling halus, sehingga ungkapan apapun tak mampu mendefinisikannya.[7]
Metafisika Teologis
Pertanyaan utama yang diajukan kepada Al-Farabi ialah bisakah kita mengetahui tuhan. Dalam satu karyanya, al-Farabi menjawab bahwa tuhan dapat diketahui dan tidak diketahui, Tuhan nampak (zhahir) sekaligus tersembunyi (bathin). Pengetahuan terbaik mengenai tuhan ialah memahami bahwa Dia adalah yang tidak dapat dijangkau oleh pikiran.[8]

Kosmologi
Tuhan adalah keniscayaan, dan keberadaan alam semesta juga kebenaran yang tidak dapat disangkal. Yang menjadi pertannyaan adalah bagaimana relasi alam dengan tuhan. Dalam menjabarkan masakah tuhan dan alam, al-Farabi mengedepankan teori emanasi. Sebenarnya teorinya itu diadopsi dari filsuf  Yunani terdahulu, terutama dari Plotinus mengenai pelimpahan atau emanasi.
Psikologi
Jiwa manusia memancar dari Akal Sepuluh. Al-Farabi sependapat dengan Aristoteles mengenai kapasitas jiwa. Di dalam jiwa terkandung tiga daya utama, antara lain daya gerak (motion, al-muharrikah), mengetahui (cognition, al-mudrikah), dan berfikir (intellection, al-nathiqah).
Konsep al-Farabi mengenai Akal Sepuluh merupakan hasil perpaduan dari berbagai sumber. Penamaan bola-bola langit dapat ditemui pada penamaan astronomi Aristoteles. Al-Farabi sendiri menegaskan bahwa teori akal yang dipakainya didasarkan pada pemikiran Aristoteles yang termaktub pada bagian ketiga De Anima.[9]
Filsafat Politik
Dalam pemikiran politik, al-Farabi telah menulis karya tersendiri tentang Kota Utama (al-Madinah al-Fadhilah). Kota di gambarkan sebagai seonggok tubuh manusia yang memiliki anggota dan fungsi masing-masing. Kepala memegang posisi terpenting karena bertugas mengatur anggota badan yang lain. Kepala mesti bertubuh sehat, kuat, cerdas, cinta ilmu pengetahuan dan keadilan. Tugas lain kepala Negara ialah mendidik rakya berakhlak mulia. Jika tak seorangpun memiliki sifat kenabian, maka Negara diserahkan kepada mereka yang berotak filsuf.

B.     Karya-karyanya
Adapun karya-karyanya yang terkenal ialah:
1)   Ihsha’a al ‘Ulum (kitab tentang kumpulan ilmu)
Kitab ini merupakan kumpulan ilmu dan pembagiannya menurut orang arab. Al-Farabi menambahkan ilmu nahwu, fiqih, dan kalam dalam kumpulan ilmu yang disusun oleh Aristoteles.
2)   Al-Madinah al-Fadhilah (kitab tentang Negara utama)
Dalam kitab ini tampaknya Al-Farabi tertarik pula dengan kenegaraan atau politik. Al-Farabi menghendaki negara itu harus berdiri atas dasar ahlak mulia disatu pihak dan di pihak lain atas dasar perindustrian.
3)   Al-Musiqa (kitab tentang musik)
Tampaknya inilah kitab musik pertama yang didasarkan atas teori, isinya tentang teori musik.
4)   Al-Jam’u bayna Ra’yi al-Hakimain (kitab tentang mempertemukan pendapat dua orang filosof yaitu Plato dan Aristoteles)
Dalam buku ini Al-Farabi berusaha menyatukan kedua filosof tersebut di atas.




KESIMPULAN
Pendidikan dasar al-Farabi dimulai dengan mempelajari dasar-dasar ilmu agama dan bahasa. Ia juga mempelajari matematika dan filsafat serta melakukan pengembaraan untuk mendalami ilmu-ilmu lain. Sejak muda hingga dewasa, ia bergelut dengan dunia ilmu. Ia mengunjungi Bagdad dan belajar pada ahli logika, Abu Bisyr Matta ibnu Yunus dan Yuhanna ibnu Khaylan di Harran. Berkat keseriusannya mendalami karya-karya Aristoteles, ia pun dijuluki sebagai Guru Kedua.
Mengenai filsafat al-Farabi berpendapat bahwa filsafat itu ialah: menyelidiki hakikat sebenarnya dari segala yang ada (obyek material) dengan tujuan untuk mencari hakikat obyek tersebut (obyek formal).
Adapun karya-karyanya yang terkenal ialah Ihsha’a al ‘Ulum (kitab tentang kumpulan ilmu), Al-Madinah al-Fadhilah (kitab tentang Negara utama), Al-Musiqa (kitab tentang musik), dan Al-Jam’u bayna Ra’yi al-Hakimain (kitab tentang mempertemukan pendapat dua orang filosof yaitu Plato dan Aristoteles).





DAFTAR PUSTAKA
Amien Hoesin, Oemar. Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang
Asmuni, Yusran. Dirasah Islamiyah: Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran, Jakarta: RajaGrafindo, 1998.
Drajat, Amroeni. Filsafat Islam: Buat Yang Pengen Tahu, Jakarta: Erlangga, 2006.


[1] Muhammad Luthfi Jum’ah, Tarikh Falasifat al-Islam, h. 22.
[2] M. Saeed Shaikh, Studies in Muslim Philosophy, h. 78.  
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Amroeni Drajat, Filsafat Islam: buat yang pengen tahu, (Jakarta: Erlangga, 2006), h. 26.
[6] Yusran Asmuni, Dirasah Islamiyah: pengantar studi sejarah kebudayaan islam dan pemikiran, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1998), Cet. III, h. 104-109.
[7] Abu Nasr al-Farabi, Kitab Ara Ahl al-Madinat al-Fadhilah, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1996), Cet. VII, h. 61.
[8] Harun Nasution,  Filsafat dan Mistisisme, h. 32
[9] M. Saeed Shaikh, Studies In Muslim Philosophy, h. 93