Senin, 31 Oktober 2011

AL-FARABI DAN FILSAFATNYA

PENDAHULUAN
Perkataan “Filsafat”, bukanlah bahasa Arab. Sebelum Islam datang, orang Arab tidak mempunyai filsafat, meskipun mereka mempunyai Hikmah dan Hukama, mempunyai Bijaksana dan para Bijaksanawan. Dalam Al-Qur’an, berulang-ulang kita dapati perkataan Hikmah, dan berulang kali pula dinyatakannya, bahwa Hikmah itu, diperoleh dari Tuhan. Hikmah ini suatu barang yang bukan luar biasa lagi sebagai karunia Tuhan bagi semua bangsa. Tidak demikian halnya dengan filsafat. Filsafat, merupakan suatu bentuk ilmu pengetahuan, yang hanya diciptakan oleh orang-orang Yunani dahulu kala. Karena Tuhan memberikan akal, di mana manusia menggunakannya untuk membentuk filsafat.
Al-Farabi, salah seorang ahli filsafat Islam yang terbesar, telah mengarangkan sebuah analisa dari perkataan filsafat ini. Ia mengatakan, bahwa filsafat terambil dari perkataan philosophia, yang kemudian diuraikannya: philo berarti pencinta dan sophia berarti hikmah, dan karena itu: Philosophia berarti pencinta hikmah atau bijaksana.




PEMBAHASAN
A.    Al-Farabi dan Pemikiran Filsafatnya
Al-Farabi menyandang nama lengkap Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan Abu Nasr al-farabi.[1] Ia lahir di Wasij dekat Farab di kawasan ma wara’a al-nahr (Transoxiana) pada tahun 258 H/870 M, dan wafat tahun 339 H/950 M. Dari data yang terhimpun diinformasikan bahwa al-Farabi hidup dalam keluarga seorang jenderal Turki.[2] Pendidikan dasar al-Farabi dimulai dengan mempelajari dasar-dasar ilmu agama dan bahasa. Ia juga mempelajari matematika dan filsafat serta melakukan pengembaraan untuk mendalami ilmu-ilmu lain. Sejak muda hingga dewasa, ia bergelut dengan dunia ilmu. Ia mengunjungi Bagdad dan belajar pada ahli logika, Abu Bisyr Matta ibnu Yunus dan Yuhanna ibnu Khaylan di Harran.
Di bidang filsafat, ia melahap habis karya-karya Aristoteles sampai-sampai ia membaca de Anima Aristoteles sebanyak 200 kali, dan Physics 40 kali.[3] Berkat keseriusannya mendalami karya-karya Aristoteles, ia pun dijuluki sebagai Guru Kedua. Selama 20 tahun tinggal di Bagdad, al-Farabi tertarik pada pusat Aleppo, tempat berkumpulnya manusia-manusia hebat di lingkungan istana Saif al-Daulah al-Hamadani.[4] Kecerdasan dan kemahirannya pula yang membawanya ke lingkaran istana.[5]
Mengenai filsafat al-Farabi berpendapat bahwa filsafat itu ialah: menyelidiki hakikat sebenarnya dari segala yang ada (obyek material) dengan tujuan untuk mencari hakikat obyek tersebut (obyek formal).
 Mengenai metafisika, al-Farabi antara lain menyinggung tentang hakikat Tuhandan sifat-sifatnya serta teori emanasi.
Dalam hal tasawuf, al-Farabi menitikberatkan pandangannya pada ratio (pikiran), bukan didasari atas kerohanian semata-mata yang berpangkal pada pemberantasan kesenangan-kesenangan lahiriah dari badan untuk dapat membersihkan jiwa dan mencapai kesempurnaan tertinggi.
Dengan demikian al-Farabi berpendapat bahwa kesucian jiwa tidak hanya didapat melalui perbuatan-perbuatan badaniah, akan tetapi yang lebih utama akan didapat melalui pikiran dan pemikiran.[6]
Pemikiran filsafat al-Farabi menjadi dasar pijakan Ibnu Sina. Secara garis besar, obyek kajian filsafat al-Farabi ada lima, yaitu ontologi, metafisika teologis, konsep kosmologi yang berkaitan dengan teori emanasi, jiwa rasional, dan filsafat politik.

Ontologi
 Masalah tertinggi dan universal yang menjadi konsern pemikiran al-Farabi ialah konsep wujud (Being). Sesuatu yang ada namun sulit didefinisikan dengan tepat mengingat wujud lebih dahulu ada sebelum konsep tentang segalanya ada. Mendefinisikan konsep berarti menganalisa apa yang terkandung dalam wujud, padahal wujud (Being) merupakan sesuatu yang paling halus, sehingga ungkapan apapun tak mampu mendefinisikannya.[7]
Metafisika Teologis
Pertanyaan utama yang diajukan kepada Al-Farabi ialah bisakah kita mengetahui tuhan. Dalam satu karyanya, al-Farabi menjawab bahwa tuhan dapat diketahui dan tidak diketahui, Tuhan nampak (zhahir) sekaligus tersembunyi (bathin). Pengetahuan terbaik mengenai tuhan ialah memahami bahwa Dia adalah yang tidak dapat dijangkau oleh pikiran.[8]

Kosmologi
Tuhan adalah keniscayaan, dan keberadaan alam semesta juga kebenaran yang tidak dapat disangkal. Yang menjadi pertannyaan adalah bagaimana relasi alam dengan tuhan. Dalam menjabarkan masakah tuhan dan alam, al-Farabi mengedepankan teori emanasi. Sebenarnya teorinya itu diadopsi dari filsuf  Yunani terdahulu, terutama dari Plotinus mengenai pelimpahan atau emanasi.
Psikologi
Jiwa manusia memancar dari Akal Sepuluh. Al-Farabi sependapat dengan Aristoteles mengenai kapasitas jiwa. Di dalam jiwa terkandung tiga daya utama, antara lain daya gerak (motion, al-muharrikah), mengetahui (cognition, al-mudrikah), dan berfikir (intellection, al-nathiqah).
Konsep al-Farabi mengenai Akal Sepuluh merupakan hasil perpaduan dari berbagai sumber. Penamaan bola-bola langit dapat ditemui pada penamaan astronomi Aristoteles. Al-Farabi sendiri menegaskan bahwa teori akal yang dipakainya didasarkan pada pemikiran Aristoteles yang termaktub pada bagian ketiga De Anima.[9]
Filsafat Politik
Dalam pemikiran politik, al-Farabi telah menulis karya tersendiri tentang Kota Utama (al-Madinah al-Fadhilah). Kota di gambarkan sebagai seonggok tubuh manusia yang memiliki anggota dan fungsi masing-masing. Kepala memegang posisi terpenting karena bertugas mengatur anggota badan yang lain. Kepala mesti bertubuh sehat, kuat, cerdas, cinta ilmu pengetahuan dan keadilan. Tugas lain kepala Negara ialah mendidik rakya berakhlak mulia. Jika tak seorangpun memiliki sifat kenabian, maka Negara diserahkan kepada mereka yang berotak filsuf.

B.     Karya-karyanya
Adapun karya-karyanya yang terkenal ialah:
1)   Ihsha’a al ‘Ulum (kitab tentang kumpulan ilmu)
Kitab ini merupakan kumpulan ilmu dan pembagiannya menurut orang arab. Al-Farabi menambahkan ilmu nahwu, fiqih, dan kalam dalam kumpulan ilmu yang disusun oleh Aristoteles.
2)   Al-Madinah al-Fadhilah (kitab tentang Negara utama)
Dalam kitab ini tampaknya Al-Farabi tertarik pula dengan kenegaraan atau politik. Al-Farabi menghendaki negara itu harus berdiri atas dasar ahlak mulia disatu pihak dan di pihak lain atas dasar perindustrian.
3)   Al-Musiqa (kitab tentang musik)
Tampaknya inilah kitab musik pertama yang didasarkan atas teori, isinya tentang teori musik.
4)   Al-Jam’u bayna Ra’yi al-Hakimain (kitab tentang mempertemukan pendapat dua orang filosof yaitu Plato dan Aristoteles)
Dalam buku ini Al-Farabi berusaha menyatukan kedua filosof tersebut di atas.




KESIMPULAN
Pendidikan dasar al-Farabi dimulai dengan mempelajari dasar-dasar ilmu agama dan bahasa. Ia juga mempelajari matematika dan filsafat serta melakukan pengembaraan untuk mendalami ilmu-ilmu lain. Sejak muda hingga dewasa, ia bergelut dengan dunia ilmu. Ia mengunjungi Bagdad dan belajar pada ahli logika, Abu Bisyr Matta ibnu Yunus dan Yuhanna ibnu Khaylan di Harran. Berkat keseriusannya mendalami karya-karya Aristoteles, ia pun dijuluki sebagai Guru Kedua.
Mengenai filsafat al-Farabi berpendapat bahwa filsafat itu ialah: menyelidiki hakikat sebenarnya dari segala yang ada (obyek material) dengan tujuan untuk mencari hakikat obyek tersebut (obyek formal).
Adapun karya-karyanya yang terkenal ialah Ihsha’a al ‘Ulum (kitab tentang kumpulan ilmu), Al-Madinah al-Fadhilah (kitab tentang Negara utama), Al-Musiqa (kitab tentang musik), dan Al-Jam’u bayna Ra’yi al-Hakimain (kitab tentang mempertemukan pendapat dua orang filosof yaitu Plato dan Aristoteles).





DAFTAR PUSTAKA
Amien Hoesin, Oemar. Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang
Asmuni, Yusran. Dirasah Islamiyah: Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran, Jakarta: RajaGrafindo, 1998.
Drajat, Amroeni. Filsafat Islam: Buat Yang Pengen Tahu, Jakarta: Erlangga, 2006.


[1] Muhammad Luthfi Jum’ah, Tarikh Falasifat al-Islam, h. 22.
[2] M. Saeed Shaikh, Studies in Muslim Philosophy, h. 78.  
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Amroeni Drajat, Filsafat Islam: buat yang pengen tahu, (Jakarta: Erlangga, 2006), h. 26.
[6] Yusran Asmuni, Dirasah Islamiyah: pengantar studi sejarah kebudayaan islam dan pemikiran, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1998), Cet. III, h. 104-109.
[7] Abu Nasr al-Farabi, Kitab Ara Ahl al-Madinat al-Fadhilah, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1996), Cet. VII, h. 61.
[8] Harun Nasution,  Filsafat dan Mistisisme, h. 32
[9] M. Saeed Shaikh, Studies In Muslim Philosophy, h. 93