PENDAHULUAN
Perkataan “Filsafat”,
bukanlah bahasa Arab. Sebelum Islam datang, orang Arab tidak mempunyai
filsafat, meskipun mereka mempunyai Hikmah dan Hukama, mempunyai Bijaksana
dan para Bijaksanawan. Dalam Al-Qur’an, berulang-ulang kita dapati perkataan Hikmah,
dan berulang kali pula dinyatakannya, bahwa Hikmah itu, diperoleh dari Tuhan.
Hikmah ini suatu barang yang bukan luar biasa lagi sebagai karunia Tuhan bagi
semua bangsa. Tidak demikian halnya dengan filsafat. Filsafat, merupakan suatu
bentuk ilmu pengetahuan, yang hanya diciptakan oleh orang-orang Yunani dahulu
kala. Karena Tuhan memberikan akal, di mana manusia menggunakannya untuk
membentuk filsafat.
Al-Farabi,
salah seorang ahli filsafat Islam yang terbesar, telah mengarangkan sebuah
analisa dari perkataan filsafat ini. Ia mengatakan, bahwa filsafat terambil
dari perkataan philosophia, yang kemudian diuraikannya: philo
berarti pencinta dan sophia berarti hikmah, dan karena
itu: Philosophia berarti pencinta hikmah atau bijaksana.
PEMBAHASAN
A.
Al-Farabi dan Pemikiran Filsafatnya
Al-Farabi menyandang nama lengkap Muhammad bin Muhammad
bin Tarkhan Abu Nasr al-farabi.[1]
Ia lahir di Wasij dekat Farab di kawasan ma wara’a al-nahr (Transoxiana)
pada tahun 258 H/870 M, dan wafat tahun 339 H/950 M. Dari data yang terhimpun
diinformasikan bahwa al-Farabi hidup dalam keluarga seorang jenderal Turki.[2]
Pendidikan dasar al-Farabi dimulai dengan mempelajari dasar-dasar ilmu agama
dan bahasa. Ia juga mempelajari matematika dan filsafat serta melakukan pengembaraan
untuk mendalami ilmu-ilmu lain. Sejak muda hingga dewasa, ia bergelut dengan
dunia ilmu. Ia mengunjungi Bagdad dan belajar pada ahli logika, Abu Bisyr Matta
ibnu Yunus dan Yuhanna ibnu Khaylan di Harran.
Di bidang filsafat, ia melahap habis karya-karya
Aristoteles sampai-sampai ia membaca de Anima Aristoteles sebanyak 200
kali, dan Physics 40 kali.[3]
Berkat keseriusannya mendalami karya-karya Aristoteles, ia pun dijuluki sebagai
Guru Kedua. Selama 20 tahun tinggal di Bagdad, al-Farabi tertarik pada
pusat Aleppo, tempat berkumpulnya manusia-manusia hebat di lingkungan istana
Saif al-Daulah al-Hamadani.[4]
Kecerdasan dan kemahirannya pula yang membawanya ke lingkaran istana.[5]
Mengenai
filsafat al-Farabi berpendapat bahwa filsafat itu ialah: menyelidiki hakikat
sebenarnya dari segala yang ada (obyek material) dengan tujuan untuk mencari
hakikat obyek tersebut (obyek formal).
Mengenai metafisika, al-Farabi antara lain
menyinggung tentang hakikat Tuhandan sifat-sifatnya serta teori emanasi.
Dalam
hal tasawuf, al-Farabi menitikberatkan pandangannya pada ratio (pikiran), bukan
didasari atas kerohanian semata-mata yang berpangkal pada pemberantasan
kesenangan-kesenangan lahiriah dari badan untuk dapat membersihkan jiwa dan
mencapai kesempurnaan tertinggi.
Dengan
demikian al-Farabi berpendapat bahwa kesucian jiwa tidak hanya didapat melalui
perbuatan-perbuatan badaniah, akan tetapi yang lebih utama akan didapat melalui
pikiran dan pemikiran.[6]
Pemikiran
filsafat al-Farabi menjadi dasar pijakan Ibnu Sina. Secara garis besar, obyek
kajian filsafat al-Farabi ada lima, yaitu ontologi, metafisika teologis, konsep kosmologi
yang berkaitan dengan teori emanasi, jiwa rasional, dan filsafat politik.
Ontologi
Masalah tertinggi dan universal yang menjadi konsern
pemikiran al-Farabi ialah konsep wujud (Being). Sesuatu yang ada namun
sulit didefinisikan dengan tepat mengingat wujud lebih dahulu ada sebelum
konsep tentang segalanya ada. Mendefinisikan konsep berarti menganalisa apa
yang terkandung dalam wujud, padahal wujud (Being) merupakan sesuatu
yang paling halus, sehingga ungkapan apapun tak mampu mendefinisikannya.[7]
Metafisika Teologis
Pertanyaan
utama yang diajukan kepada Al-Farabi ialah bisakah kita mengetahui tuhan. Dalam
satu karyanya, al-Farabi menjawab bahwa tuhan dapat diketahui dan tidak
diketahui, Tuhan nampak (zhahir)
sekaligus tersembunyi (bathin).
Pengetahuan terbaik mengenai tuhan ialah memahami bahwa Dia adalah yang tidak
dapat dijangkau oleh pikiran.[8]
Kosmologi
Tuhan
adalah keniscayaan, dan keberadaan alam semesta juga kebenaran yang tidak dapat
disangkal. Yang menjadi pertannyaan adalah bagaimana relasi alam dengan tuhan.
Dalam menjabarkan masakah tuhan dan alam, al-Farabi mengedepankan teori
emanasi. Sebenarnya teorinya itu diadopsi dari filsuf Yunani terdahulu, terutama dari Plotinus
mengenai pelimpahan atau emanasi.
Psikologi
Jiwa
manusia memancar dari Akal Sepuluh. Al-Farabi sependapat dengan Aristoteles
mengenai kapasitas jiwa. Di dalam jiwa terkandung tiga daya utama, antara lain daya
gerak (motion, al-muharrikah),
mengetahui (cognition, al-mudrikah),
dan berfikir (intellection, al-nathiqah).
Konsep
al-Farabi mengenai Akal Sepuluh merupakan hasil perpaduan dari berbagai sumber.
Penamaan bola-bola langit dapat ditemui pada penamaan astronomi Aristoteles.
Al-Farabi sendiri menegaskan bahwa teori akal yang dipakainya didasarkan pada
pemikiran Aristoteles yang termaktub pada bagian ketiga De Anima.[9]
Filsafat Politik
Dalam
pemikiran politik, al-Farabi telah menulis karya tersendiri tentang Kota Utama
(al-Madinah al-Fadhilah). Kota di
gambarkan sebagai seonggok tubuh manusia yang memiliki anggota dan fungsi
masing-masing. Kepala memegang posisi terpenting karena bertugas mengatur
anggota badan yang lain. Kepala mesti bertubuh sehat, kuat, cerdas, cinta ilmu
pengetahuan dan keadilan. Tugas lain kepala Negara ialah mendidik rakya
berakhlak mulia. Jika tak seorangpun memiliki sifat kenabian, maka Negara
diserahkan kepada mereka yang berotak filsuf.
B.
Karya-karyanya
Adapun
karya-karyanya yang terkenal ialah:
1) Ihsha’a
al ‘Ulum (kitab tentang kumpulan ilmu)
Kitab
ini merupakan kumpulan ilmu dan pembagiannya menurut orang arab. Al-Farabi
menambahkan ilmu nahwu, fiqih, dan kalam dalam kumpulan ilmu yang disusun oleh
Aristoteles.
2) Al-Madinah
al-Fadhilah (kitab tentang Negara utama)
Dalam kitab ini
tampaknya Al-Farabi tertarik pula dengan kenegaraan atau politik. Al-Farabi
menghendaki negara itu harus berdiri atas dasar ahlak mulia disatu pihak dan di
pihak lain atas dasar perindustrian.
3) Al-Musiqa
(kitab tentang musik)
Tampaknya inilah kitab
musik pertama yang didasarkan atas teori, isinya tentang teori musik.
4) Al-Jam’u
bayna Ra’yi al-Hakimain (kitab tentang mempertemukan pendapat dua orang filosof
yaitu Plato dan Aristoteles)
Dalam buku ini
Al-Farabi berusaha menyatukan kedua filosof tersebut di atas.
KESIMPULAN
Pendidikan dasar al-Farabi dimulai dengan mempelajari
dasar-dasar ilmu agama dan bahasa. Ia juga mempelajari matematika dan filsafat
serta melakukan pengembaraan untuk mendalami ilmu-ilmu lain. Sejak muda hingga
dewasa, ia bergelut dengan dunia ilmu. Ia mengunjungi Bagdad dan belajar pada
ahli logika, Abu Bisyr Matta ibnu Yunus dan Yuhanna ibnu Khaylan di Harran.
Berkat keseriusannya mendalami karya-karya Aristoteles, ia pun dijuluki sebagai
Guru Kedua.
Mengenai
filsafat al-Farabi berpendapat bahwa filsafat itu ialah: menyelidiki hakikat
sebenarnya dari segala yang ada (obyek material) dengan tujuan untuk mencari
hakikat obyek tersebut (obyek formal).
Adapun
karya-karyanya yang terkenal ialah Ihsha’a al ‘Ulum (kitab tentang kumpulan
ilmu), Al-Madinah al-Fadhilah (kitab tentang Negara utama), Al-Musiqa (kitab
tentang musik), dan Al-Jam’u bayna Ra’yi al-Hakimain (kitab tentang
mempertemukan pendapat dua orang filosof yaitu Plato dan Aristoteles).
DAFTAR PUSTAKA
Amien Hoesin, Oemar. Filsafat Islam, Jakarta:
Bulan Bintang
Asmuni, Yusran. Dirasah Islamiyah: Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan
Islam dan Pemikiran, Jakarta: RajaGrafindo, 1998.
Drajat, Amroeni. Filsafat Islam: Buat Yang Pengen Tahu, Jakarta:
Erlangga, 2006.
[5] Amroeni Drajat, Filsafat
Islam: buat yang pengen tahu, (Jakarta: Erlangga, 2006), h. 26.
[6] Yusran Asmuni, Dirasah
Islamiyah: pengantar studi sejarah kebudayaan islam dan pemikiran,
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1998), Cet. III, h. 104-109.
[7] Abu
Nasr al-Farabi, Kitab Ara Ahl al-Madinat al-Fadhilah, (Beirut: Dar
al-Masyriq, 1996), Cet. VII, h. 61.
[8] Harun Nasution, Filsafat
dan Mistisisme, h. 32
[9] M. Saeed Shaikh, Studies In Muslim Philosophy, h. 93