Rabu, 09 November 2011

Pengertian Amtsal Al-Qur’an

 Pengertian Amtsal Al-Qur’an
      Amsal adalah bentuk jamak dari  masal. Kata masal, Misl dan masil adalah sama dengan syabah, syibh dan syabih, baik lafaz maupun maknanya.
      Dalam sastra masal adalah suatu ungkapan perkataan yang dihikayatkan dan sudah popular dengan maksud menyerupakan keadaan yang terdapat dalam perkataan itu dengan keadaan sesuatu yang karenanya perkataan itu diucapkan.maksudnya, menyerupakan sesuatu (sesorang, keadaan) dengan apayang terkandung dalam perkataan. Misalnya,رب رمية من غير رام                  (betapa banyak lemparan panah yang mengena tanpa sengaja). Artinya, betapa banyak lemparan panah yang mengenai sasaran itu dilkukan seorang pelempar yang biasanya tidak tepat lemparannya. Orang pertama yang mengucapkan masal ini adalah al-Hakam bin Yagus an-Nagri. Masal ini ia katakan kepada orang yang biasanya berbuat salah yang kadang-kadang ia berbuat benar. Atas dasar ini masal harus mempunyai maurid (sumber) yang kepadanya yang sesuatu yang lain diserupakan.
      Kata masal digunakan pula untuk menunjukan arti “keadaan” dan “kisah yang menakjubkan”. Dengan pengertian inilah ditafsirkan dengan kata-kata “masal” dalam sejumlah besar ayat. Misalnya firman Allah:
      “(Apakah) masal surga yang didalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya…” (Muhammad [47]:15) maksudnya, kisah dan sifat surga yang sangat mengagumkan.[1]
Pengertian Amtsal menurut para ulama dengan redaksi yang berbeda-beda:
1.   Menurut Rasyid Ridha
Amtsal adalah kalimat yang digunakan untuk memberi kesan dan menggerakkan hati nurani, Bila didengar terus, pengaruhnya akan menyentuh lubuk hati yang paling dalam
2.   Menurut Ibnu Al-Qayyim
”Menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam hukumya. Mendekatkan sesuatu yang abstrak dengan sesuatu yang kongkret, atau salah satu dari keduanya dengan yang lainnya”
3.   Menurut Muhammad Bakar Ismail
Amtsal alquran adalah mengumpamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Baik dengan jalan isti’arah. Kinayah. Atau tasbiyah
Berdasarkan pengertian diatas . baik secara bahasa atau istilah. Dapat disimpulkan bahwa amtsal Al-Quran adalah menampilkan sesuatu yang hanya ada dalam pikiran. dengan diskripsi sesuatu yang dapat dindera. Melalui pengungkapan yang indah dan mempesona. Baik dengan jalan tasbiyah. Istiarah. Kinayah.atau mursal.
Dilihat dari segi istilah amtsal dikenal sebagai salah satu aspek ilmu sastra arab. Pengertian amtsal dalam Al-Quran lebih tepat digunakan untuk mengacu pada kesan dan sentuhan perasaan terhadap apa yang dikandungnya. Tanpa mempersoalkan ada atau tidak adanya kisah yang berhubungan dengan amtsal itu.[2]
Suatu hakikat yang tinggi makna dan tujuannya menjadi lebih menarik jika dituangkan dalam kerangka ucapan yang baik dan mendekatkan kepada pemahaman, melalui analogi dengan sesuatu yang telah diketahui secara yakin. Tamsil (perumpamaan) merupakan kerangka yang dapat menampilkan makna-makna dalam bentuk yang hidup dan mantap di dalam pikiran, dengan cara menyerupakan sesuatu yang ghaib dengan yang hadir, yang abstrak dengan yang kongkrit, dan dengan menganalogikan sesuatu dengan hal yang serupa. Melalui tamsil betapa banyak makna yang baik menjadi lebih indah, menarik dan mempesona. Karena itu tamsil dapat lebih mendorong jiwa untuk menerima makna yang dimaksudkan dan membuat akal merasa puas dengannya. Dan tamsil adalah salah satu gaya Al-Quran dalam mengungkapkan berbagai penjelasan dan segi-segi kemukjizatan.
Zamakhsyari telah mengisyaratkan akan ketiga arti ini dalam kitabnya, al-Kasysyaf. Ia berkata: masal menurut asal perkataan mereka berarti al-misl dan an-nazir (yang serupa, yang sebanding). Kemudian setiap perkataan yang berlaku, popular, yang menyerupakan sesuatu (orang, keadaan dan sebagainya) dengan “maurid” (atau apa yang terkandung dalam) perkataan itu disebut masal. Mereka tidak menjadikan sebagai masal dan tidak memandang pantas untuk dijadikan masal yang layak diterima dan dipopulerkan kecuali perkataan yang mengandung keanehan dari berbagai segi. Dan, katanya lebih lanjut, “masal” dipinjam (dipakai secara pinjaman) untuk menunjukan keadaan, sifat atau kisah jika ketiganya dianggap penting dan mempunyai keanehan.
      Masih terdapat makna lain, yakni makna keempat,dari masal menurut ulama Bayan. Menurut mereka, masal adalah majaz murakkab yang ‘alaqah-nya musyabahah jika penggunaannya telah populer. Majaz ini pada asalnya adalah isti’arah tamsiliyah, seperti kata-kata yang diucapkan terhadap orang yang ragu-ragu dalam melakukan suatu urusan:              ما لي أراك تقدم رجلا وتؤ خر أخراى  (Mengapa aku lihat engkau melangkahkan satu kaki dan menggundurkan kaki yang lain/).
      Dikatakan pula, definisi masal ialah menonjolkan suatu makna (yang abstrak) dalam bentuk yang indrawi agar menjadi indah dan menarik,. Dengan pengertian ini maka masal tidak disyaratkan harus mempunyai maurid sebagaimana tidak diisyaratkan pula harus berupa majaz murakkab.
      Apabila memperhatikan masal-masal Qur’an yang disebutkan oleh pengarang, kita dapatkan bahwa mereka mengemukakan ayat-ayat yang berisi penggambaran kedaan suatu hal dengan keadaan hal lain. Baik penggambaran itu dengan cara isti’arah maupun dengan tasybih sarih (penyerupaan yang jelas); atau ayat-ayat yang menunjukan makna yang menarik dengan redaksi ringkas dan padat; atau ayat-ayat yang dapat dipergunakan bagi sesuatu yang menyerupai dengan apa yang berkenaan dengan ayat itu. Sebab, Allah mengungkapkan aya-ayat itu secara langsung, tanpa sumber yang mendahuluinya.
      Dengan demikian, maka amsal Qur’an tidak dapat diartikan dengan arti etimologis, asy-syabih dan an-nazir. Juga tidak tepat diartikan dengan pengertian yang disebutkan dalam kitab-kitab kebahasaan yang dipakai oleh para penggubah masal-masal, sebab amsal Qur’an bukanlah perkataan-perkataan yang dipergunakan untuk menyerupakan sesuatu dengan isi perkataan itu. Juga tidak tepat diartikan dengan arti masal menurut ulama Bayan, karena di amsal Qur’an ada yang buka isti’arah dan penggunaannya pun tidak begitu popular. Oleh karena itu maka definisi terakhir lebih cocok dengan pengertian amsal dalam Qur’an. Yaitu, menonjolkan makna dalam bentuk (perkataan) yang menarik dan padat serta mempunyai pengaruh mendalam terhadap jiwa, baik berupa tasybih ataupun perkataan bebas (lepas,bukan tasybih).
      Dalam kamus besar bahasa Indonesia amtsal adalah umpama atau perumpamaan.
      Ibnul Qayyim mendefinisikan amsal Qur’an dengan “menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam hal hukumnya, dan mendekatkan sesuatu yang abstrak (ma’qul) dengan yang indrawi(konkrit, mahsus), atau mendekatkan salah satu dari dua mahsus dengan yang lain dan menganggap salah satunya itu sebagai yang lain.”
      Lebih lanjut ia mengemukakan sejumlah contoh. Contoh-contoh tersebut sebagian besar berupa penggunaan tasybih sarih, seperti firman Allah:
      “Sesungguhnya masal kehidupan duniawi itu adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit.” (Yunus [10]:24). Sebagian lagi berupa penggunaan  tasybih dimni (penyerupaan secara tidak tegas, tidak langsung), misalnya:
      “Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang dari kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.” (al-Hujurat [49]:12). Dikatakan dimni karena dalam ayat ini tidak terdapat tasybih sarih. Dan ada pula yang tidak mengandung tasybih maupun isti’arah, seperti firman-Nya:
      Wahai manusia, telah dibuat sebuah perumpamaan,maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalt pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tidaklah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah.” (al-Hajj [22]:73). Firman-Nya, “Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun” oleh Allah disebut dengan masal padahal didalamnya tidak terdapat isti’arah maupun tasybih.
Di dalam Al-quran sendiri, kata matsal dipergunakan dalam beberapa pengertian, diantaranya :
1. Matsal diartikan dengan “perkataan atau informasi mengenai dirinya sendiri”.
2.  Matsal berarti “contoh atau tauladan”
3.  Matsal berarti “penerangan”
4.  Matsal berarti “tanda atau bukti”.[3]
5. Matsal berarti “keadaan, kisah dan sifat yang menarik perhatian serta menakjubkan”
6. matsal berarti “perbandingan”.
2.      Macam-macam Amtsal dalam Qur’an
      Amsal didalam Qur’an ada 3 macam, yaitu:[4]
1). Amsal musarrahah, ialah yang didalamnya dijelaskan dengan lafaz masal atau sesuatu yang menunjukan tasybih. Amsal seperti ini banyak ditemukan dalam Qur’an dan berikut ini beberapa diantaranya:
      a). Firman Allah mengenai orang munafik:
                 “Perumpamaan (masal) mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya, Allah menghilangkan cahaya (yang menyinari) mereka dan membiarkan mereka dalam kegelapan,tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar). Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat…” (al-baqarah [2]:17-20)
                  Didalam ayat-ayat ini Allah membuat dua perumpamaan (masal) bagi orang-orang munafik; masal yang berkenaan dengan api (nari) dalam firman-Nya, ”adalah seperti orang yang menyalakan api…”, karena di air (ma’i), “atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit…”, karena di dalam air terdapat materi kehidupan. Dan wahyu yang turun dari langit pun bermaksud untuk menerangi hati dan menghidupkannya. Allah menyebutkan juga kedudukan  dan fasilitas orang munafik dalam dua keadaan. Di satu sisi mereka bagaikan orang yang menyalakan api untuk penerangan dan kemanfaatan; mengingat mereka memperoleh kemanfaatan materi dengan sebab masuk Islam. Namun disisi lain Islam tidak memberikan pengaruh “nur”-nya terhadap hati mereka karena Allah menghilangkan cahaya (nur) yang ada dalam api itu, “Allah menghilangkan cahaya (yang menyinari) mereka”, dan membiarkan unsur “membakar” yang ada padanya. Inilah perumpamaan mereka yang berkenaan dengan api.
                  Mengenai masal mereka yang berkenaan dengan air (ma’i), Allah menyerupakan mereka dengan keadaan orang yang ditimpa hujan lebat yang disertai gelap gulita, guruh  dan kilat, sehingga terkoyaklah kekuatan orang itu dan ia meletakkan jari-jemari untuk menyumbat telinga serta memejamkan mata karena takut petir menimpanya. Ini mengingat bahwa Qur’an dengan segala peringatan, perintah, larangan dan khitabnya bagi mereka tidak ubahnya dengan petir yang turun ambar-menyambar.
b). Allah menyebut pula dua macam masal, ma’i dan nari, dalam surat ar-Rad, bagi yang hak dan yang batil:
      “Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air dilembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengambang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan, masal, (bagi) yang benar dan yang batil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tidak ada harganya;adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan.” (ar-Rad [13]:17).
            Wahyu yang telah diturunkan Allah dari langit untuk kehidupan hati diserupakan dengan air hujan yang diturunkan-Nya untuk kehidupan bumi dengan tumbuh-tumbuhan. Dan hati diserupakan dengan lembah. Arus air yang mengalir di lembah, membawa buih dan sampah.begitu pula hidayah dan ilmu bila mengalir di hati akan berpengaruh terhadap nafsu syahwat, dengan menghilangkannya. Inilah masal ma’I dalam firman-Nya “Dia telah menurunkan air (hujan) dari langit….” Demikianlah Allah membuat masal bagi yang hak dan yang batil.
            Mengenai masal nari,dikemukakan dalam firman-Nya, “Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api…” Logam, baik emas, perak, tembaga maupun besi, ketika dituangkan kedalam api, maka api akan menghilangkan kotoran, karat, yang melekat padanya, dan memisahkannya dari subtansi yang dapat dimanfaatkan, sehingga hilanglah karat itu dengan sia-sia. Begitu pula, syahwat akan dilemparkan dengan sia-sia oleh hati orang mukmin sebagaimana arus air menghanyutkan sampah atau api melemparkan karat logam.
2). Amsal Kaminah, yaitu yang didalamnya tidak disebutkan dengan jelas lafaz tamsil (pemisalan) tetapi ia menunjukan makna-makna yang indah, menarik dalam kepadatan redaksinya, dan mempunyai pengaruh tersendiri bila dipindahkan kepada yang serupa dengannya. Untuk masal ini mereka mengajukan sejumlah contoh, diantaranya:
A. Ayat-ayat yang senada dengan perkataan: خير الا مور الو سط (sebaik-baiknya urusan adalah pertengahannya), misalnya firman Allah mengenai infaq:
      “dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan jangan (pula) terlalu mengulurkannya.” (al-Isra’ [17]:29)
B. Ayat yang senada dengan perkataan:  ليس الخير كا لمعا ينة (kabar itu tidak sama dengan menyaksikan sendiri). Misalnya firman Allah tentang Ibrahim:
      “Allah berfirman: ‘Apakah kamu belum percaya?’ Ibrahim menjawab: ‘saya telah percaya, akan tetapi agar bertambah tetap hati saya.’” (al-Baqarah [2]:260)
C. Ayat yang senada dengan perkataan: كما تدين تدان (sebagaimana kamu telah menghutangkan, maka kamu akan dibayar). Misalnya:
      “barang siapa mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu.”(an-Nisa’ [4]:123).
D. Ayat yang senada dengan perkataan:   لايلدغ المؤمن من جحر مر تين(orang mukmin tidak akan disengat dua kali dari lubang yang sama). Misalnya firman Allah melalui lisan Ya’kub:
      “bagaimana aku mempercayakannya (bunyamin) kepadamu, kecuali seperti aku telah mempercayakan saudaranya (yusuf) kepadamu dahulu.”(Yusuf [12]:64)
3). Amsal Mursalah, yaitu kalimat-kalimat bebas yang tidak menggunakan lafaz tasybih secara jelas. Tetapi kalimat-kalimat itu berlaku sebagai masal.
                  Berikut ini contoh-contohnya:
      a). “Sekarang ini jelaslah kebenaran itu.” (Yusuf [12]:51),
      b). “tidak ada yang menyatakan terjadinya hari itu selain dari Allah.” (an-Najm [53]:58)
c). “telah diputuskan perkara yang kamu berdua menanyakannya (kepadaku).”  (Yusuf [12]:41),
d). “Bukankah subuh itu sudah dekat?”  (Hud [11]:81),
e). “Untuk tiap-tiap berita (yang dibawa oleh rasul-rasul) ada (waktu) terjadinya.” (an-An’am [6]:67),
f). ”Dan rencana yang jahat itu tidak akan menimpa selai orang yang merencanakannya sendiri.” (Fathir [35]:43)
g). ”Katakanlah: tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing.” (Al-Isra [17]: 84)
h). ”Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu.” (al-Baqarah [2]: 216)


3.   Urgensi Amtsal Al-Qur’an        
Amtsal memberikan kontribusi yang cukup besar dalam daya pikir bagi umat Islam dalam mendalami pemahaman terhadap Al Qur’an.[5] Untuk mengetahui betapa besar urgensi amtsal Al Qur’an, maka perlu pemakalah utarakan beberapa faedah amtsal. Manna’ Al Qaththan mengemukakan dalam kitabnya Mabahits fi Ulumil Qur’an sebagai berikut:
  1. menonjolkan suatu yang ma’qul (yang hanya bisa dijangkau akal, abstrak) dalam bentuk yang kongkrit yang dapat dirasakan indra manusia, sehingga akal dapat menerimanya, sebab pengertian abstrak tidak akan tertanam dalam benak kecuali jika ia dituangkan dalam bentuk indrawi yang dekat dengan pemahaman. Misalnya firman Allah mengenai keadaan orang yang menafkahkan harta dengan riya’ ia tidak akan mendapatkan pahala sedikitpun dari perbuatannya itu.
  2. menyingkapkan hakikat-hakikat dan mengemukakan sesuatu yang tidak tampak seakan-akan sesuatu itu tampak
  3. mengumpulkan makna yang menarik lagi indah dalam ungkapan yang padat, seperti amtsal kaminah dan amsal musalah dalam ayat-ayat diatas.
  4. mendorong orang yang diberi masal untuk berbuat sesuai dengan isi matsal, jika ia merupakan sesuatu yang disenangi jiwa. Misalnya Allah membuar matsal bagi keadaan orang yang menafkahkan harta dijalan Allah, dimana hal itu akan memberikan kepadanya kebaikan yang banyak.
  5. menjauhkan (tanfir, kebalikan no.4), jika isi masal berupa sesuatu yang dibenci jiwa.
  6. untuk memuji orang yang diberi masal.
  7. untuk menggambarkan (dengan masal itu) sesuatu yang mempunyai sifat yang dipandang buruk oleh orang banyak.
  8. amsal lebih berpengaruh pada jiwa, lebih efektif dalam memberikan nasihat, lebih kuat dalam memberikan peringatan, dan lebih dapat memuaskan hati.


       [1] ibid, h. 401
[2] wildaznov11.blogspot.com/2009/06/amstalul-quran.html
       [3] Hasby Ash-Shidieqy, Ilmu-ilmu Al-Qur’an (media pokokdalam menafsirkan al-Qur’an), Jakarta: Bulan Bintang,   1972. Cet.I h. 174
       [4] Manna Khalil al-Qattan, Studi…. h. 404 
       [5]    Nasrudin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Cet.I.  h. 259