Minggu, 29 Januari 2012

perintis tasawuf cinta

KONSEP MAHABBAH RABI’AH AL-ADAWIYAH[1]

A.        Biografi Rabi’ah al-Adawiyah: Perintis Tasawuf Cinta
Sosok sufi perempuan ini sangat dikenal dalam dunia tasawuf. Ia hidup di abad kedua Hijriah, nama lengkapnya adalah Ummu al-Khoir Rabiah binti al-Adawiyah. Di lahirkan di Bashrah tahun 95 H/741 M dan meninggal pada tahun 185 H/801 M, ada yang mengatakan bahwa ia dikuburkan di dekat kota Yerussalem.[2] Meski ia hidup di Bashrah sebagai seorang hamba sahaya dari keluarga Atiq, hal itu tidak menghalanginya tumbuh menjadi seorang sufi yang disegani di zamannya, bahkan hingga di zaman modern sekarang ini.[3]
Rabiah kecil telah ditinggalkan oleh kedua orang tuanya sejak kecil, begitu pula kakaknya juga meninggal ketika wabah penyakit melanda Bashrah. Ada yang mengatakan bahwa ia dijual untuk dijadikan budak, akan tetapi pada akhirnya ia memperoleh kemerdekaan kembali.[4] Setelah bebas Rabiah pergi ke tempat-tempat yang sunyi untuk menyendiri, kemudian ia hidup sebagai seorang zahid.[5]
Corak tasawuf Rabi’ah yang begitu menonjolkan cinta kepada Tuhan tanpa pamrih apapun merupakan suatu corak tasawuf yang baru di zamannya. Pada saat itu, tasawuf lebih didominasi corak kehidupan zuhud (asketisme) yang sebelumnya dikembangkan oleh Hasan al-Bashri yang mendasarkan ajarannya pada rasa khauf  dan roja’ kepada Allah. Corak tasawuf yang dikembangkan oleh Rabi’ah tersebut kelak membuatnya begitu dikenal dan menduduki posisi penting dalam dunia tasawuf.[6]

B.         KONSEP “MAHABBAH” RABIAH AL-ADAWIYAH
Mahabbah adalah cinta murni kepada tuhan yang menjadi puncak tasawuf Rabiah, menurutnya “al-Hubb” itu merupakan cetusan dari perasaan rindu, dan pasrah terhadap Allah SWT, dimana seluruh ingatan dan perasaan tertuju kepada-Nya. Perasaan cinta yang menyelinap dalam lubuk hati Rabiah, menyebabkan dia mengorbankan hidupnya untuk mencintai. Selama hidupnya hanya tenggelam dalam dzikir, thilawat dan wirid.
Sedemikian tulusnya cinta kepada Allah yang dikembangkan oleh Rabi’ah, bisa dilihat, misalnya, dalam sebuah munajat yang ia panjatkan:
"اِلَهِي لَوْكُنْتُ اَعْبُدُكَ خَوْفًا مِن نَارِكَ فَاَحْرِقْنِي بِنَاِر جَهَنَّمَ . واذا كُنْتُ اَعبُدُكَ طَمَعًا في جَنّتِكَ فاَحْرِمْنِيْهَا . وَاَمّا اِنْ كُنْتُ اَعْبُدُكَ مِنْ اَجْلِ مَحَبَّتِكَ فَلَا تَحْرِمْنِيْ مِن مُشَاهَدَةِ وَجْهِكَ"
 “Tuhanku, sekiranya aku beribadah kepada-Mu karena takut neraka-Mu, biarlah diriku terbakar api jahanam. Dan sekiranya aku beribadah kepada-Mu karena mengharap surga-Mu, jauhkan aku darinya. Tapi, sekiranya aku beribadah kepada-Mu hanya semata cinta kepada-Mu, Tuhanku, janganlah Kauhalangi aku melihat keindahan-Mu yang abadi.”[7]
Selain itu kecintaannya kepada Tuhan juga terlihat dalam syair:
يَا حَبِيْبَ اْلقَلْبِ مَالِى سِوَاكَا #  فَارْحَمِ اْليَوْمَ مُذْنِبًا قَدْ أَتَاكَا...
 يَا رَجَائِيْ وَرَاحَتِي وَسُرُوْرِي # قَدْ أَبَى الَقلْبُ أَنْ يُحِبَّ سِوَاكَا
Buah hatiku, hanya Engkau-lah yang kukasihi. Beri ampunlah pembuat dosa yang datang ke hadirat-Mu, Engkau-lah harapanku, kebahagiaan dan kesenanganku, hatiku telah enggan mencintai selain Engkau.
Saking besar dan tulusnya cinta Rabi’ah kepada Allah, maka seolah cintanya telah memenuhi seluruh kalbunya. Tak ada lagi tersisa ruang di hatinya untuk mencintai selain Allah, bahkan kepada Nabi Muhammad sekalipun. Pun, tak ada ruang lagi di kalbunya untuk membenci apapun, bahkan kepada setan sekalipun. Seluruh hatinya telah penuh dengan cinta kepada Tuhan semata. Hal ini juga Rabi’ah tunjukkan dengan memutuskan untuk tidak menikah sepanjang hidupnya, karena ia menganggap seluruh diri dan hidupnya hanya untuk Allah semata.[8]
Dalam Syairnya, ia mengatakan :
اُحِبُّكَ حُبَّيْنِ حُبَّ اْلهَوَى # وَحُبَّ لِأَنَّكَ اَهْلٌ لِذَاكَ # فَأَمَّا الَّذِيْ هُوَ حُبُّ اْلهَوَى # فَشُغْلِي بِذِكْرِكَ عَمَّن سِوَاكَ
وَاَمَّا الَّذِي اَنْتَ اَهْلٌ لَهُ # فَكَشْفُكَ لِيْ الحَجْبَ حَتَّى أَرَاكَ # فَلَا الْحَمْدُ فِي ذَا وَلَا ذَاكَ لِي # وَلَكِنْ لَكَ الْحَمْدُ فِي ذَا وَذَاكَ
“Aku mencintai Mu dengan dua dorongan cinta, kucintai Engkau lantaran aku cinta dan rindu serta aku cinta karena Engkau patut dicintai. Adapun cinta rindu, karena hanya Engkau kukenang selalu bukan selainMu. Adapun cinta karena Kau layak dicinta, karena Kau sibakkan tabir penutup tatapan sembahku sehingga Kau nyata bagiku. Bagiku tentang ini itu tidak ada puji, namun bagiMu sendiri segala puji”.
Menurut Rabiah al-Adawiyah tujuan satu-satunya yang wajar dan sewajarnya dicintai adalah agar dapat sampai kepada-Nya, seorang sufi harus lebih dahulu mendidik dirinya supaya mencintai segala keindahan alam ini, merenungkannya dan meresapkannya secara mendalam.
Keindahan dan kecantikan adalah ciri-ciri dari dzat yang dicintai. Cinta adalah anugrah dari rahmat Allah, cerita manusia kepada keindahan adalah disukai Allah, karena ia sendiri adalah sumber dari segala keindahan.

C.        DOKTRIN-DOKTRIN MAHABBAH
1.    Makna Cinta di Kalangan Sufi
Dalam tasawuf, konsep cinta (mahabbah) lebih dimaksudkan sebagai bentuk cinta kepada Tuhan.[9] Meski demikian, cinta kepada Tuhan juga akan melahirkan bentuk kasih sayang kepada sesama, bahkan kepada seluruh alam semesta. Hal ini bisa dilacak pada dalil-dalil syara’, baik dalam Alquran maupun hadis yang menunjukkan tentang persoalan cinta.
Secara terminologis, sebagaimana dikatakan al-Ghazali, cinta adalah suatu kecenderungan terhadap sesuatu yang memberikan manfaat. Apabila kecenderungan itu mendalam dan menguat, maka ia dinamakan rindu. Sedangkan sebaliknya, benci adalah kecenderungan untuk menghindari sesuatu yang menyakiti. Apabila kecenderungan untuk menghindari itu mendalam dan menguat, maka ia dinamakan dendam[10].
 Abu Yazid al-Busthami mengatakan bahwa cinta adalah menganggap sedikit milikmu yang sedikit dan menganggap banyak milik Dzat yang kau cintai. Sementara Sahl bin Abdullah al-Tustari menyatakan bahwa cinta adalah melakukan tindak-tanduk ketaatan dan menghindari tindak-tanduk kedurhakaan[11]. Bagi al-Junaid, cinta adalah kecenderungan hati. Artinya, kecenderungan hati seseorang kepada Allah dan segala milik-Nya tanpa rasa beban[12].
2.   Cinta sejati adalah cinta kepada Allah
Bagi al-Ghazali, orang yang mencintai selain Allah, tapi cintanya tidak disandarkan kepada Allah, maka hal itu karena kebodohan dan kepicikan orang tersebut dalam mengenal Allah. Cinta kepada Rasulullah SAW, misalnya, adalah sesuatu yang terpuji karena cinta tersebut merupakan manifestasi cinta kepada Allah. Hal itu karena Rasulullah adalah orang yang dicintai Allah. Dengan demikian, mencintai orang yang dicintai oleh Allah, berarti juga mencintai Allah itu sendiri. Begitu pula semua bentuk cinta yang ada. Semuanya berpulang kepada cinta terhadap Allah[13]. Hanya Allah Yang Maha Sempurna. Ia tidak bergantung kepada apapun dan siapa pun. Kesempurnaan itulah yang akan mengantarkan seseorang kepada cinta sejati, yaitu cinta terhadap Allah[14].
3.   Mahabbah: antara Maqam dan Hal
Sebagaimana diketahui, dalam terminologi tasawuf ada istilah maqam (tingkatan) dan hal (keadaan, kondisi kejiwaan). Menurut as-Sarraj ath-Thusi dalam kitabnya al-Luma’, maqam merujuk kepada tingkatan seorang hamba di depan Tuhan pada suatu tingkat yang ia ditempatkan di dalamnya, berupa ibadah, mujahadah, riyadhah, dan keterputusan (inqitha’) kepada Allah. Sedangkan hal adalah apa yang terdapat di dalam jiwa atau sesuatu keadaan yang ditempati oleh hati. Sementara menurut al-Junaid, hal adalah suatu “tempat” yang berada di dalam jiwa dan tidak statis[15].
Menurut al-Ghazali, cinta kepada Allah (mahabbah) merupakan tingkatan (maqam) puncak dari rangkaian tingkatan dalam tasawuf. Tak ada lagi tingkatan setelah mahabbah selain hanya sekedar efek sampingnya saja, seperti rindu (syauq), mesra (uns), rela (ridla), dan sifat-sifat lain yang serupa. Di samping itu, tidak ada satu tingkatan pun sebelum mahabbah selain hanya sekedar pendahuluan atau pengantar menuju ke arah mahabbah, seperti taubat, sabar, zuhud, dan lain-lain[16]. Cinta sebagai maqam ini juga diamini oleh Ibn Arabi. Menurutnya, cinta merupakan maqam ilah[17]i.
Berbeda dengan al-Ghazali, menurut al-Qusyairi, mahabbah merupakan termasuk hal. Bagi al-Qusyairi, cinta kepada Tuhan (mahabbah) merupakan suatu keadaan yang mulia saat Tuhan bersaksi untuk sang hamba atas keadaannya tersebut. Tuhan memberitahukan tentang cinta-Nya kepada sang hamba. Dengan demikian, Tuhan disifati sebagai yang mencintai sang hamba. Selanjutnya, sang hamba pun disifati sebagai yang mencintai Tuhan[18].
4.   Tingkatan Cinta
Dilihat dari segi orangnya, menurut Abu Nashr ath-Thusi, cinta kepada Tuhan terbagi menjadi tiga macam cinta. Pertama, cinta orang-orang awam. Cinta seperti ini muncul karena kebaikan dan kasih sayang Tuhan kepada mereka. Ciri-ciri cinta ini adalah ketulusan dan keteringatan (zikir) yang terus-menerus. Karena jika orang mencintai sesuatu, maka ia pun akan sering mengingat dan menyebutnya[19].
Kedua, cinta orang-orang yang shadiq dan mutahaqqiq. Cinta mereka ini timbul karena penglihatan mata hati mereka terhadap kekayaan, keagungan, kebesaran, pengetahuan dan kekuasaan Tuhan. Ciri-ciri cinta ini adalah “terkoyaknya tabir” dan “tersingkapnya rahasia” Tuhan. Selain itu, ciri lain adalah lenyapnya kehendak serta hilangnya semua sifat (kemanusiaan dan keinginan duniawi)[20].
Ketiga, cinta orang-orang shiddiq dan arif. Cinta macam ini timbul dari penglihatan dan pengenalan mereka terhadap ke-qadim-an Cinta Tuhan tanpa sebab (illat) apapun. Menurut Zunnun al-Mishri, sifat cinta ini adalah terputusnya cinta dari hati dan tubuh sehingga cinta tidak lagi bersemayam di dalamnya, namun yang bersemayam hanyalah segala sesuatu dengan dan untuk Allah. Sedangkan menurut Abu Ya’qub as-Susi, cirinya adalah berpaling dari cinta menuju kepada Yang Dicintai. Sementara al-Junaid menambahkan bahwa ciri cinta macam ini adalah meleburnya sifat-sifat Yang Dicintai kepada yang mencintai sebagai pengganti sifat-sifatnya[21].

D.       PENGARUH DOKTRIN MAHABBAH
Semenjak Rabi’ah al-Adawiyah mengungkapkan corak tasawuf melalui puisi, prosa, atau dialognya, ajaran cinta ilahi (mahabbah) pun mulai menjadi tema menarik di kalangan tasawuf. Gambaran tentang Tuhan pun tidak lagi begitu menakutkan seperti sebelumnya. Tuhan seolah menjadi lebih dekat dan lebih “manusiawi”.
Pada perkembangan tasawuf selanjutnya, mahabbah selalu menjadi tema yang mendapat pembahasan secara khusus. Para sufi pun banyak yang membahas lebih mendalam tentang tema ini dalam karya-karya mereka, seperti al-Hujwairi dengan Kasyf al-Mahjub, ath-Thusi dengan al-Luma’, al-Qusyairi dengan ar-Risalah al-Qusyairiyyah, al-Ghazali dengan Ihya Ulumiddin, Ibnu Arabi dalam al-Futuhat al-Makkiyah, dan lain-lain.
Pada bidang puisi, banyak para sufi yang juga sekaligus penyair yang kemudian menyenandung cinta ilahi, seperti Abu Sa’id bin Abi al-Khair, al-Jilli, Ibnu al-Faridh, Jalaluddin Rumi, dan lain-lain. Hingga sekarang, para penyair sufi kontemporer masih banyak yang menyenandungkan puisi-puisi cinta ilahi, seperti Syekh Fattah yang membentuk kelompok musik Debu yang kini ada di Indonesia.

PENUTUP
Ajaran cinta ilahi yang dikumandangkan oleh tasawuf sebenarnya bisa dijadikan sarana kita untuk lebih memperhalus jiwa. Kehalusan jiwa yang dihasilkan oleh tasawuf ini diperlukan agar agama tidak selalu dipahami secara legal-formalistik belaka yang biasanya ditampilkan oleh kalangan ahli fikih. Dengan demikian, agama pun diharapkan bisa menjadi berwajah toleran, humanis, dan menerima realitas pluralistik yang ada di tengah di masyarakat.
Meski demikian, ajaran cinta dalam Alquran sendiri, juga menghendaki keseimbangan antara sisi individual dan sosial; antara emosional dan rasional. Term-term cinta yang ditampilkan Alquran justru bersifat dinamis dan menghendaki aktualisasi riil dalam realitas sosial. Cinta dalam Alquran hampir selalu ditempatkan dalam konteks untuk mewujudkan kebaikan dan keadilan sosial.[28] Karena itu tidaklah mengherankan jika di akhir abad 19 hingga awal abad 20, beberapa kelompok sufi di Afrika Utara menjadi pendorong perlawanan terhadap penjajahan Barat. Wallahu a’lam.


  

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrasyid Ridha, Memasuki Makna Cinta, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003).
Abu al-Qasim al-Qusyari, ar-Risalah al-Qusyairiyyah, (format e-book dalam Program Syamilah).  
Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Suatu Pengantar tentang Tasawuf, terj. Ahmad Rofi’ Utsmani, (Bandung: Pustaka, 1985).
Abu Bakr Muhammad al-Kalabadzi, at-Ta’arruf li Mazhab Ahl at-Tashawwuf, (tk.: Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyyah, 1969).
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, (Beirut, Dar al-Ma’rifah, tt). 
Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusi, al-Luma’, (Mesir: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1960).
Al-Hujwairi, Kasyful Mahjub, terj. Suwardjo Muthary dan Abdul Hadi WM, (Bandung: Mizan, 1993).
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973).
Ibn al-Mulqin, Thabaqat al-Auliya, (format e-book Program al-Maktabah asy-Syamilah)
Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari al-Ja’fi, al-Jami’ as-Shahih al-Mukhtashar, ed. Mushtafa Dib al-Biqha, (Beirut: Dar Ibnu Katsir, 1987).
Muhyiddin Ibnu Arabi, al-Futuhat al-Makkiyah, (format e-book dalam Program Syamilah).
______, Dzakhair al-A’laq Syarh Tarjuman al-Asywaq, seperti dikutip oleh Syamsuddin Arif, “Ibnu Arabi dan Pluralisme” dalam www.hidayatullah.com
Muslim bin al-Hajjaj Abu al-Husain al-Qusyairi an-Naisaburi, Sahih Muslim, ed. Muhammad Fuad Abd al-Baqi, (Beirut: Dar Ihya at-Turats al-Arabi, tt).




[1]Bahan presentasi Mata Kuliah Akhlak Tasawuf II semester 6/B Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. 11 April 2011.
[2] Ibid
[3]Ibn al-Mulqin, Thabaqat al-Auliya, (format e-book Program al-Maktabah asy-Syamilah), juz 1, hal. 68.
[4] Ibid
[5] Ibid
[6]Ibid., hal. 85.
[7] Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Suatu Pengantar tentang Tasawuf, terj. Ahmad Rofi’ Utsmani, (Bandung: Pustaka, 1985). Hal 86

[8] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hal. 74.
[9] Ibid.,  hal. 70.
[10] al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, (Beirut, Dar al-Ma’rifah, tt). 
[11] Al-Hujwairi, Kasyful Mahjub, terj. Suwardjo Muthary dan Abdul Hadi WM, (Bandung:
Mizan, 1993), hal. 278-279.
[12] Abu Bakr Muhammad al-Kalabadzi, at-Ta’arruf li Mazhab Ahl at-Tashawwuf, (tk.: Maktabah
al-Kulliyat al-Azhariyyah, 1969), hal. 130.
[13] Al-Ghazali, Ihya., op. cit., juz 4, hal. 301.                     
[14] Ibid., juz 4, hal. 307.
[15] Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusi, al-Luma’, (Mesir: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1960), hal. 65-66.
[16] Al-Ghazali, Ihya., op. cit.., juz 4, hal. 294.
[17] Ibnu Arabi, al-Futuhat al-Makkiyah, (format e-book Program al-Maktabah asy-Syamilah), juz 3, hal. 465.
[18] Abu al-Qasim al-Qusyari, ar-Risalah al-Qusyairiyyah, (format e-book Program al-Maktabah asy-Syamilah), hal. 143.  
[19] Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusi, al-Luma’, (Mesir: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1960). Hal 86
[20] Ibid., hal. 87.    
[21] Ibid., hal. 88

LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia)

1. Sejarah Berdirinya LDII

            Organisasi LDII pertama kali berdiri pada tanggal 13 januari 1972 dengan nama Yayasan Lembaga Karyawan Islam (YAKARI). Pada Musyawarah Besar (MUBES) tahun 1981 namanya diganti menjadi Lembaga Karyawan Islam (LEMKARI), dan pada Mubes tahun 1990 sesuai arahan Jenderal Rudini sebagai Menteri Dalam Negeri (Mendagri) waktu itu, nama LEMKARI yang sama dengan akronim Lembaga Karate-Do Indonesia diubah menjadi Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII).[1]
            LDII merupakan organisasi kemasyarakatan yang resmi dan legal yang mengikuti ketentuan UU no.8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. LDII juga mempunyai AD/ART, program kerja dan pengurus mulai dari tingkat Pusat sampai dengan tingkat Desa (Kelurahan). Keberadaan LDII sudah tercatat di Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat (Bakesbang & Linmas), dan juga Departemen Dalam Negeri.
            Dalam perjalanannya, sekitar tahun 1940-an sepulang Al-Imam Nurhasan Ubaidah Lubis dari mukimnya selama 10 tahun di Makkah saat itulah masa awal dia menyampaikan ilmu hadits manqulnya juga mengajarkan ilmu bela diri pencak silat kanuragan serta qira’at. Selain itu, ia juga biasa melakukan kawin cerai terutama mengincar janda-janda kaya. Kebiasaan itu biasa ia tekuni hingga ia meninggal. Kebiasaan lainnya adalah mengkafir-kafirkan dan mencaci-maki para kiyai/ulama yang di luar aliran kelompoknya dengan cacian dan makian sumpah serapah yang keji dan kotor. Dia sering menyebut-nyebut ulama yang kita, kaum sunni muliakan yaitu, Prof. Dr. Buya Hamka dan Imam Ghozali dengan sebutan Prof. Dr. Buaya Hamqo dan Imam Gronzali. Dia juga sangat hobi membakar kitab-kitab kuning pegangan para kiyai/ulama NU kebanyakan dengan membakarnya di depan para murid-murid dan pengikutnya.3

2. Tokoh-Tokoh LDII

            Pendiri dan pemimpin pertama LDII adalah Madigol Nurhasan Ubaidah Lubis bin Abdul bin Thahir bin Irsyad. Beliau lahir di Desa Bangi, Kec. Purwoasri, Kediri, Jawa Timur Indonesia pada tahun 1915.4[2]
            Pada awalnya Lembaga ini bernama Darul Hadits, tetapi karena ajarannya meresahkan masyarakat Jawa Timur, maka Darul Hadits dilarang oleh PAKEM (Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat) Jawa Timur. Namun setelah dilarang, Darul Hadits malah mengganti namanya dengan Islam Jama’ah.
            Karena ajaran sesatnya meresahkan masyarakat, maka aliran sesat ini (Islam Jama’ah) secara resmi dilarang diseluruh Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Jaksa Agung RI. No. Kep-08/10.1971, tanggal 29 Oktober 1971.5
            Karena telah dilarang diseluruh Indonesia, maka Imam Islam Jama’ah Nurhasan Ubaidah pun mencari taktik baru, yaitu mendekati dan meminta perlindungan kepada Letjen Ali Murtopo (Wakil Kepala Bakin dan Staf OPSUS) pada waktu itu.
            Setelah mendapat perlindungan dari Letjen Ali Murtopo, Oslam Jama’ah menyatakan diri masuk dalam partai Golkar yaitu organisasi politik pemerintah yang sangat berkuasa sebelum tumbangnya Orde Baru.
            Seiring berjalannya waktu, Nurhasan pun meninggal pada tanggal 31 Maret 1982 dalam kecelakaan lalulintas di jalan raya Tegal-Cirebon dengan mobil Mercy Tiger yang berplat nomor B 8418EW setelah bertabrakan dengan Truk Fuso pada pukul 3 siang ketika menghadiri kampanye Golkar di Lapangan Benteng Jakarta tahun 1982. Mobil Mercy Tiger yang mewah pun terbang puluhan meter dan terjungkal masuk sawah.
            Setelah meninggalnya Nurhasan, maka digantikanlah dengan puteranya yaitu Abdu Dhohir dan dibai’at sebelum mayat bapaknya dikuburkan. Abdu Dhohir dibai’at dihadapan tokoh-tokoh LDII sebagai saksi bahwa puteranya itulah yang berhak untuk mewarisi seluruh tahta kerajaan Islam Jama’ah/LEMKARI/LDII yang didirikan oleh mendiang bapaknya.
LDII saat ini dipimpin oleh (Ketua Umum) Prof. Riset. Dr. Ir. KH. Abdullah Syam, MSc yang memiliki perwakilan disetiap provinsi dan 407 DPD Kota/Kabupaten, lalu 4.500 PC dan ribuan Masjid yang tersebar diseluruh Nusantara. MUI juga mengakui bahwa warga LDII memiliki budi luhur yang baik dan menghormati hukum.

3. Kontroversi Terhadap LDII
           
            Gerakan LDII merupakan lembaga yang berusaha membangun peradaban Islam berdasarkan tuntunan Al-Quran dan Al-Hadits tetapi menuai banyak kontroversi dan dianggap sesat oleh beberapa aliran Islam lainnya akibat kesalahpahaman yang sering terjadi akibat minimnya pengetahuan masyarakat tentang aktivitas pengajian LDII, terutama dengan tuduhan mereka terhadap adanya doktrin-doktrin LDII yang diduga tidak sesuai dengan ajaran Islam seperti, penghalalan harta kelompok lain di luar kelompok mereka untuk diambil (padahal tidak benar), konsep manqul pada pembelajarannya, pembayaran denda sebagian harta untuk menebus dosa, dan lain-lain. Pihak LDII sendiri membantah hal tersebut dan menuduhnya sebagai propaganda untuk menjatuhkan LDII.[3]6
                MUI mendesak Pemerintah untuk bertindak tegas terhadap munculnya berbagai ajaran sesat yang menyimpang dari ajaran Islam dan membubarkannya karena sangat meresahkan masyarakat, seperti pada LDII ini. MUI berupaya untuk melakukan kajian secara kritis terhadap faham Islam Liberal dan sejenisnya, yang berdampak terhadap pendangkalan akidah dan akan segera menetapkan fatwa tentang keberadaan faham tersebut.7


4. Ajaran-Ajaran Teologi LDII

            Ada beberapa doktrin teologis LDII yang dianggap oleh golongan mayoritas umat Islam, khususnya MUI, dianggap sesat. Adapun beberapa paham teologis LDII yang dianggap sesat itu sebagai berikut :
1. Manqul
            Menurut pengakuan Nur Hasan Ubaidah Lubis, bahwa ilmu itu tidak sah atau tidak bernilai sebagai ilmu agama, kecuali ilmu yang disahkan oleh Nur Hasan Ubaidah Lubis dengan cara manqul (mengkaji secara nukil), yang bersambung-sambung dari mulut ke mulut dari mulai Nur Hasan Ubaidah Lubis sampai ke nabi Muhammad SAW, lalu ke malaikat Jibril AS dan malaikat Jibril langsung dari Allah.

2. Takfir
            Takfir adalah mengkafirkan orang yang tidak berba’iat kepada imam suatu kelompok. Ciri takfir ini seringkali terdapat dan menjadi ciri khas kelompok yang menyimpang. Jadi, secara otomatis setiap anggotanya tidak dibenarkan kawin dengan non-anggota, karena menurut mereka orang yang bukan anggota itu bukan Muslim.
            Padahal syariat Islam jelas-jelas melarang kita mudah mengkafirkan orang lain, kecuali kalau memang secara tegas seseorang menyatakan dirinya murtad, atau melalui proses pengadilan dengan memanggil orang yang bersangkutan dan telah diputuskan oleh mahkamah syari’ah bahwa orang tersebut memang nyata telah keluar dari Islam.
            Jadi, apapun nama organisasinya, bila punya paham takfir seperti ini, jelas telah menyimpang dari akidah yang diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para ulama pewarisnya.

3. Berjama’ah
            Sebagai konsekuensi dari pengkafiran yang mereka lakukan, maka umumnya anggota jama’ah itu tidak mau shalat berjama’ah kalau imamnya bukan dari kalangan mereka, sebab dalam pandangan mereka imam shalat selain anggota mereka tidak sah karena statusnya bukan Muslim.
4. Menyembah Imam/Amir
            Dalam paham LDII mengatakan bahwa “kalau kita berada pada suatu wilayah (Negara) minimal 3 orang dan salah satunya tidak mengangkat imam, maka dikatakan bahwa hidupnya tidak halal. Maka dengan begitu statusnya sama saja dengan orang-orang kafir. Dalil yang digunakannya yaitu :
  1. Tidak halal bagi 3 orang yang berada disuatu daerah kecuali mereka mengangkat salah seorang dari mereka menjadi amir (pemimpin).
  2. Barang siapa yang mati sedang ia tidak memiliki imam maka matinya itu dalam keadaan jahiliyyah.
5. Bai’at pada Imam
            Bai’at adalah perjanjian untuk taat dimana orang yang berbai’at bersumpah setia kepada imam atau khalifahnya untuk mendengar dan taat kepadanya baik dalam hal yang menyenangkan maupun hal yang tidak disukai dalam keadaan mudah ataupun sulit.
            Ada hadits Nabi yang artinya “Barang siapa yang mati tanpa bai’at dilehernya, maka matinya itu seperti mati jahiliyyah.”. yang dimaksud bai’at disini yaitu bai’at kepada khalifah jika masih ada dimuka bumi.
Nur Hasan Ubaidah Lubis pemimpin kelompok jama’ah LDII menggunakan hadits ini untuk dijadikan dasar mengambil bai’at dari pengikutnya bagi dirinya. Ini adalah manipulasi pemahaman yang jauh menyimpang dan menyesatkan.

6. Infak Wajib
            Umumnya kelompok sesat berujung kepada pengumpulan dana. Namun karena dikemas dengan doktrin dan segala macam aksesorisnya, maka dengan setia dan taat mereka mengeluarkan uang buat sang pemimpin. Kalau perlu sampai jadi miskin sekalian. Tidak jarang tarif infaq wajib itu termasuk gila-gilaan, karena ada yang menetapkan 20% dari penghasilan, 30%, 50%, bahkan ada yang mencapai 100%. Belum lagi zakat, kafarat, denda, dan lain-lainnya.
            Maka wajarlah ketika salah seorang pimpinan ajaran sesat itu meninggal dunia karena kecelakaan lalu lintas pada tahun 1982, dia meninggalkan harta yang sangat banyak. Semua hartanya itu diwariskan kepada anaknya yang dibai’at sebelum mayat bapaknya dikuburkan. Hebatnya lagi, semua harta itu secara hokum resmi telah sah menjadi milik keluarga lengkap dengan sertifikat tanah dan lainnya.

7. Taqiyah
            Taqiyah yaitu menyembunyikan doktrin sesatnya kepada siapapun kecuali kepada mereka yang sudah resmi dibai’at hingga level tertentu, sehingga setiap ada orang yang ingin melakukan konfirmasi kepihak mereka atas berita kesesatan ajaran mereka, selalu akan dipungkiri dengan sekian banyak dalih. Karena itu, banyak calon anggota yang menafikan informasi kesesatan kelompok sempalan. Bahkan terkadang membela mati-matian kelompoknya.
            Tapi biasanya, pihak pimpinan akan memblack-list mereka dan mengatakan bahwa mereka adalah pengkhianat dan penyebar fitnah karena sakit hati dan seterusnya. Jadi keterangan dari orang yang sudah tobat itu terkadang tidak mempan, karena para anggota baru sudah diimunisasi atas info-info kesesatan kelompok mereka.



Kesimpulan

Organisasi LDII pertama kali berdiri pada tanggal 13 januari 1972 dengan nama Yayasan Lembaga Karyawan Islam (YAKARI). Pada Musyawarah Besar (MUBES) tahun 1981 namanya diganti menjadi Lembaga Karyawan Islam (LEMKARI), dan pada Mubes tahun 1990 sesuai arahan Jenderal Rudini sebagai Menteri Dalam Negeri (Mendagri) waktu itu, nama LEMKARI yang sama dengan akronim Lembaga Karate-Do Indonesia diubah menjadi Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII).
            Pendiri dan pemimpin pertama LDII adalah Madigol Nurhasan Ubaidah Lubis bin Abdul bin Thahir bin Irsyad. Beliau lahir di Desa Bangi, Kec. Purwoasri, Kediri, Jawa Timur Indonesia pada tahun 1915.
            Ajaran-ajaran teologi LDII yaitu:

1. Manqul                    4. Menyembah Imam/Amir                 7. Taqiyah
2. Takfir                      5. Bai’at pada Imam  
3. Berjama’ah              6. Infak Wajib


Daftar Pustaka

1.         Dr. Khalimi, MA. 2010. Ormas-Ormas Islam. Jakarta: Gaung Persada Press
2.         H. Hartono Ahmad Jaiz. 1999. Bahaya Islam Jama’ah-Lemkari-LDII. Jakarta:  Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPII)
3.         H. Hartono Ahmad Jaiz. 2002. Aliran Sesat dan Paham Sesat di Indonesia. Jakarta:    Pustaka Al-Kautsar
4.         http:/ainuamri.wordpress.com/2007/11/15/lembaga-dakwah-islam-indonesia-ldiiislam-jamaahlemkari/
5.         http://www.voa-islam.com/news/indonesiana/2011/03/08/13667/sesama-aliran-sesat-ketua-ldii-minta-ahmadiyah-meniru/


[1] Dr. Khalimi, MA. 2010. Ormas-Ormas Islam. Jakarta: Gaung Persada Press. h.230
3 Ahmad Jaiz, Hartono. Bahaya Islam Jama’ah-Lemkari-LDII. Jakarta: Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPII). h.6
4 Dr. Khalimi, MA. 2010. Ormas-Ormas Islam… h.233
5 Ahmad Jaiz, Hartono. 2002. Aliran Sesat dan Paham Sesat di Indonesia. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar h.73


6  Dr. Khalimi, MA. 2010. Ormas-Ormas Islam… h.237
7  http://www.voa-islam.com/news/indonesiana/2011/03/08/13667/sesama-aliran-sesat-ketua-ldii-minta-ahmadiyah-meniru/