Jumat, 08 Maret 2013

perkawinan beda agama


PEMBAHASAN
Pengertian
Yang dimaksud dengan “perkawinan antar orang yang berlainan agama” di sini ialah perkawinan orang Islam (pria/wanita) dengan orang  bukan Islam (pria/wanita).
Sedangkan perkawinan antar agama, dapat diartikan sebagai perkawinan dua insan yang berbeda agama, kepercayaan atau paham.
Hukumnya
Mengenai masalah ini Islam membedakan hukumnya sebagai berikut :
Perkawinan antara seorang pria Muslim dengan wanita musyrik
Islam melarang perkawinann antara seorang pria Muslim dengan wanita musyrik baik budak maupun merdeka, berdasarkan firman Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 221 :
(((( (((((((((( ((((((((((((((( (((((( (((((((( ( (((((((( (((((((((( (((((( (((( (((((((((( (((((( (((((((((((((( ( (((( (((((((((( ((((((((((((((( (((((( ((((((((((( ( (((((((((( (((((((( (((((( (((( (((((((( (((((( (((((((((((( ( (((((((((((( ((((((((( ((((( (((((((( ( (((((( (((((((((( ((((( (((((((((( (((((((((((((((( ((((((((((( …( (((((  
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.”

Dalam ayat ini terdapat keterangan agar orang Muslim selalu berhati-hati terhadap jebakan orang-orang musyrik untuk menggiring kita meninggalkan agama Islam dengan menawarkan yang cantik untuk dikawininya.
Sehingga setelah Allah swt menurunkan ayat ini Umar bin Khattab ra menceraikan dua istri beliau yang dinikahinya ketika masih musyrik.
Ibnu Qudamah ra. Menyatakan : tidak ada perselisihan di antara para ulama bahwa wanita dan sembelihan semua orang kafir selain ahli kitab seperti orang yang menyembah patung, batu, pohon dan hewan yang mereka anggap baik, haram (bagi kaum Muslimin).
Ketika Ibnu Umar ditanya mengenai pernikahan seorang laki-laki Muslim dengan perempuan Nasrani atau Yahudi, dia berkata, “Allah swt. telah mengharamkan perempuan-perempuan musyrik atas laki-laki Muslim. Dan aku tidak tahu adakah kemusyrikan yang lebih berbahaya dari pengakuan seorang perempuan bahwa tuhannya adalah Isa as. Sesungguhnya Isa as. Hanyalah seorang hamba Allah  swt”.
Perkawinan antara seorang pria Muslim dengan wanita Ahlul Kitab
Kebanyakan ulama berpendapat, bahwa seorang pria Muslim boleh kawin dengan wanita Ahlul Kitab (Yahudi atau Kristen), yang berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 5 :
(((((((((( (((((( (((((( ((((((((((((( ( ((((((((( ((((((((( (((((((( ((((((((((( (((( (((((( ((((((((((((( (((( (((((( ( ((((((((((((((((( (((( ((((((((((((((( ((((((((((((((((( (((( ((((((((( (((((((( ((((((((((( ((( (((((((((( (((((( (((((((((((((((( ((((((((((( ((((((((((( (((((( (((((((((((( (((( (((((((((( ((((((((( ( ((((( (((((((( (((((((((((( (((((( (((((( ((((((((( (((((( ((( (((((((((( (((( (((((((((((((( (((  
“Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi”.
Tidak ada pertentangan di antara ayat 221 surat Al-Baqarah dengan Al-Maidah ayat 5, karena kata asy-Syirik (kemusyrikan) tidak mencakup Ahlul Kitab sebagaimana firman Allah swt.
(((( (((((( ((((((((( ((((((((( (((( (((((( ((((((((((( ((((((((((((((((( ((((((((((( (((((( (((((((((((( ((((((((((((( (((  
“Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata” (QS.Al-Bayyinah: 1)
Dalam ayat ini, Allah swt. membedakan sebutan bagi keduanya (Ahlul Kitab dan Musyrik) dan kata penghubung di antara kedua kata tersebut berfungsi sebagai pemisah atau pembeda.
Imam Abu Ja’far ath-Thabari ra. Menyatakan : “Pendapat yang paling rajih tentang tafsir ayat 221 dari Al-Baqarah adalah pendapat Qatadah ra. yang menyatakan bahwa yang dimaksudkan oleh Allah swt. dalam firman-Nya :
(((( (((((((((( ((((((((((((((( (((((( (((((((( (
(Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman) adalah wanita musyrik selain ahli kitab. Secara dzahir ayat ini bersifat umum. Namun kandungannya bersifat khusus, tidak ada yang dimansukh (dihapus) sama sekali. Dan wanita ahli kitab tidak termasuk di dalam ayat di atas, karena Allah menghalalkan bagi kaum muslimin untuk menikahi wanita-wanita yang menjaga kehormatan dari ahli kitab dengan firman-Nya :
((((((((((((((((( (((( ((((((((( (((((((( ((((((((((( ((( ((((((((((
(dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu), sebagaimana Allah swt menghalalkan wanita-wanita mukminat yang menjaga kehormatan.
Selain berdasarkan Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 5, juga berdasarkan sunnah Nabi, di mana Nabi pernah kawin dengan wanita Ahlul Kitab yakni Mariah al-Qibtiyah (Kristen). Demikian pula seorang sahabat Nabi yang termasuk senior bernama Huzaifah bin Al-Yaman pernah kawin dengan seorang wanita Yahudi, sedang para sahabat tidak ada yang menentangnya.
Namun demikian, ada sebagian ulama yang melarang perkawinan antara seorang pria Muslim dengan wanita Kristen atau Yahudi, karena pada hakikatnya doktrin dan praktik ibadah Kristen dan Yahudi itu mengandung unsur syirik yang cukup jelas, misalnya ajaran trinitas dan mengkultuskan Nabi Isa dan ibunya Maryam (Maria) bagi umat Kristen, dan kepercayaan Uzair putra Allah dan mengkultuskan Haikal Nabi Sulaiman bagi umat Yahudi.
Perkawinan antara seorang wanita Muslimah dengan pria non-Muslim.
Ulama telah sepakat bahwa Islam melarang perkawinan antara seorang wanita Muslimah dengan pria non-Muslim, baik calon suaminya itu termasuk pemeluk agama yang mempunyai kitab suci, seperti Kristen dan Yahudi (revealed religion), ataupun pemeluk agama yang mempunyai kitab serupa kitab suci, seperti Budhaisme, Hinduisme, maupun pemeluk agama atau kepercayaan yang tidak punya kitab suci dan juga kitab yang serupa kitab suci. Termasuk pula di sini penganut Animisme, Ateisme, Politeisme dan sebagainya.
Adapula dalil yang menjadi dasar hukum untuk larangan kawin antara wanita Muslimah dengan pria non-Muslim,
firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 221 :
(((( (((((((((( ((((((((((((((( (((((( ((((((((((( ( (((((((((( (((((((( (((((( (((( (((((((( (((((( (((((((((((( ( (((((((((((( ((((((((( ((((( (((((((( ( (((((( (((((((((( ((((( (((((((((( (((((((((((((((( ((((((((((( ( ((((((((((( ((((((((((( (((((((( (((((((((( ((((((((((((( (((((  
“Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik dengan wanita-wanita yang mukmin sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang beriman lebih baik daripada orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surge dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayatNya (perintah-perintahnya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin ra. menyatakan : Maknanya adalah janganlah kalian menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min) hingga mereka beriman.
Hal ini juga dipertegas dengan firman Allah swt. QS. Al-Mumtahanah ayat 10 :
((((((((((( ((((((((( ((((((((((( ((((( (((((((((( ((((((((((((((( (((((((((((( ((((((((((((((((( ( (((( (((((((( (((((((((((((( ( (((((( ((((((((((((((( ((((((((((( (((( ((((((((((((( ((((( ((((((((((( ( (( (((( (((( (((((( (((( (((( ((((((((( (((((( …( ((((  
”Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.”
Dalam ayat yang mulia ini Allah swt. melarang untuk mempertahankan status pernikahan kaum mukminat dengan orang kafir. Bila status pernikahan yang sudah terjadi saja harus diputus, maka tentu lebih tidak boleh lagi bila memulai pernikahan baru.
Ijma’ para ulama tentang larangan perkawinan antara wanita Muslimah dengan pria non-Muslim.
Adapun hikmah dilarangnya perkawinan antara orang Islam (pria/wanita) dengan orang yang bukan Islam (pria/wanita selain Ahlul Kitab), ialah bahwa antara orang Islam dengan orang Kafir selain Kristen dan Yahudi itu terdapat way of life dan filsafat hidup yang sangat berbeda. Sebab orang Islam percaya sepenuhnya kepada Allah sebagai pencipta alam semesta, percaya kepada para nabi, kitab suci, malaikat, dan percaya pula pada hari kiamat; sedangkan orang musyrik/kafir pada umumnya tidak percaya pada semua itu. Kepercayaan mereka penuh dengan khurafat dan irasional. Bahkan mereka selalu mengajak orang-orang yang telah beragama/beriman untuk meninggalkan agamanya dan kemudian diajak mengikuti “kepercayaan/ideologi” mereka.
Mengenai hikmah diperbolehkannya perkawinan antara seorang pria Muslim dengan wanita Kristen/Yahudi ialah karena pada hakikatnya agama Kristendan Yahudi  itu satu rumpun dengan agama Islam, sebab sama-sama agama wahyu. Maka kalau seorang wanita Kristen/Yahudi nikah dengan pria Muslim yang baik, yang taat pada ajaran-ajaran agamanya, dapat diharapkan atas kesadaran dan kemauannya sendiri masuk Islam, karena ia dapat menyaksikan dan merasakan kebaikan dan kesempurnaan ajaran agama Islam, setelah ia hidup di tengah-tengah keluarga Islam.













PENUTUP
Kesimpulan
Pernikahan yang baik adalah pernikahan yang dilakukan laki-laki dan perempuan yang sama aqidahnya, akhlak dan tujuannya, disamping cinta dan ketulusan hati.
Perkawinan beda agama akan menimbulkan berbagai konflik dalam pelaksanaan ibadah, pendidikan anak, pengaturan makanan, pembinaan tradisi keagamaan, muamalah dengan keluarga kedua belah pihak, dsb
Islam melarang perkawinann antara seorang pria Muslim dengan wanita musyrik baik budak maupun merdeka.
Kebanyakan ulama berpendapat, bahwa seorang pria Muslim boleh kawin dengan wanita Ahlul Kitab.
Ulama telah sepakat bahwa Islam melarang perkawinan antara seorang wanita Muslimah dengan pria non-Muslim, baik calon suaminya itu termasuk pemeluk agama yang mempunyai kitab suci, ataupun pemeluk agama yang mempunyai kitab serupa kitab suci.







DAFTAR PUSTAKA

Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah berbagai Kasus yang dihadapi Hukum Islam Masa Kini. Jakarta: Kalam Mulia. 2003.
Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah Jilid 3 cet.2. Jakarta: Cakrawala Publishing. 2011.
Saleh, Marhamah. Masail Fiqhiyah: Membahas tentang Isu-isu Fiqih Kontemporer. Jakarta. 2011.
Syamhudi, Kholid. Majalah As-Sunnah edisi ke-11: Nikah dengan Orang Kafir.  Februari 2009.
Zuhdi, Masjfuk. Masail Fiqhiyah. Jakarta: Haji Masagung. 1993.

pandangan buya HAMKA tentang eksistensi keturunan rasulullah


PERSPEKTIF PROF.DR. BUYA HAMKA TENTANG EKSISTENSI KETURUNAN SAYYIDINA MUHAMMAD SAW

Panggilan Habib atau Sayyid, Syarif dan lain-lain merupakan panggilan yang sering kita dengar untuk sebutan keturunan Rasululalh saw. Sebagian masyarakat menggunakan panggilan ini dan sebagian lain tidak. Ada juga yang tidak mengakui keturunan Rasulullah saw namun ada yang tidak. Berikut adalah pendapat Prof. Dr. Hamka dalam menerangkan masalah Gelar Sayid atau Habib yang cukup bijaksana. 

H. Rifai, seorang Indonesia beragama Islam yang tinggal di Florijin 211 Amsterdam, Nederland, pada tanggal 30  1974 telah mengirim surat kepada Menteri Agama H.A. Mukti Ali dimana ia mengajukan pertanyaan dan mohon penjelasan secukupnya mengenai beberapa hal. 
Oleh Menteri Agama diserahkan kepada Prof. Dr.H. Abdul Malik Karim Amrullah (HAKMA) untuk menjawabnya melalui PANJI MASYARAKAT, dengan pertimbangan agar masalahnya dapat diketahui umum dan manfaatnya telah merata.
Penulis

Yang pertama sekali hendaklah kita ketahui bahwa Nabi s.a.w tidaklah meninggalkan anak laki-laki. Anaknya yang laki-laki yaitu Qasim, Thaher, Thaib, dan Ibrahim meninggal di waktu kecil belaka. Sebagai seorang manusia yang berperasaan halus, beliau ingin mendapat anak laki-laki yang akan menyambung keturunan (Nasab) beliau hanya mempunyai anak-anak perempuan, yaitu Zainab, Ruqayyah, Ummu Kaltsum dan Fathimah. Zainah memberinya seorang cucu perempuan. Itupun meninggal dalam sarat menyusu. Ruqayyah dan Ummu Kaitsurr mati muda. Keduanya isteri Usman bin Affan, meninggal Ruqayyah berganti Ummu Kaltsum (ganti tikar), ketiga anak perempuan inipun meninggal dahulu dari beliau.

Hanya Fathimah yang meninggal kemudian dari beliau dan hanya dia pula yang memberi beliau cucu laki-laki. Suami Fahimah adalah Ali Bin Abi Thalib. Abu Thalib adalah abang dari ayah Nabi dan yang mengasuh Nabi sejak usia 8 tahun. Cucu laki-laki itu ialah Hasan dan Husain. Maka dapatlah kita merasakan, Nabi seorang manusia mengharap anak-anak Fathimah inilah yang akan menyambung turunannya. Sebab itu sangatlah kasih sayang dan cinta beliau kepada cucu-cucunya ini. Pernah beliau sedang ruku si cucu masuk ke dalam kedua celah kakinya. Pernah sedang beliau Sujud si cucu berkuda ke atas punggungnya. Pernah sedang beliau khutbah, si cucu sedang ke tingkat pertama tangga mimbar.

Al-Tarmidzi merawjkan dari Usamah Bin Zaid bahwa dia (Usamah) pernah melihat Hasan dan Husain berpeluk di atas kedua belah paha beliau. Lalu beliau s.a.w. berkata: Kedua anak ini adalah anakku, anak dari anak perempuanku. Ya Tuhan Aku sayang kepada keduanya”.
Dan diriwayatkan oleh Bukhari dan Abi Bakrah bahwa Nabi pernah pula berkata tentang Hasan; ‘Anakku ini adalah SAYYID (Tuan), moga-moga Allah akan mendamaikan tersebab dia diantara dua golongan kaum Muslimin yang berselisih.
Nubuwat beliau itu tepat. Karena pada tahun 60 hijriah Hasan menyerahkan kekuasaan kepada Mu’awiyah, karena tidak suka melihat darah kaum Muslimin tertumpah. Sehingga tahun 60 itu dinamai “Tahun Persatuan”. Pernah pula beliau berkata: “kedua anakku ini adalah SAYYID (Tuan) dan pemuda-pemuda di surga kelak”.
Barangkali ada yang bertanya: “Kalau begitu jelas bahwa Hasan dan Husain itu cucunya, mengapa dikatakannya anaknya”.

Ini adalah pemakaian bahwa pada orang Arab, atau bangsa-bangsa Semit. Di dalam Al-Qur’an surat ke-12 (Yusuf) ayat 6 disebutkan bahwa Nabi Yakub mengharap moga-moga Allah menyempurnakan ru’matnya kepada puteranya Yusuf” sebagai mana telah disempurnakanNya ni’mat itu kepada kedua bapamu sebelumnya, yaitu Ibrahim dan Ishak. Pada hal yang bapa, atau ayah dari Yusuf adalah Ya’kub. Ishak adalah neneknya dan ibrahim adalah nenek ayahnya. Di ayat 28 Yusuf berkata:

Bapa-Bapaku Ibrahim dan Ishak dan Ya’kub. Artinya nenek-nenek moyang disebut bapa, dan cucu cicit disebut anak-anak. Menghormati keinginan Nabi yang demikian, maka seluruh umat Muhammad menghormati mereka. Tidakpun beliau anjurkan, namun kaum Quraisy umumnya dan Bani Hasyim dan keturunan hasan dan Husain mendapat kehormatan istimewanya di hati kaum Muslimin.

Bagi ahlis-sunnah hormat dan penghargaan itu biasa saja. Keturunan Hasan dan Husain di panggilkan orang SAYYID; kalau untuk banyak SADAT. Sebab Nabi mengatakan “Kedua anakku ini menjadi SAYYID (Tuan) dari pemuda-pemuda di syurga; Disetengah negeri di sebut SYARIF, yang berarti orang mulia atau orang berbangsa; kalau banyak ASYRAF. Yang hormat berlebih-lebihan, sampai mengatakan keturunan Hasan dan Husain berlebih-lebihan, sampai mengatakan keturunan Hasan dan Husain itu tidak pernah berdosa, dan kalau berbuat dosa segera diampuini. Allah adalah ajaran (dari suatu aliran – penulis) kaum Syi’ah yang berlebih-lebihan.

Apatah lagi di dalam Al-Qur’an, surat ke-33 “Al-Ahzab”, ayat 30, Tuhan memperingatkan kepada isteri-isteri Nabi bahwa kalau mereka berbuat jahat, dosanya lipat ganda dari dosa orang kebanyakan. Kalau begitu peringatan Tuhan kepada isteri-isteri Nabi, niscaya demikian pula kepada mereka yang dianggap keturunannya.
MENJAWAB pertanyaan tentang benarkah Habib Ali Kwitang dan Habib Tanggul keturunan Rasulullah s.a.w ? Sejak zaman kebesaran Aceh telah banyak keturunan-keturunan Hasan dan Husain itu datang ke tanah air kita ini. Sejak dari semenanjung Tanah Melayu, Kepulauan Indonesia dan Philipina. Harus diakui banyak jasa mereka dalam penyebaran Islam di seluruh Nusantara ini. Penyebar Islam dan Pembangunan Kerajaan Banten dan Cirebon adalah Syarif Hidayatullah yang dipernankan di Aceh. Syarif Kebungsuan tercatat sebagai penyebar Islam ke Mindanao dan Sulu. Sesudah pupus keturunan laki-laki dari Iskandar Muda Mahkota Alam pernah Bangsa Sayid dari keluarga Jamalullail jadi Raja di Aceh. Negeri Pontianak pernah diperintah bangsa Sayid Al-Qadri. Siak oleh keluarga bangsa Sayid bin Syahab.

Perlis (Malaysia) dirajai oleh bangsa Sayid Jamalullail. Yang dipertuan Agung III Malaysia Sayid Putera adalah Raja Perlis. Gubernur Serawak yang sekarang ketiga, Tun Tuanku Haji Bujang ialah dari keluarga Alaydrus. Kedudukan mereka di negeri ini yang turun-temurun menyebabkan mereka telah menjadi anak negeri dimana mereka berdiam. Kebanyakan mereka jadi Ulama. Mereka datang dari Hadramaut dari keturunan Isa Al-Muhajir dan Faqih Al-Muqaddam. Mereka datang kemari dari berbagai keluarga. Yang kita banyak kenal ialah keluarga Alatasa. Assagaf,Alkaf, Bafaqih, Balfaqih, Alaydrus, bin Syekh Abubakar, Assiry, Al-Aidid, Al Jufri, Albar, Almussawa, Ghatmir, bin Agil, Alhadi, Basyarban, Bazzar;ah. Bamakhramah. Ba;abud. Syaikhan, Azh-Zhahir, bin Yahya dan lain-lain. Yang menurut keterangan Almarhum Sayid Muhammad Bin Abdurrahman bin Syahab telah berkembang jadi 199 keluarga besar. Semuanya adalah dari “Ubaidillah Bin Ahmad Bin Isa Al-Muhajir. Ahmad Bin isa Al-Muhajir Ilallah inilah yang berpindah dari Basrah ke Hadhramaut. Lanjutan silsilahnya ialah Ahmad Bin Isa Al Muhajir Bin Muhammad Al-Naqib bin Ali Al-Aridh Bin Ja’far Ash-Shadiq bin Muhammad Al-Baqir Bin Ali Zainal Abidin Bin Husain As-Sibthi Bin Al Bin Abi Thalib. As-Sabthi artinya cucu, karena Husain adalah anak dari Fathurmah binti Rasulullah s.a.w

Sungguhpun yang terbanyak adalah keturunan Husain dari hadhramaut itu, ada juga yang keturunan Hasan yang datang dari Hejaz, keturunan Syarif-syarif Makkah Abi Numay, tetapi tidak sebanyak dari Hadramaut. Selain dipanggilkan Tuan Sayid, mereka dipanggil juga HABIB, di Jakarta dipanggilkan WAN. Di Sarawak dan Sabbah disebut Tuanku. Di Pariaman (Sumatera Barat) disebut SIDI. Mereka telah tersebar di seluruh dunia. Di negeri-negeri besar sebagai Mesir, Baghdad, Syam dan lain-lain mereka adalah NAQIB yaitu yang bertugas mencatat dan mendaftarkan keturunan-keturunan itu. Di saat sekarang umumnya telah mencapai 36.37.38 silsilah sampai kepada Sayidina Ali dan Fathimah.

Dalam pergolakan aliran lama dan aliran baru di Indonesia, pihak al-Irsyad yang menandatang dominasi kaum Baalwi menganjurkan agar yang menganjurkan agar yang bukan keturunan Hasan dan Husain memakai juga titel Sayid dimuka namanya. Gerakan ini sampai menjadi panas. Tetapi setelah keturunan Arab Indonesia bersatu, tidak pilih keturunan Alawy atau bukan, dengan pimpinan A.R Baswedan, mereka anjurkan menghilangkan perselisihan dan masing-masing memanggil temannya dengan “Al-Akh”, artinya Saudara.

Maka baik Habib Tanggul di Jawa Timur dan Almarhum Habib Ali di Kwitang Jakarta, memanglah mereka keturunan dari Ahmad Bin Isa Al-Muhajir yang berpindah dari Bashrah ko Hadramaut itu, dan Ahmad Bin Isa tersebut adalah cucu tingkat ke-6 dari cucu Rasulullah Husain Bin Ali Bin Abi Thalib itu. Kepada keturunan-keturunan itu semuanya kita berlaku hormat, dan cinta, yaitu hormat dan cinta orang Islam yang cerdas, yang tahu harga diri. Sehingga tidak diperbodoh oleh orang-orang yang menyalahgunakan keturunannya itu. Dan mengingat juga akan sabda Rasulullah s.a.w.: janganlah sampai orang lain datang kepadaku dengan amalnya, sedang kamu datang kepadaku dengan membawa nasab dan keturunan kamu, dan pesan beliau pula kepada puteri kesayangannya, Fathimah Al-Batul, ibu dari cucu-cucu itu: “Hai Fathimah binti Muhammad. Beramallah kesayanganku. Tidaklah dapat aku, ayahmu menolongmu dihadapan Allah sedikitpun”. Dan pernah beliau bersabda: “Walaupun anak kandungku sendiri, Fathimah, jika dia mencuri aku potong juga tangannya”.

Sabtu, 27 Oktober 2012

pemerintahan dinasti umayah


Pemerintahan Dinasti Umayyah (41-132 H)
Periode Negara Madinah berakhir dengan wafatnya Khalifah Ali bin Abi Thalib. Tokoh yang naik ke panggung politik dan pemerintahan adalah Muawiyyah bin Abu Sufyan, Gubernur wilayah Syam sejak zama Khalifah Umar. Ia adalah pendiri dan Khalifah pertama Dinasti ini. Terbentuknya dinasti Muawiyah memangku jabatan khalifah secara resmi,menurut ahli sejarah, terjadi pada tahun 661 M/ 41 H. Bukan pada pertengahan tahun 600 M/ 40 H pada saat Umayyah memproklamirkan diri menjadi khalifah di Iliya (Palestina), setelah pihaknya dinyatakan oleh Majelis Tahkim sebagai pemenang.
Peristiwa itu terjadi setelah Hasan bin Ali yang dibaiat oleh pengikut setia Ali menjadi Khalifah, sebagai pengganti Ali, mengundurkan diri dari gelanggang politik. Sebab ia tidak ingin lagi terjadi pertumpahan darah yang lebih besar, dan menyerahkan kekuasaan sepenuhnya kepada Muawiyah. Langkah penting Hasan bin Ali ini dapat dikatakan sebagai usaha rekonsiliasi umat Islam yang terpecah belah. Karenanya peristiwa itu dalam sejarah Islam dikenal dengan tahun persatuan (am al-jama’at). Yaitu episode sejarah yang mempersatukan umat kembali berada di bwah kekuasaan seorang khalifah.
Muawiyah dikenal sebagai seorang politikus dan administrator yang pandai. Umar bin Khattab sendiri pernah menilainya sebagai seorang yang cakap dalam urusan politik pemerintahan, cerdas dan jujur. Ia juga dikenal seorang negarawan yang ahli bersiasat, piawai dalam merancang taktik dan strategi, disamping kegigihan dan keuletan serta kesediaannya menempuh segala cara dalam berjuang. Untuk mencapai citi-citanya karena pertimbangan politik dan tuntutan situasi. Dengan kemampuan tersebut dan bakat kepemimpinan yang dimilikinya, Muawiyah dinilaiberhasil merekrut para pemuka masyarakat, politikus dan administrator ke dalam sistemnya pada zamannya, untuk memperkuat posisinya dipuncak pimpinan. Muawiyah juga dikenal berwatak keras dan tegas, tapi juga bisa bersifat toleran dan lapang dada. Hal ini dapat dilihat dalam ucapannya yang terkenal sebagai prinsip yang ia terapkan dalam memimpin: “Aku tidak mempergunakan pedangku kalau cambuk saja cukup, dan tidak pula kupergunakan cambukku kalau perkataan saja sudah memadai, andaikata aku dengan orang lain memperebutkan sehelai rambut, tiadalah akan putus rambut itu, karena bila mereka mengencangkannya aku kendorkan, dan bila mereka mengendorkannya akan kukencangkan.” [1]
Sejalan dengan watak dan prinsip Muawiyah tersebut serta pemikirannya yang perspektif dan inovatif, ia membuat berbagai kebijaksanaan dan keputusasaan politik dalam dan luar negeri. Dan jejak ini diteruskan oleh para penggantinya dengan menyempurnakannya.
Pertama, pemindahan pusat pemerintahan dari Madinah ke Damaskus. Keputusan ini didasarkan pada pertimbangan politis dan alasan keamanan. Karena letaknya jauh dari Kufah pusat kaum Syiah pendukung Ali, dan jauh dari Hijaz tempat tinggal mayoritas Bani Hasyim dan Bani Umayyah, sehingga bisa terhindar dari konflik yang lebih tajam antara dua Bani itu dalam memperebutkan kekuasaan.  Lebih dari itu, Damaskus yang terletak di wilayah Syam (Suria) adalah daerah yang berada di bawah genggaman pengaruh Muawiyah selama 20 tahun sejak ia diangkat menajdi Gubernur di distrik itu sejak zaman Khalifah Umar bin Khattab.
Kedua, Muawiyah memberi penghargaan kepada orang-orang yang berjasa dalam perjuangannya mencapai puncak kekuasaan. Seperti Amr bin Ash ia angkat kembali menjadi gubernur di Mesir, Al-Mughirah bin Syu’bah juga diangkat menjadi Gubernur di wilayah Persia.
Ketiga, menumpas orang-orang yang beroposisi yang dianggap berbahaya jika tidak bisa dibujuk dengan harta dan kedudukan, dan menumpas kaum pemberontak. Ia menupas kaum Khawarij yang merongrong  wibawa kekuasaannya dan mengkafirkannya. Golongan ini menuduhnya tidak mau berhukum kepada al-Qur’an dalam mewujudkan perdamaian dengan Ali di perang Shiffin melainkan ia mengikuti ambisi hawa nafsu politik.
Keempat, membangun kekuatan militer yang terdiri dari tigaangkatan, dart, laut dan kepolisian yang tangguh dan loyal. Mereka diberi gaji yang cukup, dua kali lebih besar daripada yang diberikan Umar kepada tentaranya. Ketiga angkatan ini bertugas menjamin stabilitas keamanan dalam negeri dan mendukung kebijaksanaan politik luar negeri yanitu memperluas kekuasaan.  
Kelima, meneruskan perluasan wilayah kekuasaan Islam baik  ke Timur maupun ke Barat. Peluasaan wilayah ini diteruskan oleh para penerus Muawiyah, seperti Khalifah Abd al-malik ke Timur, Khalifah al-walid ke barat, dan ke Prancis di zaman Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Keenam, baik Muawiyah maupun penggantinya membuat kebijaksanaan yang berbeda dari zaman Khulafa al-Rasyidin. Mereka merekrut orang-orang non-muslim sebgai pejabat-pejabat dalam pemerintahan, seperti penasehat, administrator, dokter dan di kesatuan-kesatuan tentara. Tepi di zaman Khalifah Umar bin Abd Aziz kebijaksanaan itu ia hapuskan. Karena orang-orang non muslim (Yahudi, Nasrani dan Majusi) yang memperoleh privilege di dalam pemerintahan banyak merugikan kepentingan umat Islam bahkan menganggap rendah mereka.
Ketujuh, Muawiyah mengadakan pembaharuan di bidang administrasi pemerintahan dan melengkapinya dengan jabatan-jabatan baru yang dipengarui oleh kebudayaan Byzantium.
Kedelapan, kebijaksanaan dan keputusan politik penting yang dibuat oleh Khalifah Muawiyah adalah mengubah sistwm pemerintahan dari bentuk khalifah yang bercorak demokratis menjadi sistem monarki dengan mengangkat putranya, Yazid, menjadi putra mahkota untuk menggantikannya sebagai khalifah sepeninggalannya nanti.
Muawiyah mengubah sistem pemerintahan menjadi monarki, namun Dinasti ini tetap memakai gelar Khalifah. Bahkan Muawiyah menyebut dirinya sebagai Amir al-Mu’minin. [2]
Setelah ‘Ali wafat, kursi jabatan kekhalifahan dialihkan kepada anaknya, Hasan ibn ‘Ali. Hasan diangkat oleh pengikutnya (Syi’ah) yang masih setia di Kuffah. Tetapi pengangkatan ini hanyalah suatu percobaan yang tidak mendapat dukungan yang kuat.[3] Hasan menjabat sebagai khalifah hanya dalam beberapa bulan saja.
 Peralihan Kekuasaan dari Hasan ke Mu’awiyah
Di tengah masa kepemimpinan Hasan yang makin lemah dan posisi Mu’awiyah lebih kuat, akhirnya Hasan mengadakan akomodasi atau membuat perjanjian damai. Syarat-syarat yang diajukan Hasan dalam perjanjian tersebut adalah:
  1. Agar Mu’awiyah tidak menaruh dendam terhadap seorangpun dari penduduk Irak.
  2. Menjamin keamanan dan memaafkan kesalahan-kesalahan mereka.
  3. Agar pajak tanah negeri Ahwaz diperuntukkan kepadanya dan diberikan tiap tahun.
  4. Agar Mu’awiyah membayar kepada saudaranya, yaitu Husain, dua juta dirham.
  5. Pemberian kepada Bani Hasyim haruslah lebih banyak dari pemberian kepada Bani Abdi Syams.
            Perjanjian itu berhasil mempersatukan umat Islam kembali dalam satu kepemimpinan politik, di bawah pimpinan Mu’awiyah ibn Abi Sufyan. Dengan kata lain, Hasan telah menjual haknya sebagai khalifah kepada Mu’awiyah.Akibat perjanjian itu menyebabkan Mu’awiyah menjadi penguasa absolut. Naiknya Mu’awiyah menjadi khalifah pada awalnya tidak melalui forum pembai’atan yang bebas dari semua umat. Mu’awiyah dibai’at pertama kali oleh penduduk Syam karena memang berada di bawah kekuasaannya, kemudian ia dibai’at oleh umat secara keseluruhan setelah tahun persatuan atau ‘am jama’ah (661). Pembai’atan tersebut tidak lain hanyalah sebuah pengakuan terpaksa terhadap realita dan dalam upaya menjaga kesatuan umat. Maka, di sini telah masuk unsur kekuatan dan keterpaksaan menggantikan musyawarah. Karenanya dapat dikatakan bahwa telah terjadi perceraian antara idealisme dan realita.[4]

C.    Sistem Pemerintahan dan Orientasi Kebijakan Politik Umayyah
Pemindahan kekuasaan kepada muawiyyah mengakhiri bentuk demokrasi kekholifahan menjadi monarki heridetis, yang diperoleh tidak dengan pemilihan atas suara terbanyak. Pergantian khalifah secara terumurun dimulai dari sikap muawiyyah mengangkat anaknya Yazid, sebagai putra mahkota. Sikap muawiyyah seperti ini dipengaruhi oleh keadaan syiria selama ia menjadi gubernur disana.
Pada masa muawiyyah mulai diadakan perubahan-perubahan administrasi pemerintahan, dibentuk pasukan tombak pengawal raja, dan dibangun bagian khusus di dalam masjid untuk pengamanan tatkala dia menjalankan sholat.

Kebijakan politik Umayyah, selain usaha-usaha pengamanan di dalam negeri yang sering dilakukan oleh saingan-saingan politiknya serta pertentangan-pertentangan suku-suku Arab, adalah upaya perluasan wilayah kekuasaan. Pada zaman Muawiyyah, Ukbah ibnu Nafi berhasil menguasai Tunis, dan kemudian didirikan kota Qairawan pada tahun 760 M yang kemudian menjadi salah satu pusat kebudayaan Islam. [5]

D.    Kehancuran Dinasti Bani Umayyah
Ada beberapa faktor yang menyebabkan Dinasti Bani Umayyah lemah dan membawanya kepada kehancuran. Faktor-faktor itu antara lain:
1.      Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatu yang baru bagi tradisi Arab yang lebih menekankan aspek senioritas.
2.      Latar belakang terbentuknya Dinasti Bani Umayyah tidak bisa dipisahkan dari konflik-konflik politik yang diterjadi di masa Ali.
3.      Penyebab langsung tergulingnya kekuasaan Dinasti Bani Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan Al-Abbas Ibnu Abdul Al-Mutholib. [6]
 Perkembangan pada masa Bani Umayyah
1.      Asritektur
Seni bangunan (arsitektur) pada zaman umayyah bertump pada bangunan sipil berupa kota-kota, dan bangunan agama berupa masjid-masjid. Beberapa kota baru atau perbaikan kota lama telah dibangun dalam zaman umayyah yang diiringi pembangunan berbagai gedung dengan gaya perpaduan Persia, Romawi, dan Arab dengan dijiwai semangat Islam.
Damaskus yang pada masa sebelum Islam merupakan ibukota Kerajaan Romawi Timur di Syam, adalah kota lama yang dibangun kembali pada masa umayyah dan dijadikan ibukota daulah ini. Di kota ini didirikan gedung-gedung indah yang bernilai seni, dilengkapi jalan-jalan dan taman-taman rekreasi yang menakjubkan. Muawiyah membangun “istana hijau” di Miyata dan pada tahun 704 M istana itu diperbarui oleh Walid ibn Abd al-Malik.
Pada masa Walid dibangun pula masjid agung yang terkenal dengan nama “Masjid Damaskus” atas kreasi arsitektur Abu Ubaidah ibn Jarrah Guna keperluan pembangunannya Khalifah Walid mendatangkan 12.000 orang tukang bangunan dari Romawi. Masjid ini dibangun berukuran 300x200 m dan memiliki 68 pilar dilengkapi dinding-dinding berukir yang cukup indah.
2.      Organisasi Militer
Pada masa umayyah organisasi militer terdiri dari Angkatan Darat (al-Jund), Angkatan Laut (al-Bahriyah) dan Angkatan Kepolisian (as-Syurtah). Berbeda dengan masa Usman, bala tentara pada masa ini bukan muncul atas kesadaran sendiri untuk melakukan perjuangan, tetapi semacam dipaksakan. Sesuai dengan politik Arabnya, angkatan bersenjata terdiri dari orang-orang Arab atau unsur Arab.
Angkatan Laut, yang sesungguhnya telah dirintis oleh Mu’awiyah sejak masa Umar tatkala ia akan melakukan penyerangan ke negeri Romawi melalui jalan laut, kemudian pada masa Usman usahanya itu dilanjutkan dengan resmi menjadi  Khalifah Umayyah mulai diusahakan pembuatan kapal-kapal perang guna menangkis serangan Armada Byzantium serta keperluan sarana transportasi dalam usaha perluasan kekuasaan Islam ke daerah-daerah lain.
3.      Perdagangan
Setelah daulah Umayyah berhasil menguasai wilayah yang cukup luas maka lalu lintas perdagangan mendapat jaminan yang layak. Lalu lintas darat melalui jalan Sutera ke Tiongkok guna memperlancar perdagangan sutera, keramik, obat-obatan dan wewangian. Adapun lalu lintas di lautan ke arah negeri-negeri belahan timur untuk mencari rempah-rempah, bumbu, kasturi, permata, logam mulia, gading, dan bulu-buluan.
4.      Kerajinan
Pada masa Khalifah Abd Malik mulai dirintis pembuatan tiraz (semacam bordiran), yakni cap resmi yang dicetak pada pakaian Khalifah dan para pembesar pemerintahan. Format tiraz  yang mula-mula merupakan terjemahan dari rumus Kristen, kemudian oleh Abdul Aziz (Gubernur Mesir) diganti dengan rumus Islam, lafaz “La Illaha Illa Allah”. Guna memperlancar produktifitas pakaian resmi kerajaan, maka Abdul Malik mendirikan pabrik-pabrik kain. Setiap pabrik diawasi oleh “Sahib at-Tiraz”, yang bertujuan mengawasi tukang emas dan penjahit, menyelidiki hasil karya dan membayar gaji mereka.
 Di bidang seni lukis, sejak Khalifah Mu’awiyah sudah mendapat perhatian masyarakat. Seni lukis tersebut selain terdapat di masjid-masjid, juga tumbuh di luar masjid.
5.      Reformasi Fisikal
Selama pemerintahan umayyah hampir semua pemilik tanah baik muslim maupun non muslim, diwajibkan membayar pajak tanah. Sementara itu pajak kepala tidak berlaku bagi penduduk muslim, sehingga banyaknya penduduk yang masuk Islam secara ekonomis merupakan latarbelakang berkurangnya penghasilan negara.
Di samping itu, memang masih ada pembedaaan beban pajak antara muslim Arab dan non-Arab maupun yang non-muslim[7].


       [1] Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, terjemahan Mukhtar Yahya dan Sanusi Latif, (Jakarta: Pustaka A-al-Husna, 1988), h. 41
       [2] Suyuthi Pulungan, Fiqh siyasah, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1999), Cet. 4, h. 167
       [3]  A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid 2, (Jakarta: Pustaka Alhusna,1982), hlm.33.
       [4] M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm.139-140.
       [5] Dudung Abdurrahman, Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik hingga Modern, (Yogyakarta: Lasfi Yogyakarta, 2002), h. 84
       [6] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2005), h. 48
[7] Dudung Abdurrahman dkk, Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik hingga Modern,… h. 89-93

pemerintahan dinasti umayah


Pemerintahan Dinasti Umayyah (41-132 H)
Periode Negara Madinah berakhir dengan wafatnya Khalifah Ali bin Abi Thalib. Tokoh yang naik ke panggung politik dan pemerintahan adalah Muawiyyah bin Abu Sufyan, Gubernur wilayah Syam sejak zama Khalifah Umar. Ia adalah pendiri dan Khalifah pertama Dinasti ini. Terbentuknya dinasti Muawiyah memangku jabatan khalifah secara resmi,menurut ahli sejarah, terjadi pada tahun 661 M/ 41 H. Bukan pada pertengahan tahun 600 M/ 40 H pada saat Umayyah memproklamirkan diri menjadi khalifah di Iliya (Palestina), setelah pihaknya dinyatakan oleh Majelis Tahkim sebagai pemenang.
Peristiwa itu terjadi setelah Hasan bin Ali yang dibaiat oleh pengikut setia Ali menjadi Khalifah, sebagai pengganti Ali, mengundurkan diri dari gelanggang politik. Sebab ia tidak ingin lagi terjadi pertumpahan darah yang lebih besar, dan menyerahkan kekuasaan sepenuhnya kepada Muawiyah. Langkah penting Hasan bin Ali ini dapat dikatakan sebagai usaha rekonsiliasi umat Islam yang terpecah belah. Karenanya peristiwa itu dalam sejarah Islam dikenal dengan tahun persatuan (am al-jama’at). Yaitu episode sejarah yang mempersatukan umat kembali berada di bwah kekuasaan seorang khalifah.
Muawiyah dikenal sebagai seorang politikus dan administrator yang pandai. Umar bin Khattab sendiri pernah menilainya sebagai seorang yang cakap dalam urusan politik pemerintahan, cerdas dan jujur. Ia juga dikenal seorang negarawan yang ahli bersiasat, piawai dalam merancang taktik dan strategi, disamping kegigihan dan keuletan serta kesediaannya menempuh segala cara dalam berjuang. Untuk mencapai citi-citanya karena pertimbangan politik dan tuntutan situasi. Dengan kemampuan tersebut dan bakat kepemimpinan yang dimilikinya, Muawiyah dinilaiberhasil merekrut para pemuka masyarakat, politikus dan administrator ke dalam sistemnya pada zamannya, untuk memperkuat posisinya dipuncak pimpinan. Muawiyah juga dikenal berwatak keras dan tegas, tapi juga bisa bersifat toleran dan lapang dada. Hal ini dapat dilihat dalam ucapannya yang terkenal sebagai prinsip yang ia terapkan dalam memimpin: “Aku tidak mempergunakan pedangku kalau cambuk saja cukup, dan tidak pula kupergunakan cambukku kalau perkataan saja sudah memadai, andaikata aku dengan orang lain memperebutkan sehelai rambut, tiadalah akan putus rambut itu, karena bila mereka mengencangkannya aku kendorkan, dan bila mereka mengendorkannya akan kukencangkan.” [1]
Sejalan dengan watak dan prinsip Muawiyah tersebut serta pemikirannya yang perspektif dan inovatif, ia membuat berbagai kebijaksanaan dan keputusasaan politik dalam dan luar negeri. Dan jejak ini diteruskan oleh para penggantinya dengan menyempurnakannya.
Pertama, pemindahan pusat pemerintahan dari Madinah ke Damaskus. Keputusan ini didasarkan pada pertimbangan politis dan alasan keamanan. Karena letaknya jauh dari Kufah pusat kaum Syiah pendukung Ali, dan jauh dari Hijaz tempat tinggal mayoritas Bani Hasyim dan Bani Umayyah, sehingga bisa terhindar dari konflik yang lebih tajam antara dua Bani itu dalam memperebutkan kekuasaan.  Lebih dari itu, Damaskus yang terletak di wilayah Syam (Suria) adalah daerah yang berada di bawah genggaman pengaruh Muawiyah selama 20 tahun sejak ia diangkat menajdi Gubernur di distrik itu sejak zaman Khalifah Umar bin Khattab.
Kedua, Muawiyah memberi penghargaan kepada orang-orang yang berjasa dalam perjuangannya mencapai puncak kekuasaan. Seperti Amr bin Ash ia angkat kembali menjadi gubernur di Mesir, Al-Mughirah bin Syu’bah juga diangkat menjadi Gubernur di wilayah Persia.
Ketiga, menumpas orang-orang yang beroposisi yang dianggap berbahaya jika tidak bisa dibujuk dengan harta dan kedudukan, dan menumpas kaum pemberontak. Ia menupas kaum Khawarij yang merongrong  wibawa kekuasaannya dan mengkafirkannya. Golongan ini menuduhnya tidak mau berhukum kepada al-Qur’an dalam mewujudkan perdamaian dengan Ali di perang Shiffin melainkan ia mengikuti ambisi hawa nafsu politik.
Keempat, membangun kekuatan militer yang terdiri dari tigaangkatan, dart, laut dan kepolisian yang tangguh dan loyal. Mereka diberi gaji yang cukup, dua kali lebih besar daripada yang diberikan Umar kepada tentaranya. Ketiga angkatan ini bertugas menjamin stabilitas keamanan dalam negeri dan mendukung kebijaksanaan politik luar negeri yanitu memperluas kekuasaan.  
Kelima, meneruskan perluasan wilayah kekuasaan Islam baik  ke Timur maupun ke Barat. Peluasaan wilayah ini diteruskan oleh para penerus Muawiyah, seperti Khalifah Abd al-malik ke Timur, Khalifah al-walid ke barat, dan ke Prancis di zaman Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Keenam, baik Muawiyah maupun penggantinya membuat kebijaksanaan yang berbeda dari zaman Khulafa al-Rasyidin. Mereka merekrut orang-orang non-muslim sebgai pejabat-pejabat dalam pemerintahan, seperti penasehat, administrator, dokter dan di kesatuan-kesatuan tentara. Tepi di zaman Khalifah Umar bin Abd Aziz kebijaksanaan itu ia hapuskan. Karena orang-orang non muslim (Yahudi, Nasrani dan Majusi) yang memperoleh privilege di dalam pemerintahan banyak merugikan kepentingan umat Islam bahkan menganggap rendah mereka.
Ketujuh, Muawiyah mengadakan pembaharuan di bidang administrasi pemerintahan dan melengkapinya dengan jabatan-jabatan baru yang dipengarui oleh kebudayaan Byzantium.
Kedelapan, kebijaksanaan dan keputusan politik penting yang dibuat oleh Khalifah Muawiyah adalah mengubah sistwm pemerintahan dari bentuk khalifah yang bercorak demokratis menjadi sistem monarki dengan mengangkat putranya, Yazid, menjadi putra mahkota untuk menggantikannya sebagai khalifah sepeninggalannya nanti.
Muawiyah mengubah sistem pemerintahan menjadi monarki, namun Dinasti ini tetap memakai gelar Khalifah. Bahkan Muawiyah menyebut dirinya sebagai Amir al-Mu’minin. [2]
Setelah ‘Ali wafat, kursi jabatan kekhalifahan dialihkan kepada anaknya, Hasan ibn ‘Ali. Hasan diangkat oleh pengikutnya (Syi’ah) yang masih setia di Kuffah. Tetapi pengangkatan ini hanyalah suatu percobaan yang tidak mendapat dukungan yang kuat.[3] Hasan menjabat sebagai khalifah hanya dalam beberapa bulan saja.
 Peralihan Kekuasaan dari Hasan ke Mu’awiyah
Di tengah masa kepemimpinan Hasan yang makin lemah dan posisi Mu’awiyah lebih kuat, akhirnya Hasan mengadakan akomodasi atau membuat perjanjian damai. Syarat-syarat yang diajukan Hasan dalam perjanjian tersebut adalah:
  1. Agar Mu’awiyah tidak menaruh dendam terhadap seorangpun dari penduduk Irak.
  2. Menjamin keamanan dan memaafkan kesalahan-kesalahan mereka.
  3. Agar pajak tanah negeri Ahwaz diperuntukkan kepadanya dan diberikan tiap tahun.
  4. Agar Mu’awiyah membayar kepada saudaranya, yaitu Husain, dua juta dirham.
  5. Pemberian kepada Bani Hasyim haruslah lebih banyak dari pemberian kepada Bani Abdi Syams.
            Perjanjian itu berhasil mempersatukan umat Islam kembali dalam satu kepemimpinan politik, di bawah pimpinan Mu’awiyah ibn Abi Sufyan. Dengan kata lain, Hasan telah menjual haknya sebagai khalifah kepada Mu’awiyah.Akibat perjanjian itu menyebabkan Mu’awiyah menjadi penguasa absolut. Naiknya Mu’awiyah menjadi khalifah pada awalnya tidak melalui forum pembai’atan yang bebas dari semua umat. Mu’awiyah dibai’at pertama kali oleh penduduk Syam karena memang berada di bawah kekuasaannya, kemudian ia dibai’at oleh umat secara keseluruhan setelah tahun persatuan atau ‘am jama’ah (661). Pembai’atan tersebut tidak lain hanyalah sebuah pengakuan terpaksa terhadap realita dan dalam upaya menjaga kesatuan umat. Maka, di sini telah masuk unsur kekuatan dan keterpaksaan menggantikan musyawarah. Karenanya dapat dikatakan bahwa telah terjadi perceraian antara idealisme dan realita.[4]

C.    Sistem Pemerintahan dan Orientasi Kebijakan Politik Umayyah
Pemindahan kekuasaan kepada muawiyyah mengakhiri bentuk demokrasi kekholifahan menjadi monarki heridetis, yang diperoleh tidak dengan pemilihan atas suara terbanyak. Pergantian khalifah secara terumurun dimulai dari sikap muawiyyah mengangkat anaknya Yazid, sebagai putra mahkota. Sikap muawiyyah seperti ini dipengaruhi oleh keadaan syiria selama ia menjadi gubernur disana.
Pada masa muawiyyah mulai diadakan perubahan-perubahan administrasi pemerintahan, dibentuk pasukan tombak pengawal raja, dan dibangun bagian khusus di dalam masjid untuk pengamanan tatkala dia menjalankan sholat.

Kebijakan politik Umayyah, selain usaha-usaha pengamanan di dalam negeri yang sering dilakukan oleh saingan-saingan politiknya serta pertentangan-pertentangan suku-suku Arab, adalah upaya perluasan wilayah kekuasaan. Pada zaman Muawiyyah, Ukbah ibnu Nafi berhasil menguasai Tunis, dan kemudian didirikan kota Qairawan pada tahun 760 M yang kemudian menjadi salah satu pusat kebudayaan Islam. [5]

D.    Kehancuran Dinasti Bani Umayyah
Ada beberapa faktor yang menyebabkan Dinasti Bani Umayyah lemah dan membawanya kepada kehancuran. Faktor-faktor itu antara lain:
1.      Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatu yang baru bagi tradisi Arab yang lebih menekankan aspek senioritas.
2.      Latar belakang terbentuknya Dinasti Bani Umayyah tidak bisa dipisahkan dari konflik-konflik politik yang diterjadi di masa Ali.
3.      Penyebab langsung tergulingnya kekuasaan Dinasti Bani Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan Al-Abbas Ibnu Abdul Al-Mutholib. [6]
 Perkembangan pada masa Bani Umayyah
1.      Asritektur
Seni bangunan (arsitektur) pada zaman umayyah bertump pada bangunan sipil berupa kota-kota, dan bangunan agama berupa masjid-masjid. Beberapa kota baru atau perbaikan kota lama telah dibangun dalam zaman umayyah yang diiringi pembangunan berbagai gedung dengan gaya perpaduan Persia, Romawi, dan Arab dengan dijiwai semangat Islam.
Damaskus yang pada masa sebelum Islam merupakan ibukota Kerajaan Romawi Timur di Syam, adalah kota lama yang dibangun kembali pada masa umayyah dan dijadikan ibukota daulah ini. Di kota ini didirikan gedung-gedung indah yang bernilai seni, dilengkapi jalan-jalan dan taman-taman rekreasi yang menakjubkan. Muawiyah membangun “istana hijau” di Miyata dan pada tahun 704 M istana itu diperbarui oleh Walid ibn Abd al-Malik.
Pada masa Walid dibangun pula masjid agung yang terkenal dengan nama “Masjid Damaskus” atas kreasi arsitektur Abu Ubaidah ibn Jarrah Guna keperluan pembangunannya Khalifah Walid mendatangkan 12.000 orang tukang bangunan dari Romawi. Masjid ini dibangun berukuran 300x200 m dan memiliki 68 pilar dilengkapi dinding-dinding berukir yang cukup indah.
2.      Organisasi Militer
Pada masa umayyah organisasi militer terdiri dari Angkatan Darat (al-Jund), Angkatan Laut (al-Bahriyah) dan Angkatan Kepolisian (as-Syurtah). Berbeda dengan masa Usman, bala tentara pada masa ini bukan muncul atas kesadaran sendiri untuk melakukan perjuangan, tetapi semacam dipaksakan. Sesuai dengan politik Arabnya, angkatan bersenjata terdiri dari orang-orang Arab atau unsur Arab.
Angkatan Laut, yang sesungguhnya telah dirintis oleh Mu’awiyah sejak masa Umar tatkala ia akan melakukan penyerangan ke negeri Romawi melalui jalan laut, kemudian pada masa Usman usahanya itu dilanjutkan dengan resmi menjadi  Khalifah Umayyah mulai diusahakan pembuatan kapal-kapal perang guna menangkis serangan Armada Byzantium serta keperluan sarana transportasi dalam usaha perluasan kekuasaan Islam ke daerah-daerah lain.
3.      Perdagangan
Setelah daulah Umayyah berhasil menguasai wilayah yang cukup luas maka lalu lintas perdagangan mendapat jaminan yang layak. Lalu lintas darat melalui jalan Sutera ke Tiongkok guna memperlancar perdagangan sutera, keramik, obat-obatan dan wewangian. Adapun lalu lintas di lautan ke arah negeri-negeri belahan timur untuk mencari rempah-rempah, bumbu, kasturi, permata, logam mulia, gading, dan bulu-buluan.
4.      Kerajinan
Pada masa Khalifah Abd Malik mulai dirintis pembuatan tiraz (semacam bordiran), yakni cap resmi yang dicetak pada pakaian Khalifah dan para pembesar pemerintahan. Format tiraz  yang mula-mula merupakan terjemahan dari rumus Kristen, kemudian oleh Abdul Aziz (Gubernur Mesir) diganti dengan rumus Islam, lafaz “La Illaha Illa Allah”. Guna memperlancar produktifitas pakaian resmi kerajaan, maka Abdul Malik mendirikan pabrik-pabrik kain. Setiap pabrik diawasi oleh “Sahib at-Tiraz”, yang bertujuan mengawasi tukang emas dan penjahit, menyelidiki hasil karya dan membayar gaji mereka.
 Di bidang seni lukis, sejak Khalifah Mu’awiyah sudah mendapat perhatian masyarakat. Seni lukis tersebut selain terdapat di masjid-masjid, juga tumbuh di luar masjid.
5.      Reformasi Fisikal
Selama pemerintahan umayyah hampir semua pemilik tanah baik muslim maupun non muslim, diwajibkan membayar pajak tanah. Sementara itu pajak kepala tidak berlaku bagi penduduk muslim, sehingga banyaknya penduduk yang masuk Islam secara ekonomis merupakan latarbelakang berkurangnya penghasilan negara.
Di samping itu, memang masih ada pembedaaan beban pajak antara muslim Arab dan non-Arab maupun yang non-muslim[7].


       [1] Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, terjemahan Mukhtar Yahya dan Sanusi Latif, (Jakarta: Pustaka A-al-Husna, 1988), h. 41
       [2] Suyuthi Pulungan, Fiqh siyasah, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1999), Cet. 4, h. 167
       [3]  A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid 2, (Jakarta: Pustaka Alhusna,1982), hlm.33.
       [4] M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm.139-140.
       [5] Dudung Abdurrahman, Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik hingga Modern, (Yogyakarta: Lasfi Yogyakarta, 2002), h. 84
       [6] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2005), h. 48
[7] Dudung Abdurrahman dkk, Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik hingga Modern,… h. 89-93