Jumat, 08 Maret 2013

perkawinan beda agama


PEMBAHASAN
Pengertian
Yang dimaksud dengan “perkawinan antar orang yang berlainan agama” di sini ialah perkawinan orang Islam (pria/wanita) dengan orang  bukan Islam (pria/wanita).
Sedangkan perkawinan antar agama, dapat diartikan sebagai perkawinan dua insan yang berbeda agama, kepercayaan atau paham.
Hukumnya
Mengenai masalah ini Islam membedakan hukumnya sebagai berikut :
Perkawinan antara seorang pria Muslim dengan wanita musyrik
Islam melarang perkawinann antara seorang pria Muslim dengan wanita musyrik baik budak maupun merdeka, berdasarkan firman Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 221 :
(((( (((((((((( ((((((((((((((( (((((( (((((((( ( (((((((( (((((((((( (((((( (((( (((((((((( (((((( (((((((((((((( ( (((( (((((((((( ((((((((((((((( (((((( ((((((((((( ( (((((((((( (((((((( (((((( (((( (((((((( (((((( (((((((((((( ( (((((((((((( ((((((((( ((((( (((((((( ( (((((( (((((((((( ((((( (((((((((( (((((((((((((((( ((((((((((( …( (((((  
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.”

Dalam ayat ini terdapat keterangan agar orang Muslim selalu berhati-hati terhadap jebakan orang-orang musyrik untuk menggiring kita meninggalkan agama Islam dengan menawarkan yang cantik untuk dikawininya.
Sehingga setelah Allah swt menurunkan ayat ini Umar bin Khattab ra menceraikan dua istri beliau yang dinikahinya ketika masih musyrik.
Ibnu Qudamah ra. Menyatakan : tidak ada perselisihan di antara para ulama bahwa wanita dan sembelihan semua orang kafir selain ahli kitab seperti orang yang menyembah patung, batu, pohon dan hewan yang mereka anggap baik, haram (bagi kaum Muslimin).
Ketika Ibnu Umar ditanya mengenai pernikahan seorang laki-laki Muslim dengan perempuan Nasrani atau Yahudi, dia berkata, “Allah swt. telah mengharamkan perempuan-perempuan musyrik atas laki-laki Muslim. Dan aku tidak tahu adakah kemusyrikan yang lebih berbahaya dari pengakuan seorang perempuan bahwa tuhannya adalah Isa as. Sesungguhnya Isa as. Hanyalah seorang hamba Allah  swt”.
Perkawinan antara seorang pria Muslim dengan wanita Ahlul Kitab
Kebanyakan ulama berpendapat, bahwa seorang pria Muslim boleh kawin dengan wanita Ahlul Kitab (Yahudi atau Kristen), yang berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 5 :
(((((((((( (((((( (((((( ((((((((((((( ( ((((((((( ((((((((( (((((((( ((((((((((( (((( (((((( ((((((((((((( (((( (((((( ( ((((((((((((((((( (((( ((((((((((((((( ((((((((((((((((( (((( ((((((((( (((((((( ((((((((((( ((( (((((((((( (((((( (((((((((((((((( ((((((((((( ((((((((((( (((((( (((((((((((( (((( (((((((((( ((((((((( ( ((((( (((((((( (((((((((((( (((((( (((((( ((((((((( (((((( ((( (((((((((( (((( (((((((((((((( (((  
“Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi”.
Tidak ada pertentangan di antara ayat 221 surat Al-Baqarah dengan Al-Maidah ayat 5, karena kata asy-Syirik (kemusyrikan) tidak mencakup Ahlul Kitab sebagaimana firman Allah swt.
(((( (((((( ((((((((( ((((((((( (((( (((((( ((((((((((( ((((((((((((((((( ((((((((((( (((((( (((((((((((( ((((((((((((( (((  
“Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata” (QS.Al-Bayyinah: 1)
Dalam ayat ini, Allah swt. membedakan sebutan bagi keduanya (Ahlul Kitab dan Musyrik) dan kata penghubung di antara kedua kata tersebut berfungsi sebagai pemisah atau pembeda.
Imam Abu Ja’far ath-Thabari ra. Menyatakan : “Pendapat yang paling rajih tentang tafsir ayat 221 dari Al-Baqarah adalah pendapat Qatadah ra. yang menyatakan bahwa yang dimaksudkan oleh Allah swt. dalam firman-Nya :
(((( (((((((((( ((((((((((((((( (((((( (((((((( (
(Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman) adalah wanita musyrik selain ahli kitab. Secara dzahir ayat ini bersifat umum. Namun kandungannya bersifat khusus, tidak ada yang dimansukh (dihapus) sama sekali. Dan wanita ahli kitab tidak termasuk di dalam ayat di atas, karena Allah menghalalkan bagi kaum muslimin untuk menikahi wanita-wanita yang menjaga kehormatan dari ahli kitab dengan firman-Nya :
((((((((((((((((( (((( ((((((((( (((((((( ((((((((((( ((( ((((((((((
(dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu), sebagaimana Allah swt menghalalkan wanita-wanita mukminat yang menjaga kehormatan.
Selain berdasarkan Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 5, juga berdasarkan sunnah Nabi, di mana Nabi pernah kawin dengan wanita Ahlul Kitab yakni Mariah al-Qibtiyah (Kristen). Demikian pula seorang sahabat Nabi yang termasuk senior bernama Huzaifah bin Al-Yaman pernah kawin dengan seorang wanita Yahudi, sedang para sahabat tidak ada yang menentangnya.
Namun demikian, ada sebagian ulama yang melarang perkawinan antara seorang pria Muslim dengan wanita Kristen atau Yahudi, karena pada hakikatnya doktrin dan praktik ibadah Kristen dan Yahudi itu mengandung unsur syirik yang cukup jelas, misalnya ajaran trinitas dan mengkultuskan Nabi Isa dan ibunya Maryam (Maria) bagi umat Kristen, dan kepercayaan Uzair putra Allah dan mengkultuskan Haikal Nabi Sulaiman bagi umat Yahudi.
Perkawinan antara seorang wanita Muslimah dengan pria non-Muslim.
Ulama telah sepakat bahwa Islam melarang perkawinan antara seorang wanita Muslimah dengan pria non-Muslim, baik calon suaminya itu termasuk pemeluk agama yang mempunyai kitab suci, seperti Kristen dan Yahudi (revealed religion), ataupun pemeluk agama yang mempunyai kitab serupa kitab suci, seperti Budhaisme, Hinduisme, maupun pemeluk agama atau kepercayaan yang tidak punya kitab suci dan juga kitab yang serupa kitab suci. Termasuk pula di sini penganut Animisme, Ateisme, Politeisme dan sebagainya.
Adapula dalil yang menjadi dasar hukum untuk larangan kawin antara wanita Muslimah dengan pria non-Muslim,
firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 221 :
(((( (((((((((( ((((((((((((((( (((((( ((((((((((( ( (((((((((( (((((((( (((((( (((( (((((((( (((((( (((((((((((( ( (((((((((((( ((((((((( ((((( (((((((( ( (((((( (((((((((( ((((( (((((((((( (((((((((((((((( ((((((((((( ( ((((((((((( ((((((((((( (((((((( (((((((((( ((((((((((((( (((((  
“Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik dengan wanita-wanita yang mukmin sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang beriman lebih baik daripada orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surge dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayatNya (perintah-perintahnya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin ra. menyatakan : Maknanya adalah janganlah kalian menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min) hingga mereka beriman.
Hal ini juga dipertegas dengan firman Allah swt. QS. Al-Mumtahanah ayat 10 :
((((((((((( ((((((((( ((((((((((( ((((( (((((((((( ((((((((((((((( (((((((((((( ((((((((((((((((( ( (((( (((((((( (((((((((((((( ( (((((( ((((((((((((((( ((((((((((( (((( ((((((((((((( ((((( ((((((((((( ( (( (((( (((( (((((( (((( (((( ((((((((( (((((( …( ((((  
”Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.”
Dalam ayat yang mulia ini Allah swt. melarang untuk mempertahankan status pernikahan kaum mukminat dengan orang kafir. Bila status pernikahan yang sudah terjadi saja harus diputus, maka tentu lebih tidak boleh lagi bila memulai pernikahan baru.
Ijma’ para ulama tentang larangan perkawinan antara wanita Muslimah dengan pria non-Muslim.
Adapun hikmah dilarangnya perkawinan antara orang Islam (pria/wanita) dengan orang yang bukan Islam (pria/wanita selain Ahlul Kitab), ialah bahwa antara orang Islam dengan orang Kafir selain Kristen dan Yahudi itu terdapat way of life dan filsafat hidup yang sangat berbeda. Sebab orang Islam percaya sepenuhnya kepada Allah sebagai pencipta alam semesta, percaya kepada para nabi, kitab suci, malaikat, dan percaya pula pada hari kiamat; sedangkan orang musyrik/kafir pada umumnya tidak percaya pada semua itu. Kepercayaan mereka penuh dengan khurafat dan irasional. Bahkan mereka selalu mengajak orang-orang yang telah beragama/beriman untuk meninggalkan agamanya dan kemudian diajak mengikuti “kepercayaan/ideologi” mereka.
Mengenai hikmah diperbolehkannya perkawinan antara seorang pria Muslim dengan wanita Kristen/Yahudi ialah karena pada hakikatnya agama Kristendan Yahudi  itu satu rumpun dengan agama Islam, sebab sama-sama agama wahyu. Maka kalau seorang wanita Kristen/Yahudi nikah dengan pria Muslim yang baik, yang taat pada ajaran-ajaran agamanya, dapat diharapkan atas kesadaran dan kemauannya sendiri masuk Islam, karena ia dapat menyaksikan dan merasakan kebaikan dan kesempurnaan ajaran agama Islam, setelah ia hidup di tengah-tengah keluarga Islam.













PENUTUP
Kesimpulan
Pernikahan yang baik adalah pernikahan yang dilakukan laki-laki dan perempuan yang sama aqidahnya, akhlak dan tujuannya, disamping cinta dan ketulusan hati.
Perkawinan beda agama akan menimbulkan berbagai konflik dalam pelaksanaan ibadah, pendidikan anak, pengaturan makanan, pembinaan tradisi keagamaan, muamalah dengan keluarga kedua belah pihak, dsb
Islam melarang perkawinann antara seorang pria Muslim dengan wanita musyrik baik budak maupun merdeka.
Kebanyakan ulama berpendapat, bahwa seorang pria Muslim boleh kawin dengan wanita Ahlul Kitab.
Ulama telah sepakat bahwa Islam melarang perkawinan antara seorang wanita Muslimah dengan pria non-Muslim, baik calon suaminya itu termasuk pemeluk agama yang mempunyai kitab suci, ataupun pemeluk agama yang mempunyai kitab serupa kitab suci.







DAFTAR PUSTAKA

Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah berbagai Kasus yang dihadapi Hukum Islam Masa Kini. Jakarta: Kalam Mulia. 2003.
Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah Jilid 3 cet.2. Jakarta: Cakrawala Publishing. 2011.
Saleh, Marhamah. Masail Fiqhiyah: Membahas tentang Isu-isu Fiqih Kontemporer. Jakarta. 2011.
Syamhudi, Kholid. Majalah As-Sunnah edisi ke-11: Nikah dengan Orang Kafir.  Februari 2009.
Zuhdi, Masjfuk. Masail Fiqhiyah. Jakarta: Haji Masagung. 1993.

pandangan buya HAMKA tentang eksistensi keturunan rasulullah


PERSPEKTIF PROF.DR. BUYA HAMKA TENTANG EKSISTENSI KETURUNAN SAYYIDINA MUHAMMAD SAW

Panggilan Habib atau Sayyid, Syarif dan lain-lain merupakan panggilan yang sering kita dengar untuk sebutan keturunan Rasululalh saw. Sebagian masyarakat menggunakan panggilan ini dan sebagian lain tidak. Ada juga yang tidak mengakui keturunan Rasulullah saw namun ada yang tidak. Berikut adalah pendapat Prof. Dr. Hamka dalam menerangkan masalah Gelar Sayid atau Habib yang cukup bijaksana. 

H. Rifai, seorang Indonesia beragama Islam yang tinggal di Florijin 211 Amsterdam, Nederland, pada tanggal 30  1974 telah mengirim surat kepada Menteri Agama H.A. Mukti Ali dimana ia mengajukan pertanyaan dan mohon penjelasan secukupnya mengenai beberapa hal. 
Oleh Menteri Agama diserahkan kepada Prof. Dr.H. Abdul Malik Karim Amrullah (HAKMA) untuk menjawabnya melalui PANJI MASYARAKAT, dengan pertimbangan agar masalahnya dapat diketahui umum dan manfaatnya telah merata.
Penulis

Yang pertama sekali hendaklah kita ketahui bahwa Nabi s.a.w tidaklah meninggalkan anak laki-laki. Anaknya yang laki-laki yaitu Qasim, Thaher, Thaib, dan Ibrahim meninggal di waktu kecil belaka. Sebagai seorang manusia yang berperasaan halus, beliau ingin mendapat anak laki-laki yang akan menyambung keturunan (Nasab) beliau hanya mempunyai anak-anak perempuan, yaitu Zainab, Ruqayyah, Ummu Kaltsum dan Fathimah. Zainah memberinya seorang cucu perempuan. Itupun meninggal dalam sarat menyusu. Ruqayyah dan Ummu Kaitsurr mati muda. Keduanya isteri Usman bin Affan, meninggal Ruqayyah berganti Ummu Kaltsum (ganti tikar), ketiga anak perempuan inipun meninggal dahulu dari beliau.

Hanya Fathimah yang meninggal kemudian dari beliau dan hanya dia pula yang memberi beliau cucu laki-laki. Suami Fahimah adalah Ali Bin Abi Thalib. Abu Thalib adalah abang dari ayah Nabi dan yang mengasuh Nabi sejak usia 8 tahun. Cucu laki-laki itu ialah Hasan dan Husain. Maka dapatlah kita merasakan, Nabi seorang manusia mengharap anak-anak Fathimah inilah yang akan menyambung turunannya. Sebab itu sangatlah kasih sayang dan cinta beliau kepada cucu-cucunya ini. Pernah beliau sedang ruku si cucu masuk ke dalam kedua celah kakinya. Pernah sedang beliau Sujud si cucu berkuda ke atas punggungnya. Pernah sedang beliau khutbah, si cucu sedang ke tingkat pertama tangga mimbar.

Al-Tarmidzi merawjkan dari Usamah Bin Zaid bahwa dia (Usamah) pernah melihat Hasan dan Husain berpeluk di atas kedua belah paha beliau. Lalu beliau s.a.w. berkata: Kedua anak ini adalah anakku, anak dari anak perempuanku. Ya Tuhan Aku sayang kepada keduanya”.
Dan diriwayatkan oleh Bukhari dan Abi Bakrah bahwa Nabi pernah pula berkata tentang Hasan; ‘Anakku ini adalah SAYYID (Tuan), moga-moga Allah akan mendamaikan tersebab dia diantara dua golongan kaum Muslimin yang berselisih.
Nubuwat beliau itu tepat. Karena pada tahun 60 hijriah Hasan menyerahkan kekuasaan kepada Mu’awiyah, karena tidak suka melihat darah kaum Muslimin tertumpah. Sehingga tahun 60 itu dinamai “Tahun Persatuan”. Pernah pula beliau berkata: “kedua anakku ini adalah SAYYID (Tuan) dan pemuda-pemuda di surga kelak”.
Barangkali ada yang bertanya: “Kalau begitu jelas bahwa Hasan dan Husain itu cucunya, mengapa dikatakannya anaknya”.

Ini adalah pemakaian bahwa pada orang Arab, atau bangsa-bangsa Semit. Di dalam Al-Qur’an surat ke-12 (Yusuf) ayat 6 disebutkan bahwa Nabi Yakub mengharap moga-moga Allah menyempurnakan ru’matnya kepada puteranya Yusuf” sebagai mana telah disempurnakanNya ni’mat itu kepada kedua bapamu sebelumnya, yaitu Ibrahim dan Ishak. Pada hal yang bapa, atau ayah dari Yusuf adalah Ya’kub. Ishak adalah neneknya dan ibrahim adalah nenek ayahnya. Di ayat 28 Yusuf berkata:

Bapa-Bapaku Ibrahim dan Ishak dan Ya’kub. Artinya nenek-nenek moyang disebut bapa, dan cucu cicit disebut anak-anak. Menghormati keinginan Nabi yang demikian, maka seluruh umat Muhammad menghormati mereka. Tidakpun beliau anjurkan, namun kaum Quraisy umumnya dan Bani Hasyim dan keturunan hasan dan Husain mendapat kehormatan istimewanya di hati kaum Muslimin.

Bagi ahlis-sunnah hormat dan penghargaan itu biasa saja. Keturunan Hasan dan Husain di panggilkan orang SAYYID; kalau untuk banyak SADAT. Sebab Nabi mengatakan “Kedua anakku ini menjadi SAYYID (Tuan) dari pemuda-pemuda di syurga; Disetengah negeri di sebut SYARIF, yang berarti orang mulia atau orang berbangsa; kalau banyak ASYRAF. Yang hormat berlebih-lebihan, sampai mengatakan keturunan Hasan dan Husain berlebih-lebihan, sampai mengatakan keturunan Hasan dan Husain itu tidak pernah berdosa, dan kalau berbuat dosa segera diampuini. Allah adalah ajaran (dari suatu aliran – penulis) kaum Syi’ah yang berlebih-lebihan.

Apatah lagi di dalam Al-Qur’an, surat ke-33 “Al-Ahzab”, ayat 30, Tuhan memperingatkan kepada isteri-isteri Nabi bahwa kalau mereka berbuat jahat, dosanya lipat ganda dari dosa orang kebanyakan. Kalau begitu peringatan Tuhan kepada isteri-isteri Nabi, niscaya demikian pula kepada mereka yang dianggap keturunannya.
MENJAWAB pertanyaan tentang benarkah Habib Ali Kwitang dan Habib Tanggul keturunan Rasulullah s.a.w ? Sejak zaman kebesaran Aceh telah banyak keturunan-keturunan Hasan dan Husain itu datang ke tanah air kita ini. Sejak dari semenanjung Tanah Melayu, Kepulauan Indonesia dan Philipina. Harus diakui banyak jasa mereka dalam penyebaran Islam di seluruh Nusantara ini. Penyebar Islam dan Pembangunan Kerajaan Banten dan Cirebon adalah Syarif Hidayatullah yang dipernankan di Aceh. Syarif Kebungsuan tercatat sebagai penyebar Islam ke Mindanao dan Sulu. Sesudah pupus keturunan laki-laki dari Iskandar Muda Mahkota Alam pernah Bangsa Sayid dari keluarga Jamalullail jadi Raja di Aceh. Negeri Pontianak pernah diperintah bangsa Sayid Al-Qadri. Siak oleh keluarga bangsa Sayid bin Syahab.

Perlis (Malaysia) dirajai oleh bangsa Sayid Jamalullail. Yang dipertuan Agung III Malaysia Sayid Putera adalah Raja Perlis. Gubernur Serawak yang sekarang ketiga, Tun Tuanku Haji Bujang ialah dari keluarga Alaydrus. Kedudukan mereka di negeri ini yang turun-temurun menyebabkan mereka telah menjadi anak negeri dimana mereka berdiam. Kebanyakan mereka jadi Ulama. Mereka datang dari Hadramaut dari keturunan Isa Al-Muhajir dan Faqih Al-Muqaddam. Mereka datang kemari dari berbagai keluarga. Yang kita banyak kenal ialah keluarga Alatasa. Assagaf,Alkaf, Bafaqih, Balfaqih, Alaydrus, bin Syekh Abubakar, Assiry, Al-Aidid, Al Jufri, Albar, Almussawa, Ghatmir, bin Agil, Alhadi, Basyarban, Bazzar;ah. Bamakhramah. Ba;abud. Syaikhan, Azh-Zhahir, bin Yahya dan lain-lain. Yang menurut keterangan Almarhum Sayid Muhammad Bin Abdurrahman bin Syahab telah berkembang jadi 199 keluarga besar. Semuanya adalah dari “Ubaidillah Bin Ahmad Bin Isa Al-Muhajir. Ahmad Bin isa Al-Muhajir Ilallah inilah yang berpindah dari Basrah ke Hadhramaut. Lanjutan silsilahnya ialah Ahmad Bin Isa Al Muhajir Bin Muhammad Al-Naqib bin Ali Al-Aridh Bin Ja’far Ash-Shadiq bin Muhammad Al-Baqir Bin Ali Zainal Abidin Bin Husain As-Sibthi Bin Al Bin Abi Thalib. As-Sabthi artinya cucu, karena Husain adalah anak dari Fathurmah binti Rasulullah s.a.w

Sungguhpun yang terbanyak adalah keturunan Husain dari hadhramaut itu, ada juga yang keturunan Hasan yang datang dari Hejaz, keturunan Syarif-syarif Makkah Abi Numay, tetapi tidak sebanyak dari Hadramaut. Selain dipanggilkan Tuan Sayid, mereka dipanggil juga HABIB, di Jakarta dipanggilkan WAN. Di Sarawak dan Sabbah disebut Tuanku. Di Pariaman (Sumatera Barat) disebut SIDI. Mereka telah tersebar di seluruh dunia. Di negeri-negeri besar sebagai Mesir, Baghdad, Syam dan lain-lain mereka adalah NAQIB yaitu yang bertugas mencatat dan mendaftarkan keturunan-keturunan itu. Di saat sekarang umumnya telah mencapai 36.37.38 silsilah sampai kepada Sayidina Ali dan Fathimah.

Dalam pergolakan aliran lama dan aliran baru di Indonesia, pihak al-Irsyad yang menandatang dominasi kaum Baalwi menganjurkan agar yang menganjurkan agar yang bukan keturunan Hasan dan Husain memakai juga titel Sayid dimuka namanya. Gerakan ini sampai menjadi panas. Tetapi setelah keturunan Arab Indonesia bersatu, tidak pilih keturunan Alawy atau bukan, dengan pimpinan A.R Baswedan, mereka anjurkan menghilangkan perselisihan dan masing-masing memanggil temannya dengan “Al-Akh”, artinya Saudara.

Maka baik Habib Tanggul di Jawa Timur dan Almarhum Habib Ali di Kwitang Jakarta, memanglah mereka keturunan dari Ahmad Bin Isa Al-Muhajir yang berpindah dari Bashrah ko Hadramaut itu, dan Ahmad Bin Isa tersebut adalah cucu tingkat ke-6 dari cucu Rasulullah Husain Bin Ali Bin Abi Thalib itu. Kepada keturunan-keturunan itu semuanya kita berlaku hormat, dan cinta, yaitu hormat dan cinta orang Islam yang cerdas, yang tahu harga diri. Sehingga tidak diperbodoh oleh orang-orang yang menyalahgunakan keturunannya itu. Dan mengingat juga akan sabda Rasulullah s.a.w.: janganlah sampai orang lain datang kepadaku dengan amalnya, sedang kamu datang kepadaku dengan membawa nasab dan keturunan kamu, dan pesan beliau pula kepada puteri kesayangannya, Fathimah Al-Batul, ibu dari cucu-cucu itu: “Hai Fathimah binti Muhammad. Beramallah kesayanganku. Tidaklah dapat aku, ayahmu menolongmu dihadapan Allah sedikitpun”. Dan pernah beliau bersabda: “Walaupun anak kandungku sendiri, Fathimah, jika dia mencuri aku potong juga tangannya”.