A.
Sejarah Nahdlatul
Ulama
Pada awal abad XX, umat Islam mengalami kegoncangan akibat
kekalahan Turki Usmani pada Perang Dunia I yang di pandang sebagai kejatuhan
dunia Islam. Dan Gerakan Wahabi di bawah
pimpinan Ibnu Sa’ud berhasil menguasai wilayah Hedz-jaz, tempat beradanya kedua
kota suci Mekkah dan Madinah. Gerakan ini, bertujuan memurnikan paham tauhid
umat islam dan menyeru kepada umat Islam kembali kepada Al-Qur’an dan sunah. Hal
ini menimbulkan pengaruh yang sangat besar terhadap umat Islam, termasuk umat
Islam Indonesia, terutama terhadap para ulama yang kuat berpegang pada tradisi
dan melestarikan ajaran bermazhab.[1]
Dalam kurun waktu sepuluh tahun, seorang yang sangat dinamis yang
pernah belajar di Mekkah, yakni Kiai Abdul Wahab Hasbullah, mengorganisir Islam
tradisionalis dengan dukungan seorang kiai dari Jombang Jawa Timur yang sangat
disegani, Kiai Hasyim Asy’ari.
Wahab Hasbullah pada tahun 1914 membentuk kelompok diskusi yang
diberi nama Taswir al-Afkar
(Gambaran Pemikiran) , yang tujuan utamanya adalah manyediakan tempat
bagi anak-anak untuk mengaji dan belajar, lalu ditunjuk menjadi “sayap” untuk
membela kepentingan Islam tradisionalis.[2]
Kiai Wahab juga membentuk sebuah koperasi pedagang, Nahdlatul Tujjar
tahun 1916. Wahab Hasbullah juga mempunyai perhatian khusus terhadap para
pemuda. Untuk itu Wahab Hasbullah mengumpulkan baberapa orang pemuda dan
memprakarsai berdirinya organisasi pemuda Syubban al-Watan (Pemuda Tanah
Air) 1918. Pada tahun 1924, Kiai Wahab mendirikan sebuah madrasah yang bernama “Nahdlatul
Wathan”. Dan akhirnya menjadi Nahdlatul Ulama (1926).
Suatu waktu Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni
mazhab Wahhabi di Mekkah, serta hendak menghancurkan semua peninggalan
sejarah islam maupun pra islam, yang selama ini banyak diziarahi karena
dianggap bid’ah. Gagasan kaum wahhabi tersebut mendapat sambutan hangat dari
kaum modernis di Indonesia, baik kalangan Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad
Dahlan maupun PSII di bawah pimpinan HOS Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan
pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermazhab dan
penghancuran warisan peradaban tersebut.
Dengan sikapnya yang berbeda itu kalangan pesantren dikeluarkan
dari anggota kongres Al-Islam di Yogyakarta pada tahun 1925. Akibatnya kalangan
pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu’tamar ‘Alam Islam (kongres
islam Internasional) di Mekkah yang akan mengesahkan keputusan tersebut. Sumber
lainnya menyebutkan bahwa K.H. Hasyim Asy’ari, K.H. Wahhab Hasbullah dan
sesepuh NU lainnya melakukan walk out.
Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebasan
bermazhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan
pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamakan Komite Hijaz, yang
diketuai oleh K.H. Wahhab Hasbullah.
Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam komite Hijaz,
dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, maka Raja Ibnu Saud
mengurungkan niatnya. Hasilnya hingga saat ini di Mekkah bebas dilaksanakan
ibadah sesuai dengan mazhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional
kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermazhab
dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah dan peradaban yang sangat
berharga.
Untuk menegaskan prinsip dasar organisasi ini maka K.H. Hasyim
Asy’ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip Dasar), kemudian juga merumuskan
kitab I’tiqad Ahlussunah Waljamaah. Kedua kitab tersebut kemudian
diejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga
NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.[3]
B.
Tokoh Nahdlatul
Ulama
v K.H. Hasyim Asy’ari (1871-1947)
Seorang ulama
terkemuka dan salah seorang perintis berdirinya Jamiah Nahdlatul Ulama (NU). Selain perintis, ia juga tokoh yang paling
banyak memberi isi dalam perkembangan organisasi itu. Ia pendiri pondok
pesantren Tebuireng, Jombang. Ia juga berasal dari keluarga kiai, keluarga taat
beragama, dan cinta ilmu pengetahuan; dilahirkan dan dibesarkan dalam
lingkungan pondok pesantren sehingga jiwanya sejak kecil sudah melekat pada tradisi pesantren.
Hasyim Asy’ari
mula-mula belajar pada ayahnya sendiri; kemudian bergabung bersama santri
lainnya di pondok pesantren ayahnya. Sejak kecil sudah tampak kecerdasan dan
kesungguhannya dalam menuntut ilmu. Ketika berusia 13 tahun, ia masuk Pondok
Pesantren Wonokojo di Probolinggo, kemudian pindah ke Pesantren Pelangitan di
Trenggilis. Dua tahun kemudian ia belajar di Pesantren Bangkalan, Madura. Ia tidak lama di sini. Ia
pindah lagi ke Pesantren Siwalan Panji Sidoarjo pimpinan Kiai Ya’kub. Akhlaknya
yang terpuji, ketekunan, dan kecerdasannya memikat gurunya, Kiai Ya’kub, dan k
arena itu ia dinikahkan dengan putrinya, chadijah pada tahun 1892.
Tidak beberapa
lama setelah menikah Hasyim berangkat ke Mekkah bersama istri dan mertuanya.
Sesudah tujuh bulan di Mekkah, istrinya melahirkan seorang putra yang diberi
nama Abdullah. Namun, beberapa hari setelah melahirkan, istrinya meninggal,
kemudian disusul putranya yang baru berusia 40 hari. Untuk menghilangkan rasa
dukanya Kiai Ya’kub mengajak manantunya, Hasyim pulang ke Indonesia.
Tahun berikutnya
Hasyim kembali melanjutkan pelajarannya di Mekkah. Selama tujuh tahun ia
melengkapi dirinya dengan berbagai ilmu pengetahuan yang bermanfaat, khususnya ilma-ilmu agama. Berkat
ketekunan dan kesungguhannya, hasyim berhasil menyelesaikan pendidikannya dan
menjadi ulama yang luas dan dalam pengetahuannya. Karena itu ia diberi gelar Hadrah
asy’yaikh.
Mengajar merupakan profesi yang ditekuninya sejak muda. Sepulang dari
Mekkah ia membantu ayahnya mengajar di pondok ayahnya, pondok Nggedang.
Kemudian ia mendirikan pondok pesantren sendiri di Desa Tebuireng, Jombang
(1899). Bertahun-tahun Kiai Hasyim membina pesantrennya, kehidupannya banyak
tersita untuk pembinaan santri-santri. Kiai Hasyim dikenal sebagai orang yang
sangat disiplin dengan waktu.
Pada tahun 1926
bersama KH Abdul Wahab Hasbullah dan
sejumlah ulama lainnya di Jawa Timur, Kiai Hasyim memprakarsai lahirnya
Nahdlatul Ulama.[4]
v K.H. Wahab Hasbullah (1888-1971)
Seorang ulama terkemuka dari Jawa Timur yang dikenal sebagai bapak
dan pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Ia adalah pengasuh Pondok Pesantren
Tambakberas, Jombang, berasal dari keluarga yang taat beragama. Ayahnya bernama
Kiai Haji Hasbullah, cucu Kiai Sichah adalah datuk KH Hasyim Asy’ari, pendiri
Pondok Pesantren Tebuireng. Jika ditelusuri silsilahnya, Kiai Sichah adalah
keturunan Joko Tingkir (sultan Panjang, 1569-1587), putra Brawijaya VI (Lembu
Peteng).
Wahab Hasbullah lahir dan dibesarkan di pesantren Tambakberas.
Lingkungan pesantren inilah yang membentuk watak dan kepribadiannya menjadi
ulama yang kuat berpegang pada tradisi. Di pesantren ini pulalah ia mengawali
pendidikannya dengan belajar langsung pada ayahnya, kiai Haji Hasbullah.
Mula-mula ia belajar membaca Al-Qur’an, setelah itu belajar ilmu tauhid, fikih,
dan tasawuf. Setelah berusia 13 tahun, ia dikirim ayahnya ke Pesantren Pelangitan
di Tuban. Dari tuban ia pindah ke Pesantren Mojosari, Nganjuk, yang dipimpin
Kiai Saleh. Kemudian berturut-turut pindah ke Pesantren Cepaka yang dipimpin
Kiai Zainuddin khusus untuk memperdalam fiqih, ke Pesantren Tawangsari di
Surabaya yang dipimpin Kiai Mas Ali (saudara ibunya) khusus untuk belajar
tajwid, ke Pesantren Bangkalan, Madura, yang dipimpin Kiai Haji Cholil untuk
memperdalam ilmu bahasa Arab, dan terakhir ke Pondok Pesantren Tebuireng, ia
ditunjuk menjadi lurah pondok dan dipercayakan mengajar santri yang menjadi
adik kelasnya.
Pada usia 27 tahun Wahab Hasbullah berangkat ke Mekkah untuk
menunaikan ibadah haji sekaligus memperdalam pengetahuan agamanya. Selama lima
tahun di Mekkah ia memanfaatkan kesempatan dengan sebaik-baiknya untuk belajar
berbagai ilmu agama.
Sepulang dari Mekkah Wahab Hasbullah dinikahkan dengan putri Kiai
Musa bernama Maimunah. Sejak itu Wahab Hasbullah tinggal bersama mertuanya di
Kampung Kertopaten, Surabaya. Di sini ia mulai aktif dalam kegiatan masyarakat disamping
profesinya sebagai guru.
Wahab Hasbullah pada tahun 1914 membentuk kelompok diskusi yang
diberi nama Taswir al-Afkar (Gambaran
Pemikiran). Dua tahun berikutnya Wahab Hasbullah dan KH Mas Mansur mandirikan
organisasi Nahdlatul Wathan (1916). Wahab Hasbullah juga mempunyai perhatian
khusus terhadap para pemuda. Untuk itu Wahab Hasbullah mengumpulkan baberapa
orang pemuda dan memprakarsai berdirinya organisasi pemuda Syubban al-Watan (Pemuda
Tanah Air).
Selanjutnya, bersama KH Hasyim Asy’ari, Wahab Hasbullah memelopori
berdirinya Nahdlatul Ulama (NU).[5]
C.
Ajaran Teologi
Nahdlatul Ulama
Faham teologi NU adalah terwakili oleh faham teologi yang
dikembangkan oleh Imam Al-Asy’ari dan karenanya termasuk faham teologi
tradisional, yang mengambil posisi di antara aliran Muktazilah dan Jabariyah.
Suatu kali ia memihak Muktazilah, lain kali cenderung ke Jabariyah, dan lain
kali, mengambil kedua pendapat dari kedua aliran yang bertentangan itu lalu
mengkompromikannya menjadi satu.[6]
Sejak awal NU menegaskan bahwa ia merupakan penganut Ahlussunah
Wal-Jamaah, sebuah paham keagamaan yang dikalangan NU bersumber pada:
Al-Qur’an, As-Sunah, Al-Ijma dan Al-Qiyas.
Secara harfiah Ahlussunah Waljamaah berarti penganut sunah Nabi
Muhammad dan jamaah (sahabat). Secara ringkas berarti segolongan pengikut
sunnah Rasulullah SAW yang di dalam melaksanakan ajaran-ajarannya, beliau berjalan
di atas garis yang di praktikan oleh sahabat Nabi. Ahlussunah Waljamaah sebagai
paham yang berpegang teguh kepada tradisi.[7]
Nahdlatul Ulama berteologi menganut faham Aswaja yang masih
memerlukan penyempurnaan, sebab pengertian Aswaja yang ada selama ini masih
dibatasi pada mazhab-mazhab tertentu, misalnya dalam masalah akidah mengikuti
aliran Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi, dalam fiqih
mengikuti faham Muhammad bin Idris al-Syafi’i, dan dalam bertasawuf mengikuti
Abu Qosim al-Junaidi al-Bagdadi dan Abu Hamid al-Ghozali.
Mayoritas kaum Nahdliyyin, baru mengenal Aswaja secara sekilas dan
elementer, lalu kemudian tidaklah heran bila Aswaja dalam kelompok ini
mempunyai ciri-ciri praktis, memakai kata sayyidina dalam menyebut nama
Nabi Muhammad SAW. Mengamalkan qunut dalam shalat subuh, 20 rakaat dalam shalat
tarawih, tahlil, marhabanan dalam upacara syukur hari kelahiran, membaca
manakib dan cenderung mengakomodir terhadap tradisi lokal.
Sebagai penentang Muktazila, sudah tentu NU berpendapat bahwa Tuhan
mempunyai sifa. Mustahil Tuhan sendiri merupakan pengetahuan (‘Ilm). Yang
benar, Tuhan itu mengetahui (‘Alim). Tuhan mengetahui dengan pengetahuan-Nya,
bukanlah dengan Dzat-Nya. Demikian pula bukan dengan sifat-sifat seperti, sifat
hidup, berkuasa, mendengar dan melihat.
Bagi NU arti sifat tidak jauh berbeda dengan pengertian sifat bagi
Muktazila. Sifat berada pada Dzat, tetapi sifat bukan Dzat, dan bukan pula lain
dari Dzat.
Pemikiran NU lain yaitu bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat. Untuk
itu, NU membawakan argument rasio dan nash. Yang tidak dapat dilihat, kata NU,
hanyalah yang tak punya wujud. Setiap wujud mesti dapat dilihat, Tuhan berwujud,
dan oleh karena itu dapat dilihat.
Argument Al-Qur’an yang dimajukannya antara lain, “wajah-wajah yang
ketikaitu berseri-seri memandang kepada Allah.”
Menurut NU, kata nazhirah dalam ayat itutak bias berarti
memikirkan seperti pendapat Muktazila, karena akhirat bukanlah tempat berfikir;
juga tak berarti menunggu, karena wajah tidak dapat menunggu, yang menunggu
adalah manusia. Lagi pula, di surga tidak ada penungguan, karena menunggu
mengandung makna dan membuat kejengkelan dan kebosanan. Oleh karena itu, nazirah
mesti berarti melihat dengan mata kepala.
Sungguhpun NU berpendapat, bahwa orang-orang mukmin nanti dapat
melihat Tuhan di akhirat dengan mata kepala, namun pemahamannya bukanlah
bersifat harfiyah. Tetapi menghendaki suatu penafsiran lagi, yaitu bahwa
melihat Tuhan itu tidak mempunyai tempat dan terarah pada tujuan, tetapi hanya
merupakan suatu penglihatan pengetahuan dan kesadaran, dengan mempergunakan
mata, yang belum terfikirkan bagi kita sekarang bagaimana bentuk mata itu
nantinya.
Namun demikian, untuk dapat menerima, bahwa Tuhan dapat dilihat
nanti di akhirat, maka NU memerlukan pula untuk menafsirkan atau mena’wilkan
ayat berikut ini:
“penglihatan tak dapat menangkapnya tetapi ia dapat mengangkat
penglihatannya”
Ayat di atas
diartikan oleh NU melalui pendapat Imam Asy’ari, bahwa yang dimaksud tidak
dapat melihat Tuhan adalah di dunia ini, dan bukan di akhirat. Dan juga
diartikan tidak dapat melihat Tuhan di akhirat bagi orang kafir.
[1]
Ensiklopedi Islam Jilid 3 hal 352-353
[2]
Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara, 1995, hal 9
[3]
Dr. Khalimi, M.A, Ormas-ormas Islam, sejarah, akar teologi dan politik, Jakarta:
Gaung Persada Press 2010. hal 331.
[4]
Ensiklopedi Islam Jilid 2 hal 101-102
[5]
Ensiklopedi Islam Jilid 5 hal 155-156
[6]
Dr. Khalimi, M.A, Ormas-ormas Islam, sejarah, akar teologi dan politik, Jakarta:
Gaung Persada Press 2010. hal 334.
[7]
Kacung Marijan, Quo Vandis NU, 1992, hal 21-22