Rabu, 23 Mei 2012

nahdatul ulama


A.    Sejarah Nahdlatul Ulama
Pada awal abad XX, umat Islam mengalami kegoncangan akibat kekalahan Turki Usmani pada Perang Dunia I yang di pandang sebagai kejatuhan dunia Islam.  Dan Gerakan Wahabi di bawah pimpinan Ibnu Sa’ud berhasil menguasai wilayah Hedz-jaz, tempat beradanya kedua kota suci Mekkah dan Madinah. Gerakan ini, bertujuan memurnikan paham tauhid umat islam dan menyeru kepada umat Islam kembali kepada Al-Qur’an dan sunah. Hal ini menimbulkan pengaruh yang sangat besar terhadap umat Islam, termasuk umat Islam Indonesia, terutama terhadap para ulama yang kuat berpegang pada tradisi dan melestarikan ajaran bermazhab.[1]
Dalam kurun waktu sepuluh tahun, seorang yang sangat dinamis yang pernah belajar di Mekkah, yakni Kiai Abdul Wahab Hasbullah, mengorganisir Islam tradisionalis dengan dukungan seorang kiai dari Jombang Jawa Timur yang sangat disegani, Kiai Hasyim Asy’ari.
Wahab Hasbullah pada tahun 1914 membentuk kelompok diskusi yang diberi nama Taswir  al-Afkar (Gambaran Pemikiran) , yang tujuan utamanya adalah manyediakan tempat bagi anak-anak untuk mengaji dan belajar, lalu ditunjuk menjadi “sayap” untuk membela kepentingan Islam tradisionalis.[2] Kiai Wahab juga membentuk sebuah koperasi pedagang, Nahdlatul Tujjar tahun 1916. Wahab Hasbullah juga mempunyai perhatian khusus terhadap para pemuda. Untuk itu Wahab Hasbullah mengumpulkan baberapa orang pemuda dan memprakarsai berdirinya organisasi pemuda Syubban al-Watan (Pemuda Tanah Air) 1918. Pada tahun 1924, Kiai Wahab mendirikan sebuah madrasah yang bernama “Nahdlatul Wathan”. Dan akhirnya menjadi Nahdlatul Ulama (1926).
Suatu waktu Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab Wahhabi di Mekkah, serta hendak menghancurkan semua peninggalan sejarah islam maupun pra islam, yang selama ini banyak diziarahi karena dianggap bid’ah. Gagasan kaum wahhabi tersebut mendapat sambutan hangat dari kaum modernis di Indonesia, baik kalangan Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan maupun PSII di bawah pimpinan HOS Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermazhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut.
Dengan sikapnya yang berbeda itu kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota kongres Al-Islam di Yogyakarta pada tahun 1925. Akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu’tamar ‘Alam Islam (kongres islam Internasional) di Mekkah yang akan mengesahkan keputusan tersebut. Sumber lainnya menyebutkan bahwa K.H. Hasyim Asy’ari, K.H. Wahhab Hasbullah dan sesepuh NU lainnya melakukan walk out.
Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebasan bermazhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamakan Komite Hijaz, yang diketuai oleh K.H. Wahhab Hasbullah.
Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam komite Hijaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, maka Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya hingga saat ini di Mekkah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan mazhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermazhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah dan peradaban yang sangat berharga.
Untuk menegaskan prinsip dasar organisasi ini maka K.H. Hasyim Asy’ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip Dasar), kemudian juga merumuskan kitab I’tiqad Ahlussunah Waljamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.[3]
B.     Tokoh Nahdlatul Ulama
v  K.H. Hasyim Asy’ari (1871-1947)
            Seorang ulama terkemuka dan salah seorang perintis berdirinya Jamiah Nahdlatul Ulama (NU).  Selain perintis, ia juga tokoh yang paling banyak memberi isi dalam perkembangan organisasi itu. Ia pendiri pondok pesantren Tebuireng, Jombang. Ia juga berasal dari keluarga kiai, keluarga taat beragama, dan cinta ilmu pengetahuan; dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan pondok pesantren sehingga jiwanya sejak kecil  sudah melekat pada tradisi pesantren.
            Hasyim Asy’ari mula-mula belajar pada ayahnya sendiri; kemudian bergabung bersama santri lainnya di pondok pesantren ayahnya. Sejak kecil sudah tampak kecerdasan dan kesungguhannya dalam menuntut ilmu. Ketika berusia 13 tahun, ia masuk Pondok Pesantren Wonokojo di Probolinggo, kemudian pindah ke Pesantren Pelangitan di Trenggilis. Dua tahun kemudian ia belajar di Pesantren  Bangkalan, Madura. Ia tidak lama di sini. Ia pindah lagi ke Pesantren Siwalan Panji Sidoarjo pimpinan Kiai Ya’kub. Akhlaknya yang terpuji, ketekunan, dan kecerdasannya memikat gurunya, Kiai Ya’kub, dan k arena itu ia dinikahkan dengan putrinya, chadijah pada tahun 1892.
            Tidak beberapa lama setelah menikah Hasyim berangkat ke Mekkah bersama istri dan mertuanya. Sesudah tujuh bulan di Mekkah, istrinya melahirkan seorang putra yang diberi nama Abdullah. Namun, beberapa hari setelah melahirkan, istrinya meninggal, kemudian disusul putranya yang baru berusia 40 hari. Untuk menghilangkan rasa dukanya Kiai Ya’kub mengajak manantunya, Hasyim pulang ke Indonesia.
            Tahun berikutnya Hasyim kembali melanjutkan pelajarannya di Mekkah. Selama tujuh tahun ia melengkapi dirinya dengan berbagai ilmu pengetahuan yang  bermanfaat, khususnya ilma-ilmu agama. Berkat ketekunan dan kesungguhannya, hasyim berhasil menyelesaikan pendidikannya dan menjadi ulama yang luas dan dalam pengetahuannya. Karena itu ia diberi gelar Hadrah asy’yaikh.
            Mengajar merupakan profesi yang ditekuninya sejak muda. Sepulang dari Mekkah ia membantu ayahnya mengajar di pondok ayahnya, pondok Nggedang. Kemudian ia mendirikan pondok pesantren sendiri di Desa Tebuireng, Jombang (1899). Bertahun-tahun Kiai Hasyim membina pesantrennya, kehidupannya banyak tersita untuk pembinaan santri-santri. Kiai Hasyim dikenal sebagai orang yang sangat disiplin dengan waktu.
            Pada tahun 1926 bersama  KH Abdul Wahab Hasbullah dan sejumlah ulama lainnya di Jawa Timur, Kiai Hasyim memprakarsai lahirnya Nahdlatul Ulama.[4]
v  K.H. Wahab Hasbullah (1888-1971)
Seorang ulama terkemuka dari Jawa Timur yang dikenal sebagai bapak dan pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Ia adalah pengasuh Pondok Pesantren Tambakberas, Jombang, berasal dari keluarga yang taat beragama. Ayahnya bernama Kiai Haji Hasbullah, cucu Kiai Sichah adalah datuk KH Hasyim Asy’ari, pendiri Pondok Pesantren Tebuireng. Jika ditelusuri silsilahnya, Kiai Sichah adalah keturunan Joko Tingkir (sultan Panjang, 1569-1587), putra Brawijaya VI (Lembu Peteng).
Wahab Hasbullah lahir dan dibesarkan di pesantren Tambakberas. Lingkungan pesantren inilah yang membentuk watak dan kepribadiannya menjadi ulama yang kuat berpegang pada tradisi. Di pesantren ini pulalah ia mengawali pendidikannya dengan belajar langsung pada ayahnya, kiai Haji Hasbullah. Mula-mula ia belajar membaca Al-Qur’an, setelah itu belajar ilmu tauhid, fikih, dan tasawuf. Setelah berusia 13 tahun, ia dikirim ayahnya ke Pesantren Pelangitan di Tuban. Dari tuban ia pindah ke Pesantren Mojosari, Nganjuk, yang dipimpin Kiai Saleh. Kemudian berturut-turut pindah ke Pesantren Cepaka yang dipimpin Kiai Zainuddin khusus untuk memperdalam fiqih, ke Pesantren Tawangsari di Surabaya yang dipimpin Kiai Mas Ali (saudara ibunya) khusus untuk belajar tajwid, ke Pesantren Bangkalan, Madura, yang dipimpin Kiai Haji Cholil untuk memperdalam ilmu bahasa Arab, dan terakhir ke Pondok Pesantren Tebuireng, ia ditunjuk menjadi lurah pondok dan dipercayakan mengajar santri yang menjadi adik kelasnya.
Pada usia 27 tahun Wahab Hasbullah berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji sekaligus memperdalam pengetahuan agamanya. Selama lima tahun di Mekkah ia memanfaatkan kesempatan dengan sebaik-baiknya untuk belajar berbagai ilmu agama.
Sepulang dari Mekkah Wahab Hasbullah dinikahkan dengan putri Kiai Musa bernama Maimunah. Sejak itu Wahab Hasbullah tinggal bersama mertuanya di Kampung Kertopaten, Surabaya. Di sini ia mulai aktif dalam kegiatan masyarakat disamping profesinya sebagai guru.
Wahab Hasbullah pada tahun 1914 membentuk kelompok diskusi yang diberi nama Taswir  al-Afkar (Gambaran Pemikiran). Dua tahun berikutnya Wahab Hasbullah dan KH Mas Mansur mandirikan organisasi Nahdlatul Wathan (1916). Wahab Hasbullah juga mempunyai perhatian khusus terhadap para pemuda. Untuk itu Wahab Hasbullah mengumpulkan baberapa orang pemuda dan memprakarsai berdirinya organisasi pemuda Syubban al-Watan (Pemuda Tanah Air).
Selanjutnya, bersama KH Hasyim Asy’ari, Wahab Hasbullah memelopori berdirinya Nahdlatul Ulama (NU).[5]
C.    Ajaran Teologi Nahdlatul Ulama
Faham teologi NU adalah terwakili oleh faham teologi yang dikembangkan oleh Imam Al-Asy’ari dan karenanya termasuk faham teologi tradisional, yang mengambil posisi di antara aliran Muktazilah dan Jabariyah. Suatu kali ia memihak Muktazilah, lain kali cenderung ke Jabariyah, dan lain kali, mengambil kedua pendapat dari kedua aliran yang bertentangan itu lalu mengkompromikannya menjadi satu.[6]
Sejak awal NU menegaskan bahwa ia merupakan penganut Ahlussunah Wal-Jamaah, sebuah paham keagamaan yang dikalangan NU bersumber pada: Al-Qur’an, As-Sunah, Al-Ijma dan Al-Qiyas.
Secara harfiah Ahlussunah Waljamaah berarti penganut sunah Nabi Muhammad dan jamaah (sahabat). Secara ringkas berarti segolongan pengikut sunnah Rasulullah SAW yang di dalam melaksanakan ajaran-ajarannya, beliau berjalan di atas garis yang di praktikan oleh sahabat Nabi. Ahlussunah Waljamaah sebagai paham yang berpegang teguh kepada tradisi.[7]
Nahdlatul Ulama berteologi menganut faham Aswaja yang masih memerlukan penyempurnaan, sebab pengertian Aswaja yang ada selama ini masih dibatasi pada mazhab-mazhab tertentu, misalnya dalam masalah akidah mengikuti aliran Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi, dalam fiqih mengikuti faham Muhammad bin Idris al-Syafi’i, dan dalam bertasawuf mengikuti Abu Qosim al-Junaidi al-Bagdadi dan Abu Hamid al-Ghozali.
Mayoritas kaum Nahdliyyin, baru mengenal Aswaja secara sekilas dan elementer, lalu kemudian tidaklah heran bila Aswaja dalam kelompok ini mempunyai ciri-ciri praktis, memakai kata sayyidina dalam menyebut nama Nabi Muhammad SAW. Mengamalkan qunut dalam shalat subuh, 20 rakaat dalam shalat tarawih, tahlil, marhabanan dalam upacara syukur hari kelahiran, membaca manakib dan cenderung mengakomodir terhadap tradisi lokal.
Sebagai penentang Muktazila, sudah tentu NU berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifa. Mustahil Tuhan sendiri merupakan pengetahuan (‘Ilm). Yang benar, Tuhan itu mengetahui (‘Alim). Tuhan mengetahui dengan pengetahuan-Nya, bukanlah dengan Dzat-Nya. Demikian pula bukan dengan sifat-sifat seperti, sifat hidup, berkuasa, mendengar dan melihat.
Bagi NU arti sifat tidak jauh berbeda dengan pengertian sifat bagi Muktazila. Sifat berada pada Dzat, tetapi sifat bukan Dzat, dan bukan pula lain dari Dzat.
Pemikiran NU lain yaitu bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat. Untuk itu, NU membawakan argument rasio dan nash. Yang tidak dapat dilihat, kata NU, hanyalah yang tak punya wujud. Setiap wujud mesti dapat dilihat, Tuhan berwujud, dan oleh karena itu dapat dilihat.
Argument Al-Qur’an yang dimajukannya antara lain, “wajah-wajah yang ketikaitu berseri-seri memandang kepada Allah.”
Menurut NU, kata nazhirah dalam ayat itutak bias berarti memikirkan seperti pendapat Muktazila, karena akhirat bukanlah tempat berfikir; juga tak berarti menunggu, karena wajah tidak dapat menunggu, yang menunggu adalah manusia. Lagi pula, di surga tidak ada penungguan, karena menunggu mengandung makna dan membuat kejengkelan dan kebosanan. Oleh karena itu, nazirah mesti berarti melihat dengan mata kepala.
Sungguhpun NU berpendapat, bahwa orang-orang mukmin nanti dapat melihat Tuhan di akhirat dengan mata kepala, namun pemahamannya bukanlah bersifat harfiyah. Tetapi menghendaki suatu penafsiran lagi, yaitu bahwa melihat Tuhan itu tidak mempunyai tempat dan terarah pada tujuan, tetapi hanya merupakan suatu penglihatan pengetahuan dan kesadaran, dengan mempergunakan mata, yang belum terfikirkan bagi kita sekarang bagaimana bentuk mata itu nantinya.
Namun demikian, untuk dapat menerima, bahwa Tuhan dapat dilihat nanti di akhirat, maka NU memerlukan pula untuk menafsirkan atau mena’wilkan ayat berikut ini:
penglihatan tak dapat menangkapnya tetapi ia dapat mengangkat penglihatannya”
            Ayat di atas diartikan oleh NU melalui pendapat Imam Asy’ari, bahwa yang dimaksud tidak dapat melihat Tuhan adalah di dunia ini, dan bukan di akhirat. Dan juga diartikan tidak dapat melihat Tuhan di akhirat bagi orang kafir.


[1] Ensiklopedi Islam Jilid 3 hal 352-353
[2] Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara, 1995, hal 9
[3] Dr. Khalimi, M.A, Ormas-ormas Islam, sejarah, akar teologi dan politik, Jakarta: Gaung Persada Press  2010. hal 331.
[4] Ensiklopedi Islam Jilid 2 hal 101-102
[5] Ensiklopedi Islam Jilid 5 hal 155-156
[6] Dr. Khalimi, M.A, Ormas-ormas Islam, sejarah, akar teologi dan politik, Jakarta: Gaung Persada Press  2010. hal 334.

[7] Kacung Marijan, Quo Vandis NU, 1992, hal 21-22