Selasa, 17 April 2012

ahmad khatib minangkabau dan ahmad khatib sambas

PENDAHULUAN
Peranan ulama yang berasal dari dunia Melayu yang menimba ilmu dan menetap di Mekah dan memiliki murid-murid yang berguru kepadanya, sudah berjalan begitu lama dan bersambung dari pada satu generasi ke generasi berikutnya.
Sebagai salah satu contoh ulama besar yang menetap di Mekkah untuk  dan membawa pengaruh besar bagi Indonesia adalah Ahmad Khatib Minangkabau dan Ahmad Khatib Sambas. Kedua ulama tersebut tidak saja mengangkat citra bangsa Indonesia di mata dunia dalam bidang ilmu ke-Islaman, tetapi tidak sedikit pula mendidik murid-muridnya yang menjadi ulama berpengaruh dan berkontribusi besar bagi Indonesia.
Kedua ulama tersebut yaitu Ahmad Khatib Minangkabau dan Ahmad Khatib Sambas secara tidak langsung memberi peranan serta kontribusi pembaharuan didalam dunia islam khususnya di Indonesia, banyak gagasan/ pembaharuan yang dilakukan kedua ulama tersebut yang banyak berkembang di Indonesia.
Banyak dari murid-muridnya yang menjadi tokoh sentral dan penting yang tersebar di beberapa daerah di Indonesia, contohnya di pulau Jawa ada KH. Hasyim Asyari dan KH. Ahmad Dahlan yang menjadi tokoh pendiri Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah sebuah organisasi Islam yang besar di negri ini.
PEMBAHASAN
1.    Ahmad Khatib Minangkabau

a.      Latar belakang kehidupan
Ahmad Khatib Minangkabau dilahirkan di kota Bukit tinggi, Sumatra Barat. Terdapat dua pendapat mengenai tahun kelahiranya. Menurut Prof. Dr. Hamka, Ahmad Khatib lahir tahun 1276 H/1860 M, sedangkan menurut Deliar Noer, seorang cendekiawan Islam adalah tahun 1855 M. Ayahnya bernama Abdul Latif. Dari pihak ayah, Ahamad Khatib Minangkabau berkeponakan dengan Agus Salim. Ibu Ahamad Khatib adalah Limbak Urai, anak Tuanku Nan Renceh, seorang Ulama Paderi terkemuka. Dari pihak ibu Ahmad Khatib Minangkabau adalah adik dari Ibu Syekh Taher Jalaluddin. Dilihat dari keturunan ayah dan ibunya, Ahmad Khatib Minang Kabau terhitung datang dari keluarga yang terpandang di Minag Kabau pada zamanya.[1]
Ia berasal dari keluarga yang beragama dan sekaligus kuat berpegang pada adat. Sejak Ahmad Khatib Minangkabau berumur sebelas tahun ia telah dibawa Ayahnya belajar ke Mekkah. Setelah lama menetap dan belajar di Mekkah serta karena kehalusan budi bahasa dan penguasaan pengetahuan agamanya, namanya mulai terkenal di masyarakat Mekkah. Atas dasar ini kemudian ia dijadikan menantu oleh seorang saudagar di Mekkah, Syeh Saleh Kurdi seorang pedagang dan penyalur kitab-kitab keagamaan. Ia dinikahkan dengan anaknya yang bernama Khadijah.[2]
Rupanya, Syekh saleh kurdi seorang saudagar yang bermazhab syafi’I ini mempunyai hubungan dengan pemerintah kerajaan Arab Saudi di Mekkah. Oleh karna itu tidak mengherankan, bila Ahmad Khatib Minangkabau diperkenalkan dengan keluarga istana, lebih lanjut, Raja merasa Ahmad Khatib Minangkabau aadalah seorang pemuda yang pandai, latar belakang inilah yang kemudian menempatkan Ahmad Khatib Minangkabau kedalam jabatan imam dan guru besar dalam mazhab syafi’I di mesjid al-Haram, Mekkah.
Syekh Ahmad Khatib adalah seorang ulama besar yang mengajar di masjidil Haram, Ahmad Khatib adalah putra minang kabau yang berjuang di Mekkah untuk bangsa Indonesia. Tidak sedikit murid-muridnya yang menjadi ulama dan pejuang kemerdekaan di Indonesia, terutama ulama-ulama Islam yang ada di Minangkabau semua bekas muridnya.[3]
Selain itu, Ahmad Khatib Minangkabau terkenal cukup produktif, ia menulis bukan saja dalam bahasa arab, melainkan juga dalam bahasa melayu sebagai bahasa ibunya. Karya-karyanya banyak diterbitkan dengan bantuan dana dari mertuanya selaku distributor kitab keagamaan.
Walaupun Ahmad Khatib Minangkabau tidak sempat kembali lagi ke tanah airnya, ia tetap termasuk salah seorang tokoh pembaharu di Sumatra Barat. Pikiran-pikirannya disebarluaskan ke tanah air baik melalui buku-bukunya maupun melalui mereka yang datang ke Mekkah untuk beribadah haji dan kemudian menyempatkan diri belajar kepadanya. Diantara murid-murid muridnya adalah : yang berasal dari daerah minang kabau, Syekh Muhammad Jamil Jambek, Haji Abdul Karim Amrullah, haji Abdulah Ahmad. Yang berasal dari luar minang kabau :  Syekh Muhammad Nur, Syekh hasan ma’asum, syekh Muhammad saleh, syekh Muhammad zain. Adapun yang berasal dari jawa yaitu kiai Haji Hasyim Asyari pendiri pesanteren tebu ireng, yang kemudian menjadi pemimpin Nahdatul Ulama (NU). Dan Ahmad Khatib Minangkabau meninggal pada 1916 (1334 H).[4]
b.   Pemikiran dan Implikasinya
1. Ahmad Khatib Minangkabau menentang Tarekat
Ahmad Khatib menulis buku untuk menentang tarekat Naqsyabandiyah, diantara buku yang terkenal adalah Izhar Zagli al-Kazibin fi Tasyabbuhihim bi as-Sadiqin, yang dicetak tahun 1324 H di Padang. kemudian dicetak ulang pada tahun 1326 H/ 1908 M. Yang Merupakan sanggahan terhadap tarekat Naqsyabandiyah yang berkembang di Minangkabau kala itu.
Kitab tersebut mengundang kemarahan seluruh penganut tarekat Naqsyabandiyah dan penganut tarekat yang lainnya. Syekh Muhammad Sa’ad Mungka (salah seorang ulama dari penganut terekat Naqsyabandiyah) menanggapi karya Ahmad Khatib Minang Kabau dengan bukunya yang berjudul Irghamu unufi muta’annitin fi inkarihim rabithatil washilin. Dengan terbitnya buku Syekh Muhammad  Sa’ad Mungka, Ahmad Khatib Minang Kabawi kemudian menyanggahnya kembali dengan buku keduanya yang berjudul al-Ayat al-Bayyinah li al-Munsifin fi Izalah Khurafat Ba’da al-Muta’assibin. Yang mempertahankan fatwanya tentang Tarekat Naqsyabandiyah dan menolak segala sanggahan terhadap buku pertama di atas.
2. Kritik terhadap Adat Minangkabau
Dalam adat Minangkabau pembagian harta pusaka berdasarkan matrilineal (menurut garis ibu), pembagian harta pusaka menurut garis matrilineal sangat keras dilarang oleh Syaikh Ahmad Khatib Minang Kabau. Sekalipun kedudukannya disini memang sama sekali tidak berbeda dari kitab fiqih dan ulama lain, namun cara menulis dan mengajarnya lebih keras, tajam dan polemis. Pada tahun 1891 M, dia menerbitkan buku kecil dibidang waris dalam bahasa Arab dengan judul al-da’l al-masmu’ fil radd ‘ala yuwaritsu al-ikhwah wa awlad al-akhwat ma’a wujud al-usul wal furu’ dua tahun kemudian dia menulis uraian lebih panjang, dalam bahasa Melayu, dengan judul al-manhaj al-masruq.
Buku ini mengkritisi sistem matrilineal dalam masyarakat Minangkabau sehingga membuat kalangan pegawai kolonial pada waktu itu resah dan terjadi perdebatan, apakah buku ini harus dilarang atau tidak. Ada yang berpendapat bahwa dengan adanya kitab ini akan menimbulkan pertentangan lebih tajam antara kaum ulama dan kaum adat di Minangkabau.
3. Ahli Ilmu Hitung dan Hisab
Selain ahli dalam bidang fiqih, Ahmad Khatib Minangkabau juga ahli dalam bidang ilmu hitung dan hisab. Salah satu bukunya dalam bidang ilmu hitung adalah Rauda al-khusab fi ilmi al-hisab, yang membahas tentang ilmu hitung dan ilmu ukur, terutama sebagai ilmu Bantu dalam hukum Islam, sedangkan kitabnya yang berjudul al-Jawahir nakkiyah fi a’mal al-Jaibiyah merupakan buku pedoman untuk pengetahuan tentang pertanggal.
4. Karya-karya Ahmad Khatib Minangkabau
Ahmad khatib Minangkabau merupakan ulama yang produktif yang telah menghasilkan buku dalam berbagai bidang keilmuan. Diantara karyanya adalah An- Nafahat (ilmu usul fiqh), Al-Khutat Al-Mardiyyah (tentantag niat), Suhl al-Jamaatain (tentang sholat jum’at), Ikna an-Nufus (tentang zaakat), Rauda al-khusab fi ilmi al-hisab (tentang hisab). dan al-Jawahir an-nakiyah fi al-a’mal al-jaibiyah (tentang ilmu hukum dan hisab).[5]
Bukunya yang lain berjudul al anan fi al radd ala risalah kafi al awam ngan al haou fi syarekat islam yang diterbitkan di Mesir pada tahun 1332 H buku ini ditulis untuk membela pendirian syarekat islam dan membantah segala tuduhan Syekh Hasim bin Muhamad Asy’ari al Jombani yang isi menghalangi masyarakat untuk masuk syarekat islam. Tulisan Ahmad katib yang lain berjudul irsyad al hayaro fi izalah ba’d syibh an nasara (1312 H) buku ini berisi tentang penolakan terhadap tuduhan orang-orang Nasrani atas Islam. Buku yang senada juga di tulis dengan judul dau as siraj.
2.    Ahmad Khatib Sambas
a.      Latar belakang kehidupan
Nama Lengkapnya adalah Ahmad Khatib Sambas bin Abd al-Ghaffar al­Sambasi al-Jawi. la di lahirkan di kampung Dagang atau Kampung Asam, Sambas, Kalimantan Barat pada 1217 H/1802 M. Setelah mendapatkan pendidikan agama di kampung halamannya, ia tinggal di Mekkah pada usia 19 untuk memperdalam ilmu agama dan menetap di sana. Ia menetap di Mekkah hingga akhir hayatnya. Di sana ia belajar sejumlah ilmu pengetahuan agama, termasuk sufisme. Dan ia pun herhasil mendapatkan kedudukan terhormat di antara teman-teman sezamannya hingga akhirnya ajarannya berpengaruh kuat hingga sampai ke Indonesia.[6]
Ketika usianya meningkat dewasa, Ahmad Khatib Sambas berangkat menuju tanah suci disamping untuk menunaikan ibadah haji, juga untuk menuntut ilmu agama. Namun ketika ia mencoba belajar di halaqah yang ada di mesjid al-Haram ketika itu, guru-guru yang ada disana menolaknya, karena ia dianggap tidak mampu untuk mengikuti pelajaran. Betapa kecewanya Ahmad Khatib Sambas mendapat perlakuan seperti itu. Peristiwa tersebut dilihat oleh Syekh Daud bin Abdullah al-Fatani yang kemudian membawanya untuk tinggal dan belajar bersamanya, yang ternyata otak pemuda Ahmad Khatib Sambas amat cerdas.
Setelah berguru dan belajar dengan Syekh Daud bin Abdullah al-Fatani, ia kemudian menuntut ilmu kepada Syekh Syamsuddin, yaitu salah seorang ulama yang dianggap besar dalam tarekat Syattariyah. Kecerdasan dan keikhlasan serta tawadhu membuat Ahmad Khatib Sambas menerima posisi yang tertinggi diantara murid-murid Syekh Syamsuddin. Ia diangkat sebagai Syekh Mursyid Kamil Mukamil, dan berperan menggantikan Syekh Syamsuddin dalam mengajarkan tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah. Karya utama dan satu-satunya yang sampai ketangan generasi sekarang adalah buku yang berjudul Fath al-Arifin buku yang berisi tuntunan pelaksanaan zikir dalam tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah.[7]
Hurgronje mengakui bahwa sambas adalah ulama yang andal, unggul di dalam tiap-tiap cabang pengetahuan Islam dan ia dikenal secara baik di Indonesia sebagai pendiri tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah. Dimana tarekat ini berperan sebagai sarana dalam penyebaran islam  di seluruh Indonesia dan dunia melayu diparuh kedua abad ke-19.[8]
B. Pemikiran dan Implikasinya
Dalam prosedur berdzikir Ahmad Khatib Sambas mengenalkan Dzikir negasi dan afirmasi (Dzikr al-Nafy wa al-Ithbat) sebagaimana yang dipraktekkan dalam tarekat Qadiriyyah. Selain itu, ia juga melakukan sedikit perubahan dari praktek Qadiriyya pada umumnya yang diadopsinya dari konsep Naqsabandiyah tentang lima Lathaif. Sedangkan pengaruh lain dari Naqsabandiyya dapat dilihat dalam praktek visualisasi rabitha, baik sebelum rnaupun sesudah dzikir dilaksanakan. Selain itu, jika Dzikir dalam tarekat Naqsabandiyya biasanya dipraktekkan secara samar, dan dalam Qadiriyyah diucapkan dengan suara yang keras maka Syeikh Khatib Sambas mengajarkan kedua cara dzikir ini.
1.      Prosedur Pembai’atan dalam tarekat
Dalam prosesi pembai’atan seorang yang akan memasuki tarekat Qadariyah dan Naqsyabandiyah, seorang Syekh harus membaca bacaan yang khusus bagi pengikut tarekat Qadariyah dan Naqsyabandiyah. Dan diteruskan dengan membaca surah al-Fatihah yang dihadiahkan kepada Rasulullah SAW, sahabat-sahabatnya, seluruh Silsilah tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah, khususnya kepada Sultan Auliya’ Syeikh Abd al-Qadir al-Jailani dan Sayyid Tha’ifa al-Sufiyya, Syeikh Junayd al-Baghdadi. Selanjutnya Syekh berdo’a untuk murid tersebut dengan harapan semoga sang murid mendapatkan kemudahan.
2.      Sepuluh Latha’if (sesuatu yang Halus)
Setelah menjelaskan prosedur dan tata cara pembai’atan terhadap seseorang yang ingin memasuki Tarekat Qadiriyah dan Naqsabandiyya, Syekh Ahmad Khatib Sambas kemudian menjelaskan bahwa manusia terdiri dari sepuluh Latha’if. Lima Latha’if yang pertama disebut sebagai alam al-Amr (alam perintah). Kelima Latu’if tersebut antara lain: Lathifa al-Qalbi (halus hati), Lathifa al-Ruh (halus ruh), Lathifa al-Sirr (halus rahasia), Lathifa al-Khafi (halus rahasia) dan Lathifa ul-Akhfa (halus yang paling tersembunyi). Sementara lima Latha’if seterusnya disebut sebagai ‘alum al-khalq (alam ciptaan) yang meliputi; Lathifa al-Nafs dan al-’anaasir al-arba’a (unsur yang empat) yakni air, udara, api dan tanah. Selanjutnya Syeikh Sambas menentukan bahwa Lathifa al-Nafs bertempat di dalam dahi dan tempurung kepala.
3.      Tata Cara Beramal (membaca Dzikir)
Setetelah menjelaskan sepuluh Latha’if, Syeikh Sambas melanjutkan dengan petunjuk tata cara beramal (baca dzikir) sebagaimana berikut ;
Astagfirulloh Ghofururrohim, Allahumma Sholli Alaa sayyidina Muhammad wa sahbihii wassallam Laa ilaaha illa Allah.
Cara membaca kalimat laa ilaaha illa Allah dimulai dari menarik nafas panjang sambil membaca “Laa” dari pusat ke otak. Lalu membaca “Illa hu” ke arah kanan kemudian dilanjutkan dengan kalimat “Illa alloh” ke dalam hati seraya mengingat maknanya. Inilah yang disebut dengan dzikir Nafy wa Ithbat yang dapat dilakukan baik dengan nyaring (zihar) atau di dalam hati (sirr).
Setelah selesai berzikir diteruskan dengan membaca solawat Munjiyat sebagaimana berikut :
Allahumma Shalli Ala Sayyidina Muhammad Shollatan Tunzinaa Bihaa min Jamiil ahwali wal afaat
Kemudian diteruskan dengan membaca surah al-Fatihah yang dihadiahkan kepada Rasulullah SAW, sahabat-sahabatnya, seluruh Silsilah tarekat Qadiriyya wa Naqsabandiyya, khususnya kepada Sultan Auliya’ Syeikh Abd al-Qadir al-Jailani dan Sayyid Tha’ifa al-Sufiyya, Syeikh Junayd al-Baghdadi sebagaimana halnya ketika melakukan pembai’atan.[9]


KESIMPULAN
Ahmad Khatib Minang Kabau dilahirkan di kota Bukit tinggi, Sumatra Barat. Terdapat dua pendapat mengenai tahun kelahiranya. Menurut Prof. Dr. Hamka, Ahmad Khatib lahir tahun 1860 M. Ayahnya bernama Abdul Latif. Ibu Ahamad Khatib adalah Limbak Urai. Dilihat dari keturunan ayah dan ibunya, Ahmad Khatib Minang Kabau terhitung datang dari keluarga yang terpandang di Minag Kabau pada zamanya.
Ahmad Khatib Sambas bin Abd al-Ghaffar al­Sambasi al-Jawi. la di lahirkan di kampung Dagang atau Kampung Asam, Sambas, Kalimantan Barat pada 1217 H/1802 M. Setelah mendapatkan pendidikan agama di kampung halamannya, ia tinggal di Mekkah pada usia 19 untuk memperdalam ilmu agama dan menetap di sana. Ia menetap di Mekkah hingga akhir hayatnya.
Pembaharuan Pemikiran Islam yang dilakukan Ahmad Khatib Minang Kabau meliputi berbagai bidang yaitu :
1.      Menentang tarekat Naqsyabandiyah
2.      Kritik terhadap Adat Minang Kabau dalam pewarisan
3.      Menjadi Ahli Ilmu hitung dan Hisab

Pembaharuan Pemikiran Islam yang dilakukan Ahmad Khatib Sambas adalah sebagai berikut :
1.      Prosedur pembai’atan dalam tarekat
2.      Sepuluh Latha’if (sesuatu yang Halus)
3.      Tatacara beramal (membaca dzikir)
Kedua ulama diatas sangat besar pengaruhnya bagi pemikiran pembaharuan Islam di Indonesia, hal ini terbukti banyak murid-muridnya yang menjadi ulama-ulama terkemuka di Indonesia ataupun di Asia.

DAFTAR PUSTAKA

Arif, Armai. Pembaharuan pendidikan Islam di Minangkabau, (Jakarta: Suara ADI, 2009)
Mulyati, Sri. Tasawuf Nusantara Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka,(Jakarta: Kencana, 2006)
Nasution, Harun. Ensiklopedi Islam di Indonesia,(Jakarta : IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1992)
Steenbrink, Karel A. Beberapa aspek tentang Islam di Indonesia abad ke-19,(Jakarta : Bulan Bintang,1984)



[1] Karel A. Steenbrink, Beberapa aspek tentang Islam di Indonesia abad ke-19,(Jakarta : Bulan Bintang,1984) hlm. 139
[2] Harun Nasution, Ensiklopedi Islam di Indonesia,(Jakarta : IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1992) hlm. 87
[3] Armai Arif, Pembaharuan pendidikan Islam di Minangkabau, (Jakarta: Suara ADI, 2009) hlm. 107
[4] Harun Nasution, Ensiklopedi Islam di Indonesia,(Jakarta : IAIN Syarif  Hidayatullah Jakarta, 1992) hlm. 90
[7] Harun Nasution, Ensiklopedi Islam di Indonesia,(Jakarta : IAIN Syarif  Hidayatullah Jakarta, 1992) hlm. 90
[8] Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka,(Jakarta: Kencana, 2006) hlm. 179

poligami dan poliandri

PENDAHULUAN
            Kesempurnaan Islam adalah satu kepastian yang wajib diimani seorang muslim. Karena syariat Islam telah mengatur semua sisi kehidupan manusia menuju kebahagiaan hakiki. Dengan ajaran Islam, maka seorang muslim dapat meraih keselamatan dan kebahagiaan di dunia maupun di akhirat.
Allah swt berfirman:
$oYù=è% (#qäÜÎ7÷d$# $pk÷]ÏB $YèŠÏHsd ( $¨BÎ*sù Nä3¨YtÏ?ù'tƒ ÓÍh_ÏiB Wèd `yJsù yìÎ7s? y#yèd Ÿxsù ì$öqyz öNÍköŽn=tæ Ÿwur öNèd tbqçRtøts ÇÌÑÈ
Artinya: “Kami berfirman: "Turunlah kamu semuanya dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, Maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati". (Al-Baqarah: 38)
Dalam ayat yang mulia ini, Allah menjanjikan keselamatan dan kebahagiaan kepada seluruh manusia yang mau mengikuti dan menjalankan petunjuk ajaran Rasulullah saw. Oleh karena itu, semua permasalahan hidup, sudah seharusnya kembali kepada syari’at Islam, yang merupakan petunjuk Allah. Begitu pula dalam masalah poligami, semestinya dikembalikan kepada petunjuk dan syari’at Allah. Dan seorang muslim dilarang memilih ketentuan dan hukum yang menyelisihi syari’at Islam, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah:
$tBur tb%x. 9`ÏB÷sßJÏ9 Ÿwur >puZÏB÷sãB #sŒÎ) Ó|Ós% ª!$# ÿ¼ã&è!qßuur #·øBr& br& tbqä3tƒ ãNßgs9 äouŽzÏƒø:$# ô`ÏB öNÏd̍øBr& 3 `tBur ÄÈ÷ètƒ ©!$# ¼ã&s!qßuur ôs)sù ¨@|Ê Wx»n=|Ê $YZÎ7B ÇÌÏÈ
Artinya: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya Telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya Maka sungguhlah dia Telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36)[1]

PEMBAHASAN
A.  Pengertian dan Hukum Poligami
Kata poligami berasal dari bahasa Yunani. Secara etimologis, poligami merupakan derivasi dari kata apolus yang berarti banyak, dan gamos yang berarti istri atau pasangan. Poligami bisa dikatakan sebagai mempunyai istri lebih dari satu orang. Adapun secara terminologis, poligami dapat dipahami sebagai suatu keadaan dimana seorang suami memiliki istri lebih dari satu orang. Seorang suami yang berpoligami dapat saja beristri dua orang, tiga orang, empat orang, atau lebih dalam waktu yang bersamaan.[2]
Poligami terdiri dari kata poli dan gami. Secara etimologis, poli artinya banyak, gami artinya istri. Jadi, poligami artinya beristri banyak. Secara terminologis, poligami yaitu seorang laki-laki mempunyai lebih dari satu istri.[3]
Seseorang dikatakan melakukan poligami berdasarkan jumlah istri yang dimilikinya. Suami yang ditinggal mati istri pertamanya, kemudian menikah lagi, tidak dapat dikatakan berpoligami, karena dia hanya menikahi satu orang istri pada satu waktu.
Dalam Islam sendiri, Rasulullah mencontohkan monogami selama 26 tahun hingga Khadijah meninggal dunia. Pernikahann-pernikahan yang dilakukan setelah Khadijah meninggal, menurut banyak ulama, tidak lain karena dilatarbelakangi dari kekhususan sebab diantaranya, mempunyai maksud dan tujuan yang erat kaitannya dengan misi beliau sebagai seorang rasul, sebagai hiburan dan bantuan bagi beberapa janda, untuk memberi pertolongan dan perlindungan kepada anak-anak yatim yang kehilangan ayahnya karena syahid di medan perang, untuk memperkokoh ikatan persahabatan dan mencegah terjadinya perpecahan, serta untuk menarik suatu suku menjadi penganut agama Islam.[4]
Islam mengharamkan seorang laki-laki menikahi wanita lebih dari empat wanita dalam satu waktu. Sebab empat wanita sudah cukup, dan menikahi wanita lebih dari empat merupakan di luar ketetapan yang disyariatkan oleh Allah untuk kemaslahatan hidup berumah tangga. Sebagai landasan atas hal ini adalah firman Allah:
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz žwr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz žwr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷ƒr& 4 y7Ï9ºsŒ #oT÷Šr& žwr& (#qä9qãès? ÇÌÈ
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An-Nisa’: 3)[5]
Dan juga sebagaimana sabda Rasulullah kepada Ghai-lan bin Salamah tatkala masuk Islam sedangkan ia memiliki sepuluh orang istri:
أَمْسِكْ أَرْبَعًا وَفَارِقْ سَائِرَهُنَّ
            Artinya: “peganglah empat istri dan ceraikanlah selainnya” (Shahih Sunan Ibnu Majah 1589 dan Sunan At-Tirmidzi 1138)[6]
            Imam Syafi’i berkata, “Dalam sunnah Rasulullah sudah dijelaskan bahwa Allah melarang menikahi wanita lebih dari empat, kecuali Rasulullah
            Pendapat Syafi’i ini dikutip oleh ulama yang lain, kecuali sekelompok dari madzhab Syi’ah. Mereka berpendapat, seorang laki-laki boleh menikahi lebih dari empat orang wanita. Lebih dari itu mereka berkata, “Diperbolehkannya menikahi wanita dari empat dengan tanpa batas.”
            Pendapat yang mereka kemukakan ini disandarkan pada apa yang pernah dilakukan Rasulullah, dimana beliau menikah lebih dari empat wanita. Wanita yang dinikahi nabi sebanyak 9 orang.[7]
B.  Faktor-Faktor yang Mendorong Perlunya Poligami
Beberapa faktor yang mendorong perlunya poligami:
1.    Penyebab yang ada pada istri, misalnya sakit keras yang menyebabkan dirinya tidak mampu memenuhi kewajiban atau mandul, kurang setia, menyombongkan diri terhadap suaminya atau tidak berlaku baik kepada suaminya.
2.    Penyebab yang ada pada suami, misalnya memiliki keinginan seks yang sangat kuat sehingga tidak cukup hanya seorang istri, memiliki keinginan yang sangat besar untuk memperbanyak keturunan, atau ia sangat mencintai wanita lain.
3.    Penyebab yang bersifat sosial, misalnya ada krisis yang menimpah umat sehingga memerlukan banyak laki-laki, krisis yang menyebabkan bertambahnya wanita dibanding laki-laki.
4.    Penyebab yang berupa kejadian dan sifatnya pribadi yang menimpa keluarga seseorang, misalnya seorang mempunyai kerabat yang menjanda dengan membawa tanggungan anak yang banyak.[8]
C.  Syarat-syarat Poligami
Poligami diperbolehkan dalam Islam, namun memiliki beberapa persyaratan. Adapun syarat-syarat poligami:
1.    Wajib memberikan nafkah lahir dan batin secara merata dan adil berdasarkan sabda nabi:
مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقَّهُ مَائِلٌ
Artinya: “Siapa yang memiliki dua Istri namun dia condong kepada salah satu keduanya, maka dia datang pada hari kiamat dalam keadaan sisi badannya miring” (Shahih diriwayatkan oleh Tirmidzi 1141)[9]
2.    Kemampuan melakukan poligami, kemampuan memberi nafkah dan kemampuan menjaga kehormatan istri-istrinya
n?tãur ÏŠqä9öqpRùQ$# ¼ã&s! £`ßgè%øÍ £`åkèEuqó¡Ï.ur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ 4
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf” (QS. Al-Baqarah: 233)



D.  Adab –Adab Poligami
1.    Dengan berpoligami, seorang laki-laki janganlah menjadi lalai dalam menjalankan ketaatannya kepada Allah. Allah berfirman:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw ö/ä3Îgù=è? öNä3ä9ºuqøBr& Iwur öNà2ß»s9÷rr& `tã ̍ò2ÏŒ «!$# 4 `tBur ö@yèøÿtƒ y7Ï9ºsŒ y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbrçŽÅ£»yø9$# ÇÒÈ
Artinya: “Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. barangsiapa yang berbuat demikian Maka mereka Itulah orang-orang yang merugi.” (QS. Al-Munafiqun: 9)
2.    Seorang laki-laki dari umat nabi Muhammad tidak boleh beristri lebih dari empat dalam satu waktu.
3.    Seorang laki-laki tidak boleh memperistri dua wanita bersaudara dalam satu waktu.
4.    Boleh berbeda mahar dan walimah bagi istri-istri, yaitu nilai mahar dan besarnya walimah diantara para istri tidak harus sama.
5.    Seorang suami yang menikah lagi dengan gadis, maka dia tinggal bersamanya selama tujuh hari, kemudian melakukan giliran yang sama setelah itu. Jika yang dinikahi janda, maka dia tinggal selama tiga hari, kemudian baru melakukan giliran.
6.    Seorang wanita yang dipinang oleh seorang laki-laki yang telah beristri, tidak boleh mensyaratkan kepada laki-laki itu untuk menceraikan istrinya.
7.    Suami wajib berlaku adil dalam memberi giliran pada istri-istrinya.
8.    Suami tidak boleh berjima’ dengan istri yang bukan pemilik hak giliran, kecuali dengan izin dan ridha pemilik hak.[10]
E.  Dampak Poligami
Dampak Poligami bagi wanita:
1.    Dampak psikologis: perasaan inferior istri dan menyalahkan diri karena merasa tindakan suaminya berpoligami adalah akibat dari ketidakmampuan dirinya memenuhi kebutuhan biologis suaminya.
2.    Dampak ekonomi: Ketergantungan secara ekonomi kepada suami. Walaupun ada beberapa suami memang dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya, tetapi dalam praktiknya lebih sering ditemukan bahwa suami lebih mementingkan istri muda dan menelantarkan istri dan anak-anaknya terdahulu. Akibatnya istri yang tidak memiliki pekerjaan akan sangat kesulitan menutupi kebutuhan sehari-hari.
3.    Dampak hukum: Seringnya terjadi nikah di bawah tangan (perkawinan yang tidak dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama), khususnya bagi PNS, sehingga perkawinan dianggap tidak sah oleh negara, walaupun perkawinan tersebut sah menurut agama. Pihak perempuan akan dirugikan karena konsekuensinya suatu perkawinan dianggap tidak ada, seperti hak waris dan sebagainya.
4.    Dampak kesehatan: Kebiasaan berganti-ganti pasangan menyebabkan suami/istri menjadi rentan terhadap penyakit menular seksual (PMS). Kekerasan terhadap perempuan, baik kekerasan fisik, ekonomi, seksual maupun psikologis. Hal ini umum terjadi pada rumah tangga poligami, walaupun begitu kekerasan juga dapat terjadi pada rumah tangga yang monogami.[11]
Dampak psikologis bagi anak-anak hasil pernikahan poligami sangat buruk: merasa tersisih, tak diperhatikan, kurang kasih sayang, dan dididik dalam suasana kebencian karena konflik itu. Suami menjadi suka berbohong dan menipu karena sifat manusia yang tidak mungkin berbuat adil.
F.   Pengertian dan Hukum Poliandri
Poliandri yaitu ketika seorang perempuan dalam waktu yang bersamaan mempunyai lebih dari seorang suami. Hukum Poliandri Para ulama sepakat bahwa perkawinan dengan wanita yang sudah mempunyai suami, tidak sah dan dituntut hukum rajam jika terbukti sudah pernah berkumpul. Jadi poliandri hukumnya haram , sesuai Firman Allah[12]:
àM»oY|ÁósßJø9$#ur z`ÏB Ïä!$|¡ÏiY9$# žwÎ) $tB ôMs3n=tB öNà6ãY»yJ÷ƒr& ( |=»tGÏ. «!$# öNä3øn=tæ 4 ¨@Ïmé&ur Nä3s9 $¨B uä!#uur öNà6Ï9ºsŒ br& (#qäótFö6s? Nä3Ï9ºuqøBr'Î/ tûüÏYÅÁøtC uŽöxî šúüÅsÏÿ»|¡ãB 4 $yJsù Läê÷ètGôJtGó$# ¾ÏmÎ/ £`åk÷]ÏB £`èdqè?$t«sù  Æèduqã_é& ZpŸÒƒÌsù 4 Ÿwur yy$oYã_ öNä3øn=tæ $yJŠÏù OçF÷|ʺts? ¾ÏmÎ/ .`ÏB Ï÷èt/ ÏpŸÒƒÌxÿø9$# 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JŠÎ=tã $VJŠÅ3ym ÇËÍÈ
Artinya: “Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah Telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang Telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah Mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu Telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS.An-Nisa: 24)
Kalau kita terjun melihat kenyataan, maka kita akan menemukan sunnatullah di alam ini menetapkan bahwa peraturan perkawinan satu suami dan satu istri itu baik bagi masing-masing wanita dan pria, hanya saja ketentuan Ilahi itu membedakan antara pria dan wanita. Wanita dijadikan tidak baik untuk peraturan banyak suami, tetapi pria itu baik untuk menerima peraturan banyak istri.
Hal ini jelas, karena rahim wanita berbekas dengan masuknya benih laki-laki ke dalamnya, terjadi seperti perbuatan yang biasa. Sedang laki-laki tidak memiliki anggota yang seperti rahim itu. Sebagai konsekwensinya, tabi’at wanita bertentangan dengan sistem poligami, karena khawatir bahwa janin terjadi dari jenis yang bermacam-macam, sehingga tidak dapat dilakukan penentuan tentang siapa yang bertanggung jawab.[13]
Pelarangan, pengharaman poliandri selain dari ketentuan syar’iyah, juga diatur dalam Pasal 40 ayat (a) Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyebutkan bahwa wanita yang masih dalam ikatan perkawinan haram hukumnya melakukan perkawinan dengan laki-laki lain.
G.  Dampak Poliandri
1.    Banyaknya jumlah wanita yang tidak menikah.
2.    Wanita dapat mengalami infeksi pada rahim.
3.    Tidak ada kejelasan tentang hubungan darah antara ayah dan anak yang dihasilkan dari poliandri.






















KESIMPULAN
Setiap aturan Islam bertujuan untuk menciptakan manfaat sebesar-besarnya dan menepis bahaya. Tidak ada satu pun ketetapan hukum Ilahi yang berimplikasi buruk bagi manusia. Termasuk juga bolehnya melakukan poligami bagi kaum laki-laki, dan tidak bolehnya melakukan poliandri bagi kaum wanita.
Poligami dibolehkan dengan syarat-syarat dan adab yang telah dijelaskan. Hikmah dan dampak dibalik poligami pun telah dijelaskan dalam pembahasan ini. Berdasarkan ayat dan hadis yang shahih dinyatakan bolehnya poligami dengan batasan hanya empat orang istri saja tidak boleh lebih.
Sedangkan poliandri tidak mengandung maslahat sedikitpun. Maka para ulama sepakat melarang poliandri berdasarkan QS.An-Nisa’: 24.




















DAFTAR PUSTAKA
Al- Atsari, Abu Isma’il Muslim, “Syarat dan Adab Poligami”, (Majalah As-Sunnah Edisi 12/TahunX/1427H/2007M)
Al’Attar, Abdul Nasir Taufiq, Polygami Ditinjau dari Segi Agama, Sosial, dan Perundang-Undangan, (Jakarta: Bulan Bintang)
Al-Khalafi, ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi, Al Wajiz Panduan Fiqih Lengkap, (Bogor: Pustaka Ibnu Katsir), 2007
Al-Utsaimin, Syaikh Muhammad, Shahih Fiqih Wanita, (Jakarta: Akbar Media), 2010
Ghazaly, Abd. Rahmat, Fiqh Munakahat
Haikal, Abduttawab, Rahasia Perkawinan Rasulullah SAW., (Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya),1993
Makmun, H.A. Rodli, dkk., Poligami dalam Tafsir Muhammad Syahrur, (Ponorogo: Stain Ponorogo Press),2009
Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah, (Jakarta: Cakrawala Publishing), jilid 3, 2008

Saleh, Marhamah, “Presentasi Fiqh Poligami- Masail Fiqhiyyah: poligami, Definisi, Hukum, Syarat dan hikmahnya”,

(http://www.slideshare.net/lukmanul/presentasi-fiqh-poligami, Marhamah Saleh on Mar 18, 2010) diakses pada tanggal 17 Maret 2012

Syamhudi, Abu Asma’ Kholid, “Keindahan Poligami dalam Islam”, (Majalah As-Sunnah Edisi 12/TahunX/1427H/2007M)
Umar, Nasaruddin, Fikih Wanita untuk Semua, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta),2010

 



       [1] Abu Asma’ Kholid Syamhudi, Keindahan Poligami dalam Islam, (Majalah As-Sunnah Edisi 12/TahunX/1427H/2007M), hlm.22
       [2] Drs. H.A. Rodli Makmun, dkk., Poligami dalam Tafsir Muhammad Syahrur, (Ponorogo: Stain Ponorogo Press),2009, hlm.15
       [3] Dr. H. Abd. Rahmat Ghazaly, M.A,Fiqh Munakahat. Hlm. 129
       [4] Prof. Dr. Nasaruddin Umar, M.A., Fikih Wanita untuk Semua, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta),2010, hlm.96
       [5] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Jakarta: Cakrawala Publishing), jilid 3, 2008, hlm.344
       [6] ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al Wajiz Panduan Fiqih Lengkap, (Bogor: Pustaka Ibnu Katsir), 2007, hlm475
       [7] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah,... hlm. 346
       [8] Abduttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rasulullah SAW, (Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya),1993, hlm 57
       [9] Syaikh Muhammad Al-Utsaimin, Shahih Fiqih Wanita, (Jakarta: Akbar Media), 2010, hlm.336
       [10] Abu Isma’il Muslim Al- Atsari,”Syarat dan Adab Poligami”, (Majalah As-Sunnah Edisi 12/TahunX/1427H/2007M), hlm.29

       [11] Hj. Marhamah Saleh, Lc. MA., “Presentasi Fiqh Poligami- Masail Fiqhiyyah: Poligami, Definisi, Hukum, Syarat dan Hikmahnya”, (http://www.slideshare.net/lukmanul/presentasi-fiqh-poligami, Marhamah Saleh on Mar 18, 2010) diakses pada tanggal 17 Maret 2012

       [12] Hj. Marhamah Saleh, Lc. MA., “Presentasi Fiqh Poligami- Masail Fiqhiyyah: Poligami, Definisi, Hukum, Syarat dan Hikmahnya”, (http://www.slideshare.net/lukmanul/presentasi-fiqh-poligami, Marhamah Saleh on Mar 18, 2010) diakses pada tanggal 17 Maret 2012

       [13] DR. Abdul Nasir Taufiq Al’Attar, Polygami Ditinjau dari Segi Agama, Sosial, dan Perundang-Undangan, (Jakarta: Bulan Bintang), hlm. 17