Selasa, 17 April 2012

poligami dan poliandri

PENDAHULUAN
            Kesempurnaan Islam adalah satu kepastian yang wajib diimani seorang muslim. Karena syariat Islam telah mengatur semua sisi kehidupan manusia menuju kebahagiaan hakiki. Dengan ajaran Islam, maka seorang muslim dapat meraih keselamatan dan kebahagiaan di dunia maupun di akhirat.
Allah swt berfirman:
$oYù=è% (#qäÜÎ7÷d$# $pk÷]ÏB $YèŠÏHsd ( $¨BÎ*sù Nä3¨YtÏ?ù'tƒ ÓÍh_ÏiB Wèd `yJsù yìÎ7s? y#yèd Ÿxsù ì$öqyz öNÍköŽn=tæ Ÿwur öNèd tbqçRtøts ÇÌÑÈ
Artinya: “Kami berfirman: "Turunlah kamu semuanya dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, Maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati". (Al-Baqarah: 38)
Dalam ayat yang mulia ini, Allah menjanjikan keselamatan dan kebahagiaan kepada seluruh manusia yang mau mengikuti dan menjalankan petunjuk ajaran Rasulullah saw. Oleh karena itu, semua permasalahan hidup, sudah seharusnya kembali kepada syari’at Islam, yang merupakan petunjuk Allah. Begitu pula dalam masalah poligami, semestinya dikembalikan kepada petunjuk dan syari’at Allah. Dan seorang muslim dilarang memilih ketentuan dan hukum yang menyelisihi syari’at Islam, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah:
$tBur tb%x. 9`ÏB÷sßJÏ9 Ÿwur >puZÏB÷sãB #sŒÎ) Ó|Ós% ª!$# ÿ¼ã&è!qßuur #·øBr& br& tbqä3tƒ ãNßgs9 äouŽzÏƒø:$# ô`ÏB öNÏd̍øBr& 3 `tBur ÄÈ÷ètƒ ©!$# ¼ã&s!qßuur ôs)sù ¨@|Ê Wx»n=|Ê $YZÎ7B ÇÌÏÈ
Artinya: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya Telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya Maka sungguhlah dia Telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36)[1]

PEMBAHASAN
A.  Pengertian dan Hukum Poligami
Kata poligami berasal dari bahasa Yunani. Secara etimologis, poligami merupakan derivasi dari kata apolus yang berarti banyak, dan gamos yang berarti istri atau pasangan. Poligami bisa dikatakan sebagai mempunyai istri lebih dari satu orang. Adapun secara terminologis, poligami dapat dipahami sebagai suatu keadaan dimana seorang suami memiliki istri lebih dari satu orang. Seorang suami yang berpoligami dapat saja beristri dua orang, tiga orang, empat orang, atau lebih dalam waktu yang bersamaan.[2]
Poligami terdiri dari kata poli dan gami. Secara etimologis, poli artinya banyak, gami artinya istri. Jadi, poligami artinya beristri banyak. Secara terminologis, poligami yaitu seorang laki-laki mempunyai lebih dari satu istri.[3]
Seseorang dikatakan melakukan poligami berdasarkan jumlah istri yang dimilikinya. Suami yang ditinggal mati istri pertamanya, kemudian menikah lagi, tidak dapat dikatakan berpoligami, karena dia hanya menikahi satu orang istri pada satu waktu.
Dalam Islam sendiri, Rasulullah mencontohkan monogami selama 26 tahun hingga Khadijah meninggal dunia. Pernikahann-pernikahan yang dilakukan setelah Khadijah meninggal, menurut banyak ulama, tidak lain karena dilatarbelakangi dari kekhususan sebab diantaranya, mempunyai maksud dan tujuan yang erat kaitannya dengan misi beliau sebagai seorang rasul, sebagai hiburan dan bantuan bagi beberapa janda, untuk memberi pertolongan dan perlindungan kepada anak-anak yatim yang kehilangan ayahnya karena syahid di medan perang, untuk memperkokoh ikatan persahabatan dan mencegah terjadinya perpecahan, serta untuk menarik suatu suku menjadi penganut agama Islam.[4]
Islam mengharamkan seorang laki-laki menikahi wanita lebih dari empat wanita dalam satu waktu. Sebab empat wanita sudah cukup, dan menikahi wanita lebih dari empat merupakan di luar ketetapan yang disyariatkan oleh Allah untuk kemaslahatan hidup berumah tangga. Sebagai landasan atas hal ini adalah firman Allah:
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz žwr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz žwr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷ƒr& 4 y7Ï9ºsŒ #oT÷Šr& žwr& (#qä9qãès? ÇÌÈ
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An-Nisa’: 3)[5]
Dan juga sebagaimana sabda Rasulullah kepada Ghai-lan bin Salamah tatkala masuk Islam sedangkan ia memiliki sepuluh orang istri:
أَمْسِكْ أَرْبَعًا وَفَارِقْ سَائِرَهُنَّ
            Artinya: “peganglah empat istri dan ceraikanlah selainnya” (Shahih Sunan Ibnu Majah 1589 dan Sunan At-Tirmidzi 1138)[6]
            Imam Syafi’i berkata, “Dalam sunnah Rasulullah sudah dijelaskan bahwa Allah melarang menikahi wanita lebih dari empat, kecuali Rasulullah
            Pendapat Syafi’i ini dikutip oleh ulama yang lain, kecuali sekelompok dari madzhab Syi’ah. Mereka berpendapat, seorang laki-laki boleh menikahi lebih dari empat orang wanita. Lebih dari itu mereka berkata, “Diperbolehkannya menikahi wanita dari empat dengan tanpa batas.”
            Pendapat yang mereka kemukakan ini disandarkan pada apa yang pernah dilakukan Rasulullah, dimana beliau menikah lebih dari empat wanita. Wanita yang dinikahi nabi sebanyak 9 orang.[7]
B.  Faktor-Faktor yang Mendorong Perlunya Poligami
Beberapa faktor yang mendorong perlunya poligami:
1.    Penyebab yang ada pada istri, misalnya sakit keras yang menyebabkan dirinya tidak mampu memenuhi kewajiban atau mandul, kurang setia, menyombongkan diri terhadap suaminya atau tidak berlaku baik kepada suaminya.
2.    Penyebab yang ada pada suami, misalnya memiliki keinginan seks yang sangat kuat sehingga tidak cukup hanya seorang istri, memiliki keinginan yang sangat besar untuk memperbanyak keturunan, atau ia sangat mencintai wanita lain.
3.    Penyebab yang bersifat sosial, misalnya ada krisis yang menimpah umat sehingga memerlukan banyak laki-laki, krisis yang menyebabkan bertambahnya wanita dibanding laki-laki.
4.    Penyebab yang berupa kejadian dan sifatnya pribadi yang menimpa keluarga seseorang, misalnya seorang mempunyai kerabat yang menjanda dengan membawa tanggungan anak yang banyak.[8]
C.  Syarat-syarat Poligami
Poligami diperbolehkan dalam Islam, namun memiliki beberapa persyaratan. Adapun syarat-syarat poligami:
1.    Wajib memberikan nafkah lahir dan batin secara merata dan adil berdasarkan sabda nabi:
مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقَّهُ مَائِلٌ
Artinya: “Siapa yang memiliki dua Istri namun dia condong kepada salah satu keduanya, maka dia datang pada hari kiamat dalam keadaan sisi badannya miring” (Shahih diriwayatkan oleh Tirmidzi 1141)[9]
2.    Kemampuan melakukan poligami, kemampuan memberi nafkah dan kemampuan menjaga kehormatan istri-istrinya
n?tãur ÏŠqä9öqpRùQ$# ¼ã&s! £`ßgè%øÍ £`åkèEuqó¡Ï.ur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ 4
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf” (QS. Al-Baqarah: 233)



D.  Adab –Adab Poligami
1.    Dengan berpoligami, seorang laki-laki janganlah menjadi lalai dalam menjalankan ketaatannya kepada Allah. Allah berfirman:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw ö/ä3Îgù=è? öNä3ä9ºuqøBr& Iwur öNà2ß»s9÷rr& `tã ̍ò2ÏŒ «!$# 4 `tBur ö@yèøÿtƒ y7Ï9ºsŒ y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbrçŽÅ£»yø9$# ÇÒÈ
Artinya: “Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. barangsiapa yang berbuat demikian Maka mereka Itulah orang-orang yang merugi.” (QS. Al-Munafiqun: 9)
2.    Seorang laki-laki dari umat nabi Muhammad tidak boleh beristri lebih dari empat dalam satu waktu.
3.    Seorang laki-laki tidak boleh memperistri dua wanita bersaudara dalam satu waktu.
4.    Boleh berbeda mahar dan walimah bagi istri-istri, yaitu nilai mahar dan besarnya walimah diantara para istri tidak harus sama.
5.    Seorang suami yang menikah lagi dengan gadis, maka dia tinggal bersamanya selama tujuh hari, kemudian melakukan giliran yang sama setelah itu. Jika yang dinikahi janda, maka dia tinggal selama tiga hari, kemudian baru melakukan giliran.
6.    Seorang wanita yang dipinang oleh seorang laki-laki yang telah beristri, tidak boleh mensyaratkan kepada laki-laki itu untuk menceraikan istrinya.
7.    Suami wajib berlaku adil dalam memberi giliran pada istri-istrinya.
8.    Suami tidak boleh berjima’ dengan istri yang bukan pemilik hak giliran, kecuali dengan izin dan ridha pemilik hak.[10]
E.  Dampak Poligami
Dampak Poligami bagi wanita:
1.    Dampak psikologis: perasaan inferior istri dan menyalahkan diri karena merasa tindakan suaminya berpoligami adalah akibat dari ketidakmampuan dirinya memenuhi kebutuhan biologis suaminya.
2.    Dampak ekonomi: Ketergantungan secara ekonomi kepada suami. Walaupun ada beberapa suami memang dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya, tetapi dalam praktiknya lebih sering ditemukan bahwa suami lebih mementingkan istri muda dan menelantarkan istri dan anak-anaknya terdahulu. Akibatnya istri yang tidak memiliki pekerjaan akan sangat kesulitan menutupi kebutuhan sehari-hari.
3.    Dampak hukum: Seringnya terjadi nikah di bawah tangan (perkawinan yang tidak dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama), khususnya bagi PNS, sehingga perkawinan dianggap tidak sah oleh negara, walaupun perkawinan tersebut sah menurut agama. Pihak perempuan akan dirugikan karena konsekuensinya suatu perkawinan dianggap tidak ada, seperti hak waris dan sebagainya.
4.    Dampak kesehatan: Kebiasaan berganti-ganti pasangan menyebabkan suami/istri menjadi rentan terhadap penyakit menular seksual (PMS). Kekerasan terhadap perempuan, baik kekerasan fisik, ekonomi, seksual maupun psikologis. Hal ini umum terjadi pada rumah tangga poligami, walaupun begitu kekerasan juga dapat terjadi pada rumah tangga yang monogami.[11]
Dampak psikologis bagi anak-anak hasil pernikahan poligami sangat buruk: merasa tersisih, tak diperhatikan, kurang kasih sayang, dan dididik dalam suasana kebencian karena konflik itu. Suami menjadi suka berbohong dan menipu karena sifat manusia yang tidak mungkin berbuat adil.
F.   Pengertian dan Hukum Poliandri
Poliandri yaitu ketika seorang perempuan dalam waktu yang bersamaan mempunyai lebih dari seorang suami. Hukum Poliandri Para ulama sepakat bahwa perkawinan dengan wanita yang sudah mempunyai suami, tidak sah dan dituntut hukum rajam jika terbukti sudah pernah berkumpul. Jadi poliandri hukumnya haram , sesuai Firman Allah[12]:
àM»oY|ÁósßJø9$#ur z`ÏB Ïä!$|¡ÏiY9$# žwÎ) $tB ôMs3n=tB öNà6ãY»yJ÷ƒr& ( |=»tGÏ. «!$# öNä3øn=tæ 4 ¨@Ïmé&ur Nä3s9 $¨B uä!#uur öNà6Ï9ºsŒ br& (#qäótFö6s? Nä3Ï9ºuqøBr'Î/ tûüÏYÅÁøtC uŽöxî šúüÅsÏÿ»|¡ãB 4 $yJsù Läê÷ètGôJtGó$# ¾ÏmÎ/ £`åk÷]ÏB £`èdqè?$t«sù  Æèduqã_é& ZpŸÒƒÌsù 4 Ÿwur yy$oYã_ öNä3øn=tæ $yJŠÏù OçF÷|ʺts? ¾ÏmÎ/ .`ÏB Ï÷èt/ ÏpŸÒƒÌxÿø9$# 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JŠÎ=tã $VJŠÅ3ym ÇËÍÈ
Artinya: “Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah Telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang Telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah Mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu Telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS.An-Nisa: 24)
Kalau kita terjun melihat kenyataan, maka kita akan menemukan sunnatullah di alam ini menetapkan bahwa peraturan perkawinan satu suami dan satu istri itu baik bagi masing-masing wanita dan pria, hanya saja ketentuan Ilahi itu membedakan antara pria dan wanita. Wanita dijadikan tidak baik untuk peraturan banyak suami, tetapi pria itu baik untuk menerima peraturan banyak istri.
Hal ini jelas, karena rahim wanita berbekas dengan masuknya benih laki-laki ke dalamnya, terjadi seperti perbuatan yang biasa. Sedang laki-laki tidak memiliki anggota yang seperti rahim itu. Sebagai konsekwensinya, tabi’at wanita bertentangan dengan sistem poligami, karena khawatir bahwa janin terjadi dari jenis yang bermacam-macam, sehingga tidak dapat dilakukan penentuan tentang siapa yang bertanggung jawab.[13]
Pelarangan, pengharaman poliandri selain dari ketentuan syar’iyah, juga diatur dalam Pasal 40 ayat (a) Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyebutkan bahwa wanita yang masih dalam ikatan perkawinan haram hukumnya melakukan perkawinan dengan laki-laki lain.
G.  Dampak Poliandri
1.    Banyaknya jumlah wanita yang tidak menikah.
2.    Wanita dapat mengalami infeksi pada rahim.
3.    Tidak ada kejelasan tentang hubungan darah antara ayah dan anak yang dihasilkan dari poliandri.






















KESIMPULAN
Setiap aturan Islam bertujuan untuk menciptakan manfaat sebesar-besarnya dan menepis bahaya. Tidak ada satu pun ketetapan hukum Ilahi yang berimplikasi buruk bagi manusia. Termasuk juga bolehnya melakukan poligami bagi kaum laki-laki, dan tidak bolehnya melakukan poliandri bagi kaum wanita.
Poligami dibolehkan dengan syarat-syarat dan adab yang telah dijelaskan. Hikmah dan dampak dibalik poligami pun telah dijelaskan dalam pembahasan ini. Berdasarkan ayat dan hadis yang shahih dinyatakan bolehnya poligami dengan batasan hanya empat orang istri saja tidak boleh lebih.
Sedangkan poliandri tidak mengandung maslahat sedikitpun. Maka para ulama sepakat melarang poliandri berdasarkan QS.An-Nisa’: 24.




















DAFTAR PUSTAKA
Al- Atsari, Abu Isma’il Muslim, “Syarat dan Adab Poligami”, (Majalah As-Sunnah Edisi 12/TahunX/1427H/2007M)
Al’Attar, Abdul Nasir Taufiq, Polygami Ditinjau dari Segi Agama, Sosial, dan Perundang-Undangan, (Jakarta: Bulan Bintang)
Al-Khalafi, ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi, Al Wajiz Panduan Fiqih Lengkap, (Bogor: Pustaka Ibnu Katsir), 2007
Al-Utsaimin, Syaikh Muhammad, Shahih Fiqih Wanita, (Jakarta: Akbar Media), 2010
Ghazaly, Abd. Rahmat, Fiqh Munakahat
Haikal, Abduttawab, Rahasia Perkawinan Rasulullah SAW., (Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya),1993
Makmun, H.A. Rodli, dkk., Poligami dalam Tafsir Muhammad Syahrur, (Ponorogo: Stain Ponorogo Press),2009
Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah, (Jakarta: Cakrawala Publishing), jilid 3, 2008

Saleh, Marhamah, “Presentasi Fiqh Poligami- Masail Fiqhiyyah: poligami, Definisi, Hukum, Syarat dan hikmahnya”,

(http://www.slideshare.net/lukmanul/presentasi-fiqh-poligami, Marhamah Saleh on Mar 18, 2010) diakses pada tanggal 17 Maret 2012

Syamhudi, Abu Asma’ Kholid, “Keindahan Poligami dalam Islam”, (Majalah As-Sunnah Edisi 12/TahunX/1427H/2007M)
Umar, Nasaruddin, Fikih Wanita untuk Semua, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta),2010

 



       [1] Abu Asma’ Kholid Syamhudi, Keindahan Poligami dalam Islam, (Majalah As-Sunnah Edisi 12/TahunX/1427H/2007M), hlm.22
       [2] Drs. H.A. Rodli Makmun, dkk., Poligami dalam Tafsir Muhammad Syahrur, (Ponorogo: Stain Ponorogo Press),2009, hlm.15
       [3] Dr. H. Abd. Rahmat Ghazaly, M.A,Fiqh Munakahat. Hlm. 129
       [4] Prof. Dr. Nasaruddin Umar, M.A., Fikih Wanita untuk Semua, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta),2010, hlm.96
       [5] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Jakarta: Cakrawala Publishing), jilid 3, 2008, hlm.344
       [6] ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al Wajiz Panduan Fiqih Lengkap, (Bogor: Pustaka Ibnu Katsir), 2007, hlm475
       [7] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah,... hlm. 346
       [8] Abduttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rasulullah SAW, (Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya),1993, hlm 57
       [9] Syaikh Muhammad Al-Utsaimin, Shahih Fiqih Wanita, (Jakarta: Akbar Media), 2010, hlm.336
       [10] Abu Isma’il Muslim Al- Atsari,”Syarat dan Adab Poligami”, (Majalah As-Sunnah Edisi 12/TahunX/1427H/2007M), hlm.29

       [11] Hj. Marhamah Saleh, Lc. MA., “Presentasi Fiqh Poligami- Masail Fiqhiyyah: Poligami, Definisi, Hukum, Syarat dan Hikmahnya”, (http://www.slideshare.net/lukmanul/presentasi-fiqh-poligami, Marhamah Saleh on Mar 18, 2010) diakses pada tanggal 17 Maret 2012

       [12] Hj. Marhamah Saleh, Lc. MA., “Presentasi Fiqh Poligami- Masail Fiqhiyyah: Poligami, Definisi, Hukum, Syarat dan Hikmahnya”, (http://www.slideshare.net/lukmanul/presentasi-fiqh-poligami, Marhamah Saleh on Mar 18, 2010) diakses pada tanggal 17 Maret 2012

       [13] DR. Abdul Nasir Taufiq Al’Attar, Polygami Ditinjau dari Segi Agama, Sosial, dan Perundang-Undangan, (Jakarta: Bulan Bintang), hlm. 17