Selasa, 17 April 2012

ahmad khatib minangkabau dan ahmad khatib sambas

PENDAHULUAN
Peranan ulama yang berasal dari dunia Melayu yang menimba ilmu dan menetap di Mekah dan memiliki murid-murid yang berguru kepadanya, sudah berjalan begitu lama dan bersambung dari pada satu generasi ke generasi berikutnya.
Sebagai salah satu contoh ulama besar yang menetap di Mekkah untuk  dan membawa pengaruh besar bagi Indonesia adalah Ahmad Khatib Minangkabau dan Ahmad Khatib Sambas. Kedua ulama tersebut tidak saja mengangkat citra bangsa Indonesia di mata dunia dalam bidang ilmu ke-Islaman, tetapi tidak sedikit pula mendidik murid-muridnya yang menjadi ulama berpengaruh dan berkontribusi besar bagi Indonesia.
Kedua ulama tersebut yaitu Ahmad Khatib Minangkabau dan Ahmad Khatib Sambas secara tidak langsung memberi peranan serta kontribusi pembaharuan didalam dunia islam khususnya di Indonesia, banyak gagasan/ pembaharuan yang dilakukan kedua ulama tersebut yang banyak berkembang di Indonesia.
Banyak dari murid-muridnya yang menjadi tokoh sentral dan penting yang tersebar di beberapa daerah di Indonesia, contohnya di pulau Jawa ada KH. Hasyim Asyari dan KH. Ahmad Dahlan yang menjadi tokoh pendiri Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah sebuah organisasi Islam yang besar di negri ini.
PEMBAHASAN
1.    Ahmad Khatib Minangkabau

a.      Latar belakang kehidupan
Ahmad Khatib Minangkabau dilahirkan di kota Bukit tinggi, Sumatra Barat. Terdapat dua pendapat mengenai tahun kelahiranya. Menurut Prof. Dr. Hamka, Ahmad Khatib lahir tahun 1276 H/1860 M, sedangkan menurut Deliar Noer, seorang cendekiawan Islam adalah tahun 1855 M. Ayahnya bernama Abdul Latif. Dari pihak ayah, Ahamad Khatib Minangkabau berkeponakan dengan Agus Salim. Ibu Ahamad Khatib adalah Limbak Urai, anak Tuanku Nan Renceh, seorang Ulama Paderi terkemuka. Dari pihak ibu Ahmad Khatib Minangkabau adalah adik dari Ibu Syekh Taher Jalaluddin. Dilihat dari keturunan ayah dan ibunya, Ahmad Khatib Minang Kabau terhitung datang dari keluarga yang terpandang di Minag Kabau pada zamanya.[1]
Ia berasal dari keluarga yang beragama dan sekaligus kuat berpegang pada adat. Sejak Ahmad Khatib Minangkabau berumur sebelas tahun ia telah dibawa Ayahnya belajar ke Mekkah. Setelah lama menetap dan belajar di Mekkah serta karena kehalusan budi bahasa dan penguasaan pengetahuan agamanya, namanya mulai terkenal di masyarakat Mekkah. Atas dasar ini kemudian ia dijadikan menantu oleh seorang saudagar di Mekkah, Syeh Saleh Kurdi seorang pedagang dan penyalur kitab-kitab keagamaan. Ia dinikahkan dengan anaknya yang bernama Khadijah.[2]
Rupanya, Syekh saleh kurdi seorang saudagar yang bermazhab syafi’I ini mempunyai hubungan dengan pemerintah kerajaan Arab Saudi di Mekkah. Oleh karna itu tidak mengherankan, bila Ahmad Khatib Minangkabau diperkenalkan dengan keluarga istana, lebih lanjut, Raja merasa Ahmad Khatib Minangkabau aadalah seorang pemuda yang pandai, latar belakang inilah yang kemudian menempatkan Ahmad Khatib Minangkabau kedalam jabatan imam dan guru besar dalam mazhab syafi’I di mesjid al-Haram, Mekkah.
Syekh Ahmad Khatib adalah seorang ulama besar yang mengajar di masjidil Haram, Ahmad Khatib adalah putra minang kabau yang berjuang di Mekkah untuk bangsa Indonesia. Tidak sedikit murid-muridnya yang menjadi ulama dan pejuang kemerdekaan di Indonesia, terutama ulama-ulama Islam yang ada di Minangkabau semua bekas muridnya.[3]
Selain itu, Ahmad Khatib Minangkabau terkenal cukup produktif, ia menulis bukan saja dalam bahasa arab, melainkan juga dalam bahasa melayu sebagai bahasa ibunya. Karya-karyanya banyak diterbitkan dengan bantuan dana dari mertuanya selaku distributor kitab keagamaan.
Walaupun Ahmad Khatib Minangkabau tidak sempat kembali lagi ke tanah airnya, ia tetap termasuk salah seorang tokoh pembaharu di Sumatra Barat. Pikiran-pikirannya disebarluaskan ke tanah air baik melalui buku-bukunya maupun melalui mereka yang datang ke Mekkah untuk beribadah haji dan kemudian menyempatkan diri belajar kepadanya. Diantara murid-murid muridnya adalah : yang berasal dari daerah minang kabau, Syekh Muhammad Jamil Jambek, Haji Abdul Karim Amrullah, haji Abdulah Ahmad. Yang berasal dari luar minang kabau :  Syekh Muhammad Nur, Syekh hasan ma’asum, syekh Muhammad saleh, syekh Muhammad zain. Adapun yang berasal dari jawa yaitu kiai Haji Hasyim Asyari pendiri pesanteren tebu ireng, yang kemudian menjadi pemimpin Nahdatul Ulama (NU). Dan Ahmad Khatib Minangkabau meninggal pada 1916 (1334 H).[4]
b.   Pemikiran dan Implikasinya
1. Ahmad Khatib Minangkabau menentang Tarekat
Ahmad Khatib menulis buku untuk menentang tarekat Naqsyabandiyah, diantara buku yang terkenal adalah Izhar Zagli al-Kazibin fi Tasyabbuhihim bi as-Sadiqin, yang dicetak tahun 1324 H di Padang. kemudian dicetak ulang pada tahun 1326 H/ 1908 M. Yang Merupakan sanggahan terhadap tarekat Naqsyabandiyah yang berkembang di Minangkabau kala itu.
Kitab tersebut mengundang kemarahan seluruh penganut tarekat Naqsyabandiyah dan penganut tarekat yang lainnya. Syekh Muhammad Sa’ad Mungka (salah seorang ulama dari penganut terekat Naqsyabandiyah) menanggapi karya Ahmad Khatib Minang Kabau dengan bukunya yang berjudul Irghamu unufi muta’annitin fi inkarihim rabithatil washilin. Dengan terbitnya buku Syekh Muhammad  Sa’ad Mungka, Ahmad Khatib Minang Kabawi kemudian menyanggahnya kembali dengan buku keduanya yang berjudul al-Ayat al-Bayyinah li al-Munsifin fi Izalah Khurafat Ba’da al-Muta’assibin. Yang mempertahankan fatwanya tentang Tarekat Naqsyabandiyah dan menolak segala sanggahan terhadap buku pertama di atas.
2. Kritik terhadap Adat Minangkabau
Dalam adat Minangkabau pembagian harta pusaka berdasarkan matrilineal (menurut garis ibu), pembagian harta pusaka menurut garis matrilineal sangat keras dilarang oleh Syaikh Ahmad Khatib Minang Kabau. Sekalipun kedudukannya disini memang sama sekali tidak berbeda dari kitab fiqih dan ulama lain, namun cara menulis dan mengajarnya lebih keras, tajam dan polemis. Pada tahun 1891 M, dia menerbitkan buku kecil dibidang waris dalam bahasa Arab dengan judul al-da’l al-masmu’ fil radd ‘ala yuwaritsu al-ikhwah wa awlad al-akhwat ma’a wujud al-usul wal furu’ dua tahun kemudian dia menulis uraian lebih panjang, dalam bahasa Melayu, dengan judul al-manhaj al-masruq.
Buku ini mengkritisi sistem matrilineal dalam masyarakat Minangkabau sehingga membuat kalangan pegawai kolonial pada waktu itu resah dan terjadi perdebatan, apakah buku ini harus dilarang atau tidak. Ada yang berpendapat bahwa dengan adanya kitab ini akan menimbulkan pertentangan lebih tajam antara kaum ulama dan kaum adat di Minangkabau.
3. Ahli Ilmu Hitung dan Hisab
Selain ahli dalam bidang fiqih, Ahmad Khatib Minangkabau juga ahli dalam bidang ilmu hitung dan hisab. Salah satu bukunya dalam bidang ilmu hitung adalah Rauda al-khusab fi ilmi al-hisab, yang membahas tentang ilmu hitung dan ilmu ukur, terutama sebagai ilmu Bantu dalam hukum Islam, sedangkan kitabnya yang berjudul al-Jawahir nakkiyah fi a’mal al-Jaibiyah merupakan buku pedoman untuk pengetahuan tentang pertanggal.
4. Karya-karya Ahmad Khatib Minangkabau
Ahmad khatib Minangkabau merupakan ulama yang produktif yang telah menghasilkan buku dalam berbagai bidang keilmuan. Diantara karyanya adalah An- Nafahat (ilmu usul fiqh), Al-Khutat Al-Mardiyyah (tentantag niat), Suhl al-Jamaatain (tentang sholat jum’at), Ikna an-Nufus (tentang zaakat), Rauda al-khusab fi ilmi al-hisab (tentang hisab). dan al-Jawahir an-nakiyah fi al-a’mal al-jaibiyah (tentang ilmu hukum dan hisab).[5]
Bukunya yang lain berjudul al anan fi al radd ala risalah kafi al awam ngan al haou fi syarekat islam yang diterbitkan di Mesir pada tahun 1332 H buku ini ditulis untuk membela pendirian syarekat islam dan membantah segala tuduhan Syekh Hasim bin Muhamad Asy’ari al Jombani yang isi menghalangi masyarakat untuk masuk syarekat islam. Tulisan Ahmad katib yang lain berjudul irsyad al hayaro fi izalah ba’d syibh an nasara (1312 H) buku ini berisi tentang penolakan terhadap tuduhan orang-orang Nasrani atas Islam. Buku yang senada juga di tulis dengan judul dau as siraj.
2.    Ahmad Khatib Sambas
a.      Latar belakang kehidupan
Nama Lengkapnya adalah Ahmad Khatib Sambas bin Abd al-Ghaffar al­Sambasi al-Jawi. la di lahirkan di kampung Dagang atau Kampung Asam, Sambas, Kalimantan Barat pada 1217 H/1802 M. Setelah mendapatkan pendidikan agama di kampung halamannya, ia tinggal di Mekkah pada usia 19 untuk memperdalam ilmu agama dan menetap di sana. Ia menetap di Mekkah hingga akhir hayatnya. Di sana ia belajar sejumlah ilmu pengetahuan agama, termasuk sufisme. Dan ia pun herhasil mendapatkan kedudukan terhormat di antara teman-teman sezamannya hingga akhirnya ajarannya berpengaruh kuat hingga sampai ke Indonesia.[6]
Ketika usianya meningkat dewasa, Ahmad Khatib Sambas berangkat menuju tanah suci disamping untuk menunaikan ibadah haji, juga untuk menuntut ilmu agama. Namun ketika ia mencoba belajar di halaqah yang ada di mesjid al-Haram ketika itu, guru-guru yang ada disana menolaknya, karena ia dianggap tidak mampu untuk mengikuti pelajaran. Betapa kecewanya Ahmad Khatib Sambas mendapat perlakuan seperti itu. Peristiwa tersebut dilihat oleh Syekh Daud bin Abdullah al-Fatani yang kemudian membawanya untuk tinggal dan belajar bersamanya, yang ternyata otak pemuda Ahmad Khatib Sambas amat cerdas.
Setelah berguru dan belajar dengan Syekh Daud bin Abdullah al-Fatani, ia kemudian menuntut ilmu kepada Syekh Syamsuddin, yaitu salah seorang ulama yang dianggap besar dalam tarekat Syattariyah. Kecerdasan dan keikhlasan serta tawadhu membuat Ahmad Khatib Sambas menerima posisi yang tertinggi diantara murid-murid Syekh Syamsuddin. Ia diangkat sebagai Syekh Mursyid Kamil Mukamil, dan berperan menggantikan Syekh Syamsuddin dalam mengajarkan tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah. Karya utama dan satu-satunya yang sampai ketangan generasi sekarang adalah buku yang berjudul Fath al-Arifin buku yang berisi tuntunan pelaksanaan zikir dalam tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah.[7]
Hurgronje mengakui bahwa sambas adalah ulama yang andal, unggul di dalam tiap-tiap cabang pengetahuan Islam dan ia dikenal secara baik di Indonesia sebagai pendiri tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah. Dimana tarekat ini berperan sebagai sarana dalam penyebaran islam  di seluruh Indonesia dan dunia melayu diparuh kedua abad ke-19.[8]
B. Pemikiran dan Implikasinya
Dalam prosedur berdzikir Ahmad Khatib Sambas mengenalkan Dzikir negasi dan afirmasi (Dzikr al-Nafy wa al-Ithbat) sebagaimana yang dipraktekkan dalam tarekat Qadiriyyah. Selain itu, ia juga melakukan sedikit perubahan dari praktek Qadiriyya pada umumnya yang diadopsinya dari konsep Naqsabandiyah tentang lima Lathaif. Sedangkan pengaruh lain dari Naqsabandiyya dapat dilihat dalam praktek visualisasi rabitha, baik sebelum rnaupun sesudah dzikir dilaksanakan. Selain itu, jika Dzikir dalam tarekat Naqsabandiyya biasanya dipraktekkan secara samar, dan dalam Qadiriyyah diucapkan dengan suara yang keras maka Syeikh Khatib Sambas mengajarkan kedua cara dzikir ini.
1.      Prosedur Pembai’atan dalam tarekat
Dalam prosesi pembai’atan seorang yang akan memasuki tarekat Qadariyah dan Naqsyabandiyah, seorang Syekh harus membaca bacaan yang khusus bagi pengikut tarekat Qadariyah dan Naqsyabandiyah. Dan diteruskan dengan membaca surah al-Fatihah yang dihadiahkan kepada Rasulullah SAW, sahabat-sahabatnya, seluruh Silsilah tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah, khususnya kepada Sultan Auliya’ Syeikh Abd al-Qadir al-Jailani dan Sayyid Tha’ifa al-Sufiyya, Syeikh Junayd al-Baghdadi. Selanjutnya Syekh berdo’a untuk murid tersebut dengan harapan semoga sang murid mendapatkan kemudahan.
2.      Sepuluh Latha’if (sesuatu yang Halus)
Setelah menjelaskan prosedur dan tata cara pembai’atan terhadap seseorang yang ingin memasuki Tarekat Qadiriyah dan Naqsabandiyya, Syekh Ahmad Khatib Sambas kemudian menjelaskan bahwa manusia terdiri dari sepuluh Latha’if. Lima Latha’if yang pertama disebut sebagai alam al-Amr (alam perintah). Kelima Latu’if tersebut antara lain: Lathifa al-Qalbi (halus hati), Lathifa al-Ruh (halus ruh), Lathifa al-Sirr (halus rahasia), Lathifa al-Khafi (halus rahasia) dan Lathifa ul-Akhfa (halus yang paling tersembunyi). Sementara lima Latha’if seterusnya disebut sebagai ‘alum al-khalq (alam ciptaan) yang meliputi; Lathifa al-Nafs dan al-’anaasir al-arba’a (unsur yang empat) yakni air, udara, api dan tanah. Selanjutnya Syeikh Sambas menentukan bahwa Lathifa al-Nafs bertempat di dalam dahi dan tempurung kepala.
3.      Tata Cara Beramal (membaca Dzikir)
Setetelah menjelaskan sepuluh Latha’if, Syeikh Sambas melanjutkan dengan petunjuk tata cara beramal (baca dzikir) sebagaimana berikut ;
Astagfirulloh Ghofururrohim, Allahumma Sholli Alaa sayyidina Muhammad wa sahbihii wassallam Laa ilaaha illa Allah.
Cara membaca kalimat laa ilaaha illa Allah dimulai dari menarik nafas panjang sambil membaca “Laa” dari pusat ke otak. Lalu membaca “Illa hu” ke arah kanan kemudian dilanjutkan dengan kalimat “Illa alloh” ke dalam hati seraya mengingat maknanya. Inilah yang disebut dengan dzikir Nafy wa Ithbat yang dapat dilakukan baik dengan nyaring (zihar) atau di dalam hati (sirr).
Setelah selesai berzikir diteruskan dengan membaca solawat Munjiyat sebagaimana berikut :
Allahumma Shalli Ala Sayyidina Muhammad Shollatan Tunzinaa Bihaa min Jamiil ahwali wal afaat
Kemudian diteruskan dengan membaca surah al-Fatihah yang dihadiahkan kepada Rasulullah SAW, sahabat-sahabatnya, seluruh Silsilah tarekat Qadiriyya wa Naqsabandiyya, khususnya kepada Sultan Auliya’ Syeikh Abd al-Qadir al-Jailani dan Sayyid Tha’ifa al-Sufiyya, Syeikh Junayd al-Baghdadi sebagaimana halnya ketika melakukan pembai’atan.[9]


KESIMPULAN
Ahmad Khatib Minang Kabau dilahirkan di kota Bukit tinggi, Sumatra Barat. Terdapat dua pendapat mengenai tahun kelahiranya. Menurut Prof. Dr. Hamka, Ahmad Khatib lahir tahun 1860 M. Ayahnya bernama Abdul Latif. Ibu Ahamad Khatib adalah Limbak Urai. Dilihat dari keturunan ayah dan ibunya, Ahmad Khatib Minang Kabau terhitung datang dari keluarga yang terpandang di Minag Kabau pada zamanya.
Ahmad Khatib Sambas bin Abd al-Ghaffar al­Sambasi al-Jawi. la di lahirkan di kampung Dagang atau Kampung Asam, Sambas, Kalimantan Barat pada 1217 H/1802 M. Setelah mendapatkan pendidikan agama di kampung halamannya, ia tinggal di Mekkah pada usia 19 untuk memperdalam ilmu agama dan menetap di sana. Ia menetap di Mekkah hingga akhir hayatnya.
Pembaharuan Pemikiran Islam yang dilakukan Ahmad Khatib Minang Kabau meliputi berbagai bidang yaitu :
1.      Menentang tarekat Naqsyabandiyah
2.      Kritik terhadap Adat Minang Kabau dalam pewarisan
3.      Menjadi Ahli Ilmu hitung dan Hisab

Pembaharuan Pemikiran Islam yang dilakukan Ahmad Khatib Sambas adalah sebagai berikut :
1.      Prosedur pembai’atan dalam tarekat
2.      Sepuluh Latha’if (sesuatu yang Halus)
3.      Tatacara beramal (membaca dzikir)
Kedua ulama diatas sangat besar pengaruhnya bagi pemikiran pembaharuan Islam di Indonesia, hal ini terbukti banyak murid-muridnya yang menjadi ulama-ulama terkemuka di Indonesia ataupun di Asia.

DAFTAR PUSTAKA

Arif, Armai. Pembaharuan pendidikan Islam di Minangkabau, (Jakarta: Suara ADI, 2009)
Mulyati, Sri. Tasawuf Nusantara Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka,(Jakarta: Kencana, 2006)
Nasution, Harun. Ensiklopedi Islam di Indonesia,(Jakarta : IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1992)
Steenbrink, Karel A. Beberapa aspek tentang Islam di Indonesia abad ke-19,(Jakarta : Bulan Bintang,1984)



[1] Karel A. Steenbrink, Beberapa aspek tentang Islam di Indonesia abad ke-19,(Jakarta : Bulan Bintang,1984) hlm. 139
[2] Harun Nasution, Ensiklopedi Islam di Indonesia,(Jakarta : IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1992) hlm. 87
[3] Armai Arif, Pembaharuan pendidikan Islam di Minangkabau, (Jakarta: Suara ADI, 2009) hlm. 107
[4] Harun Nasution, Ensiklopedi Islam di Indonesia,(Jakarta : IAIN Syarif  Hidayatullah Jakarta, 1992) hlm. 90
[7] Harun Nasution, Ensiklopedi Islam di Indonesia,(Jakarta : IAIN Syarif  Hidayatullah Jakarta, 1992) hlm. 90
[8] Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka,(Jakarta: Kencana, 2006) hlm. 179