Rabu, 09 November 2011

Pengertian Amtsal Al-Qur’an

 Pengertian Amtsal Al-Qur’an
      Amsal adalah bentuk jamak dari  masal. Kata masal, Misl dan masil adalah sama dengan syabah, syibh dan syabih, baik lafaz maupun maknanya.
      Dalam sastra masal adalah suatu ungkapan perkataan yang dihikayatkan dan sudah popular dengan maksud menyerupakan keadaan yang terdapat dalam perkataan itu dengan keadaan sesuatu yang karenanya perkataan itu diucapkan.maksudnya, menyerupakan sesuatu (sesorang, keadaan) dengan apayang terkandung dalam perkataan. Misalnya,رب رمية من غير رام                  (betapa banyak lemparan panah yang mengena tanpa sengaja). Artinya, betapa banyak lemparan panah yang mengenai sasaran itu dilkukan seorang pelempar yang biasanya tidak tepat lemparannya. Orang pertama yang mengucapkan masal ini adalah al-Hakam bin Yagus an-Nagri. Masal ini ia katakan kepada orang yang biasanya berbuat salah yang kadang-kadang ia berbuat benar. Atas dasar ini masal harus mempunyai maurid (sumber) yang kepadanya yang sesuatu yang lain diserupakan.
      Kata masal digunakan pula untuk menunjukan arti “keadaan” dan “kisah yang menakjubkan”. Dengan pengertian inilah ditafsirkan dengan kata-kata “masal” dalam sejumlah besar ayat. Misalnya firman Allah:
      “(Apakah) masal surga yang didalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya…” (Muhammad [47]:15) maksudnya, kisah dan sifat surga yang sangat mengagumkan.[1]
Pengertian Amtsal menurut para ulama dengan redaksi yang berbeda-beda:
1.   Menurut Rasyid Ridha
Amtsal adalah kalimat yang digunakan untuk memberi kesan dan menggerakkan hati nurani, Bila didengar terus, pengaruhnya akan menyentuh lubuk hati yang paling dalam
2.   Menurut Ibnu Al-Qayyim
”Menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam hukumya. Mendekatkan sesuatu yang abstrak dengan sesuatu yang kongkret, atau salah satu dari keduanya dengan yang lainnya”
3.   Menurut Muhammad Bakar Ismail
Amtsal alquran adalah mengumpamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Baik dengan jalan isti’arah. Kinayah. Atau tasbiyah
Berdasarkan pengertian diatas . baik secara bahasa atau istilah. Dapat disimpulkan bahwa amtsal Al-Quran adalah menampilkan sesuatu yang hanya ada dalam pikiran. dengan diskripsi sesuatu yang dapat dindera. Melalui pengungkapan yang indah dan mempesona. Baik dengan jalan tasbiyah. Istiarah. Kinayah.atau mursal.
Dilihat dari segi istilah amtsal dikenal sebagai salah satu aspek ilmu sastra arab. Pengertian amtsal dalam Al-Quran lebih tepat digunakan untuk mengacu pada kesan dan sentuhan perasaan terhadap apa yang dikandungnya. Tanpa mempersoalkan ada atau tidak adanya kisah yang berhubungan dengan amtsal itu.[2]
Suatu hakikat yang tinggi makna dan tujuannya menjadi lebih menarik jika dituangkan dalam kerangka ucapan yang baik dan mendekatkan kepada pemahaman, melalui analogi dengan sesuatu yang telah diketahui secara yakin. Tamsil (perumpamaan) merupakan kerangka yang dapat menampilkan makna-makna dalam bentuk yang hidup dan mantap di dalam pikiran, dengan cara menyerupakan sesuatu yang ghaib dengan yang hadir, yang abstrak dengan yang kongkrit, dan dengan menganalogikan sesuatu dengan hal yang serupa. Melalui tamsil betapa banyak makna yang baik menjadi lebih indah, menarik dan mempesona. Karena itu tamsil dapat lebih mendorong jiwa untuk menerima makna yang dimaksudkan dan membuat akal merasa puas dengannya. Dan tamsil adalah salah satu gaya Al-Quran dalam mengungkapkan berbagai penjelasan dan segi-segi kemukjizatan.
Zamakhsyari telah mengisyaratkan akan ketiga arti ini dalam kitabnya, al-Kasysyaf. Ia berkata: masal menurut asal perkataan mereka berarti al-misl dan an-nazir (yang serupa, yang sebanding). Kemudian setiap perkataan yang berlaku, popular, yang menyerupakan sesuatu (orang, keadaan dan sebagainya) dengan “maurid” (atau apa yang terkandung dalam) perkataan itu disebut masal. Mereka tidak menjadikan sebagai masal dan tidak memandang pantas untuk dijadikan masal yang layak diterima dan dipopulerkan kecuali perkataan yang mengandung keanehan dari berbagai segi. Dan, katanya lebih lanjut, “masal” dipinjam (dipakai secara pinjaman) untuk menunjukan keadaan, sifat atau kisah jika ketiganya dianggap penting dan mempunyai keanehan.
      Masih terdapat makna lain, yakni makna keempat,dari masal menurut ulama Bayan. Menurut mereka, masal adalah majaz murakkab yang ‘alaqah-nya musyabahah jika penggunaannya telah populer. Majaz ini pada asalnya adalah isti’arah tamsiliyah, seperti kata-kata yang diucapkan terhadap orang yang ragu-ragu dalam melakukan suatu urusan:              ما لي أراك تقدم رجلا وتؤ خر أخراى  (Mengapa aku lihat engkau melangkahkan satu kaki dan menggundurkan kaki yang lain/).
      Dikatakan pula, definisi masal ialah menonjolkan suatu makna (yang abstrak) dalam bentuk yang indrawi agar menjadi indah dan menarik,. Dengan pengertian ini maka masal tidak disyaratkan harus mempunyai maurid sebagaimana tidak diisyaratkan pula harus berupa majaz murakkab.
      Apabila memperhatikan masal-masal Qur’an yang disebutkan oleh pengarang, kita dapatkan bahwa mereka mengemukakan ayat-ayat yang berisi penggambaran kedaan suatu hal dengan keadaan hal lain. Baik penggambaran itu dengan cara isti’arah maupun dengan tasybih sarih (penyerupaan yang jelas); atau ayat-ayat yang menunjukan makna yang menarik dengan redaksi ringkas dan padat; atau ayat-ayat yang dapat dipergunakan bagi sesuatu yang menyerupai dengan apa yang berkenaan dengan ayat itu. Sebab, Allah mengungkapkan aya-ayat itu secara langsung, tanpa sumber yang mendahuluinya.
      Dengan demikian, maka amsal Qur’an tidak dapat diartikan dengan arti etimologis, asy-syabih dan an-nazir. Juga tidak tepat diartikan dengan pengertian yang disebutkan dalam kitab-kitab kebahasaan yang dipakai oleh para penggubah masal-masal, sebab amsal Qur’an bukanlah perkataan-perkataan yang dipergunakan untuk menyerupakan sesuatu dengan isi perkataan itu. Juga tidak tepat diartikan dengan arti masal menurut ulama Bayan, karena di amsal Qur’an ada yang buka isti’arah dan penggunaannya pun tidak begitu popular. Oleh karena itu maka definisi terakhir lebih cocok dengan pengertian amsal dalam Qur’an. Yaitu, menonjolkan makna dalam bentuk (perkataan) yang menarik dan padat serta mempunyai pengaruh mendalam terhadap jiwa, baik berupa tasybih ataupun perkataan bebas (lepas,bukan tasybih).
      Dalam kamus besar bahasa Indonesia amtsal adalah umpama atau perumpamaan.
      Ibnul Qayyim mendefinisikan amsal Qur’an dengan “menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam hal hukumnya, dan mendekatkan sesuatu yang abstrak (ma’qul) dengan yang indrawi(konkrit, mahsus), atau mendekatkan salah satu dari dua mahsus dengan yang lain dan menganggap salah satunya itu sebagai yang lain.”
      Lebih lanjut ia mengemukakan sejumlah contoh. Contoh-contoh tersebut sebagian besar berupa penggunaan tasybih sarih, seperti firman Allah:
      “Sesungguhnya masal kehidupan duniawi itu adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit.” (Yunus [10]:24). Sebagian lagi berupa penggunaan  tasybih dimni (penyerupaan secara tidak tegas, tidak langsung), misalnya:
      “Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang dari kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.” (al-Hujurat [49]:12). Dikatakan dimni karena dalam ayat ini tidak terdapat tasybih sarih. Dan ada pula yang tidak mengandung tasybih maupun isti’arah, seperti firman-Nya:
      Wahai manusia, telah dibuat sebuah perumpamaan,maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalt pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tidaklah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah.” (al-Hajj [22]:73). Firman-Nya, “Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun” oleh Allah disebut dengan masal padahal didalamnya tidak terdapat isti’arah maupun tasybih.
Di dalam Al-quran sendiri, kata matsal dipergunakan dalam beberapa pengertian, diantaranya :
1. Matsal diartikan dengan “perkataan atau informasi mengenai dirinya sendiri”.
2.  Matsal berarti “contoh atau tauladan”
3.  Matsal berarti “penerangan”
4.  Matsal berarti “tanda atau bukti”.[3]
5. Matsal berarti “keadaan, kisah dan sifat yang menarik perhatian serta menakjubkan”
6. matsal berarti “perbandingan”.
2.      Macam-macam Amtsal dalam Qur’an
      Amsal didalam Qur’an ada 3 macam, yaitu:[4]
1). Amsal musarrahah, ialah yang didalamnya dijelaskan dengan lafaz masal atau sesuatu yang menunjukan tasybih. Amsal seperti ini banyak ditemukan dalam Qur’an dan berikut ini beberapa diantaranya:
      a). Firman Allah mengenai orang munafik:
                 “Perumpamaan (masal) mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya, Allah menghilangkan cahaya (yang menyinari) mereka dan membiarkan mereka dalam kegelapan,tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar). Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat…” (al-baqarah [2]:17-20)
                  Didalam ayat-ayat ini Allah membuat dua perumpamaan (masal) bagi orang-orang munafik; masal yang berkenaan dengan api (nari) dalam firman-Nya, ”adalah seperti orang yang menyalakan api…”, karena di air (ma’i), “atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit…”, karena di dalam air terdapat materi kehidupan. Dan wahyu yang turun dari langit pun bermaksud untuk menerangi hati dan menghidupkannya. Allah menyebutkan juga kedudukan  dan fasilitas orang munafik dalam dua keadaan. Di satu sisi mereka bagaikan orang yang menyalakan api untuk penerangan dan kemanfaatan; mengingat mereka memperoleh kemanfaatan materi dengan sebab masuk Islam. Namun disisi lain Islam tidak memberikan pengaruh “nur”-nya terhadap hati mereka karena Allah menghilangkan cahaya (nur) yang ada dalam api itu, “Allah menghilangkan cahaya (yang menyinari) mereka”, dan membiarkan unsur “membakar” yang ada padanya. Inilah perumpamaan mereka yang berkenaan dengan api.
                  Mengenai masal mereka yang berkenaan dengan air (ma’i), Allah menyerupakan mereka dengan keadaan orang yang ditimpa hujan lebat yang disertai gelap gulita, guruh  dan kilat, sehingga terkoyaklah kekuatan orang itu dan ia meletakkan jari-jemari untuk menyumbat telinga serta memejamkan mata karena takut petir menimpanya. Ini mengingat bahwa Qur’an dengan segala peringatan, perintah, larangan dan khitabnya bagi mereka tidak ubahnya dengan petir yang turun ambar-menyambar.
b). Allah menyebut pula dua macam masal, ma’i dan nari, dalam surat ar-Rad, bagi yang hak dan yang batil:
      “Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air dilembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengambang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan, masal, (bagi) yang benar dan yang batil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tidak ada harganya;adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan.” (ar-Rad [13]:17).
            Wahyu yang telah diturunkan Allah dari langit untuk kehidupan hati diserupakan dengan air hujan yang diturunkan-Nya untuk kehidupan bumi dengan tumbuh-tumbuhan. Dan hati diserupakan dengan lembah. Arus air yang mengalir di lembah, membawa buih dan sampah.begitu pula hidayah dan ilmu bila mengalir di hati akan berpengaruh terhadap nafsu syahwat, dengan menghilangkannya. Inilah masal ma’I dalam firman-Nya “Dia telah menurunkan air (hujan) dari langit….” Demikianlah Allah membuat masal bagi yang hak dan yang batil.
            Mengenai masal nari,dikemukakan dalam firman-Nya, “Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api…” Logam, baik emas, perak, tembaga maupun besi, ketika dituangkan kedalam api, maka api akan menghilangkan kotoran, karat, yang melekat padanya, dan memisahkannya dari subtansi yang dapat dimanfaatkan, sehingga hilanglah karat itu dengan sia-sia. Begitu pula, syahwat akan dilemparkan dengan sia-sia oleh hati orang mukmin sebagaimana arus air menghanyutkan sampah atau api melemparkan karat logam.
2). Amsal Kaminah, yaitu yang didalamnya tidak disebutkan dengan jelas lafaz tamsil (pemisalan) tetapi ia menunjukan makna-makna yang indah, menarik dalam kepadatan redaksinya, dan mempunyai pengaruh tersendiri bila dipindahkan kepada yang serupa dengannya. Untuk masal ini mereka mengajukan sejumlah contoh, diantaranya:
A. Ayat-ayat yang senada dengan perkataan: خير الا مور الو سط (sebaik-baiknya urusan adalah pertengahannya), misalnya firman Allah mengenai infaq:
      “dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan jangan (pula) terlalu mengulurkannya.” (al-Isra’ [17]:29)
B. Ayat yang senada dengan perkataan:  ليس الخير كا لمعا ينة (kabar itu tidak sama dengan menyaksikan sendiri). Misalnya firman Allah tentang Ibrahim:
      “Allah berfirman: ‘Apakah kamu belum percaya?’ Ibrahim menjawab: ‘saya telah percaya, akan tetapi agar bertambah tetap hati saya.’” (al-Baqarah [2]:260)
C. Ayat yang senada dengan perkataan: كما تدين تدان (sebagaimana kamu telah menghutangkan, maka kamu akan dibayar). Misalnya:
      “barang siapa mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu.”(an-Nisa’ [4]:123).
D. Ayat yang senada dengan perkataan:   لايلدغ المؤمن من جحر مر تين(orang mukmin tidak akan disengat dua kali dari lubang yang sama). Misalnya firman Allah melalui lisan Ya’kub:
      “bagaimana aku mempercayakannya (bunyamin) kepadamu, kecuali seperti aku telah mempercayakan saudaranya (yusuf) kepadamu dahulu.”(Yusuf [12]:64)
3). Amsal Mursalah, yaitu kalimat-kalimat bebas yang tidak menggunakan lafaz tasybih secara jelas. Tetapi kalimat-kalimat itu berlaku sebagai masal.
                  Berikut ini contoh-contohnya:
      a). “Sekarang ini jelaslah kebenaran itu.” (Yusuf [12]:51),
      b). “tidak ada yang menyatakan terjadinya hari itu selain dari Allah.” (an-Najm [53]:58)
c). “telah diputuskan perkara yang kamu berdua menanyakannya (kepadaku).”  (Yusuf [12]:41),
d). “Bukankah subuh itu sudah dekat?”  (Hud [11]:81),
e). “Untuk tiap-tiap berita (yang dibawa oleh rasul-rasul) ada (waktu) terjadinya.” (an-An’am [6]:67),
f). ”Dan rencana yang jahat itu tidak akan menimpa selai orang yang merencanakannya sendiri.” (Fathir [35]:43)
g). ”Katakanlah: tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing.” (Al-Isra [17]: 84)
h). ”Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu.” (al-Baqarah [2]: 216)


3.   Urgensi Amtsal Al-Qur’an        
Amtsal memberikan kontribusi yang cukup besar dalam daya pikir bagi umat Islam dalam mendalami pemahaman terhadap Al Qur’an.[5] Untuk mengetahui betapa besar urgensi amtsal Al Qur’an, maka perlu pemakalah utarakan beberapa faedah amtsal. Manna’ Al Qaththan mengemukakan dalam kitabnya Mabahits fi Ulumil Qur’an sebagai berikut:
  1. menonjolkan suatu yang ma’qul (yang hanya bisa dijangkau akal, abstrak) dalam bentuk yang kongkrit yang dapat dirasakan indra manusia, sehingga akal dapat menerimanya, sebab pengertian abstrak tidak akan tertanam dalam benak kecuali jika ia dituangkan dalam bentuk indrawi yang dekat dengan pemahaman. Misalnya firman Allah mengenai keadaan orang yang menafkahkan harta dengan riya’ ia tidak akan mendapatkan pahala sedikitpun dari perbuatannya itu.
  2. menyingkapkan hakikat-hakikat dan mengemukakan sesuatu yang tidak tampak seakan-akan sesuatu itu tampak
  3. mengumpulkan makna yang menarik lagi indah dalam ungkapan yang padat, seperti amtsal kaminah dan amsal musalah dalam ayat-ayat diatas.
  4. mendorong orang yang diberi masal untuk berbuat sesuai dengan isi matsal, jika ia merupakan sesuatu yang disenangi jiwa. Misalnya Allah membuar matsal bagi keadaan orang yang menafkahkan harta dijalan Allah, dimana hal itu akan memberikan kepadanya kebaikan yang banyak.
  5. menjauhkan (tanfir, kebalikan no.4), jika isi masal berupa sesuatu yang dibenci jiwa.
  6. untuk memuji orang yang diberi masal.
  7. untuk menggambarkan (dengan masal itu) sesuatu yang mempunyai sifat yang dipandang buruk oleh orang banyak.
  8. amsal lebih berpengaruh pada jiwa, lebih efektif dalam memberikan nasihat, lebih kuat dalam memberikan peringatan, dan lebih dapat memuaskan hati.


       [1] ibid, h. 401
[2] wildaznov11.blogspot.com/2009/06/amstalul-quran.html
       [3] Hasby Ash-Shidieqy, Ilmu-ilmu Al-Qur’an (media pokokdalam menafsirkan al-Qur’an), Jakarta: Bulan Bintang,   1972. Cet.I h. 174
       [4] Manna Khalil al-Qattan, Studi…. h. 404 
       [5]    Nasrudin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Cet.I.  h. 259  

Senin, 31 Oktober 2011

Pengertian FILSAFAT dan ILMU

PENDAHULUAN

Bismillah, berbicara mengenai filsafat tidak jauh akan membicarakan tentang hakikat apa yang dituju, filsafat juga disebut dengan induk dari segala ilmu, mereka para ahlinya mendeskripsikan dengan pohon ilmu, dari akar akan tumbuh batang lalu daun serta buah hingga jatuh dan tumbuh lagi ditempat yang lain dan seterusnya, sehingga disebut dengan induknya ilmu.
Selanjutnya mengenai ilmu, ilmu mempunyai kriteria-kriteria tertentu bila ingin dianggap sebagai sebuah ilmu, begitupun dengan filsafat ilmu merupakan bagian dari cabang filsafat yang akan dibahas pada makalah ini yang mungkin perlu kritikan dan masukan ibu dosen serta teman-teman sekalian.
Ruang lingkup pembahasan makalah ini adalah sbb :
a.       Pengertian filsafat dan ilmu.
b.      Pengertian filsafat ilmu.
c.       Ruang lingkup filsafat ilmu.
d.      Hubungan filsafat dengan filsafat ilmu.



PEMBAHASAN
FILSAFAT ILMU

A.       Pengertian FILSAFAT dan ILMU.
Sebelum membahas pengertian filsafat ada baiknya kita mengupas terlebih dahulu tentang ilmu, ilmu dalam bahasa inggris disebut science sedangkan pengetahuan disebut knowledge, terdapat manusia yang ingin hanya tahu semata dan ada pula manusia yang haus akan pengetahuan tersebut secara mendalam contoh ketika air dididihkan panas ia tidak puas dengan itu saja namun meneliti mengapa air tersebut panas? apa yang membuatnya panas? sampai titik apa air tersebut menjadi mendidih? pertanyaan ini  yang selalu ada dan hadir dalam benak dirinya yang karena ketidakpuasan dalam dirinya hanya dengan tahu saja, pengetahuan ini yang disebut pengetahuan ilmu atau kita sebut saja dengan ilmu saja.
Sebagaimana telah dikemukakan poedjawijatna guru besar Universitas Indonesia Fakultas Psikologi dan Sastra juga guru besar di IKIP Jakarta yang sekarang bernama UNJ. Menerangkan bahwa ilmu tidak terlalu menghiraukan kegunaan, hanya hendak tahu semata, karena tujuan utamanya adalah tahu yang mendalam, sedapat mungkin benar-benar tahu apa sebab demikian dan mengapa demikian, ilmu juga memiliki segi negatif untuk mencegahnya penggunaan negatif maka etika sangat penting dalam meminimalisirnya.
Syarat-syarat terbentuknya ilmu adalah sebagai berikut :
a.       Objective
b.      Metodis
c.       Sistimatis
d.      Universal.
Dari penjelasan pengertian ilmu di atas, semoga pembaca dapat memahaminya kita langsung saja pada pengertian filsafat yang mungkin pembahasannya sangat luas.



Filsafat
Secara etimoligis atau ilmu bahasa filsafat berasal dari dua kata yakni philein yang berarti cinta dan Sophia yang berarti kebijaksanaan. Filsafat berarti cinta kebijaksanaan, cinta berarti hasrat yang besar atau berkobar-kobar atau yang sungguh-sungguh.
Istilah filsafat berawal pada pandangan bahwa pengetahuan manusia yang sensual melalui indra bukan pengetahuan sebenarnya. Para pemikir yunani ingin mengetahui tentang sebab sedalam-dalamnya. Mereka tahu bahwa pengetahuan yang demikian itu hanya dimiliki oleh para dewa, manusia hanya punya keinginan dan cita-cita semata, manusia yang mencintai pengetahuan disebut cinta kebijaksanaan, filosofia orangnya disebut filosuf, orang yang mengajukan pertanyaan sesungguhnya filsuf juga dengan mengajukan pertanyaan ia sudah berfilsafat.
Atau berfikir adalah mengelola data indrawi menjadi pengertian, atau proses mencari makna, dan kebijaksanaan artinya pengambilan keputusan yang memihak pihak yang lemah.
Sutardjo A. Wiramihardja (2006:9) mengatakan bahwa secara etimologis, filsafat berasal dari beberapa bahasa, yaitu bahasa Inggris dan bahasa Yunani. Dalam bahasa Inggris yaitu philosophy, sedangkan dalam bahasa yunani, yaitu philein atau philos dan sofein atau sophi. Socrates mengatakan bahwa filosof adalah orang yang mencintai atau mencari kebijaksanaan atau kebenaran.
Sutardjo A. Wiramihardja (20006:10) menjelaskan secara terminologis :
1.                  Wacana atau argumentasi menandakan bahwa filsafat memiliki kegiatan berupa pembicaraan yang mengandalkan pada pemikiran, rasio, tanpa verifikasi uji empiris.
2.                  Segala hal atau sarwa sekalian alam, artinya semua meteri pembicaraan filsafat adalah segala hal menyangkut keseluruhan yang bersifat universal.
3.                  Sistematis artinya perbincangan mengenai segala sesuatu dilakukaan secara teratur mengenai segala mengikuti sistem yang berlaku sehingga tahapan-tahapannya mudah diikuti.
4.                  Radikal artinya sampai ke akar-akarnya, sampai pada konsekuensinya yang terakhir.
5.                  Hakikat merupakan istilah yang menjadi ciri khas filsafat. Hakikat adalah pemahaman yang paling mendasar. Jadi filsafat tidak hanya berbicara tentang wujud atau materi sebagaimana ilmu pengetahuan, tetapi berbicara makna yang terdapat dibelakangnya. Dalam filsafat, hakikat tersebut sebagai akibat berfikir radikal.
Juhaya S. Pradja (1997:1) mengatakan bahwa secara terminologis, filsafat mempunyai arti yang bermacam-macam :
  1. Plato (427SM-347SM). Ia mengatakan bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada, ilmu yang berminat mencapai kebenaran asli.
  2. Aristoteles (381SM-322SM) Mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, etika, ekonomi, politik dan estetika.
  3. Al Farabi (wafat 950 M) Seorang filosof muslim, mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya.
Dapat diambil kesimpulan tentang pengertian filsafat, dengan lima hal mendasar :[1]
  1. Pengetahuan tentang cara berfikir kritis;
  2. Pengetahuan tentang kritik yang radikal;
  3. Pengetahuan tentang berfikir kritis sistematis;
  4. Pengetahuan tentang pemahaman universal terhadap semua persoalaan; dan
  5. Pengetahuan tentang kebenaran pemikiran yang tanpa batas dan masalah yang tidak pernah tuntas.

Sedangkan menurut poedjawaijatna dalam bukunya tahu dan pengetahuan sebuah pengantar ilmu dam filsafat medefinisikan filsafat dengan ilmu yang mencari sebab yang sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada.

Hakikat filsafat

Filsafat bermula dari pertanyaan dan berakhir pada pertanyaan. Hakikat filsafat adalah bertaya terus-menerus, karenanya dikatakan bahwa filsafat adalah sikap bertanya itu sendiri . Dengan bertanya, filsafat mencari kebenaran namun, filsafat tidak menerima kebenaran apapun sebagai sesuatu yang sudah selesai. Yang ada hanyalah sikap kritis, meragukan setiap kebenaran yang ditemukan, dalam filsafat apa yang dianggap kebenaran atau yang pada titik tertentu diyakini sebagai kebenaran selalu diliputi dengan tanda Tanya (?).

Dengan bertanya, orang menghadapi realitas suatu masalah, sebagai sebuah pertanyaan, tugas untuk digeluti, dicari tahu jawabannya. Bagi filsafat dengan cara itulah manusia menemukan akan kebenaran, pemahaman mendalam akan masalah dan realitas kehidupan, dengan bertanya manusia bisa memahami suatu masalah secara masuk akal.

Dari penjelasan diatas pada dasarnya filsafat dirangkum sehingga mempunyai ciri-ciri sbb :

a.       Deskriptif

b.      Kritis dan analisis

c.       Evaluatif dan normative

d.      Spekulatif

e.       Sistimatis

f.       Mendalam

g.      Mendasar

h.      Menyeluruh


Munculnya Filsafat

Filsafat, terutama Filsafat barat muncul di Yunani semenjak kira-kira abad ke 7 S.M.. Filsafat muncul ketika orang-orang mulai memikirkan dan berdiskusi akan keadaan alam, dunia, dan lingkungan di sekitar mereka dan tidak menggantungkan diri kepada (agama) lagi untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini.
Banyak yang bertanya-tanya mengapa filsafat muncul di Yunani dan tidak di daerah yang beradab lain kala itu seperti Babilonia, Yudea (Israel) atau Mesir. Jawabannya sederhana: di Yunani, tidak seperti di daerah lain-lainnya tidak ada kasta pendeta sehingga secara intelektual orang lebih bebas.
Orang Yunani pertama yang bisa diberi gelar filsuf ialah Thales dari Mileta, sekarang di pesisir barat Turki. Tetapi filsuf-filsuf Yunani yang terbesar tentu saja ialah: Sokrates, Plato dan Aristoteles. Sokrates adalah guru Plato sedangkan Aristoteles adalah murid Plato. Bahkan ada yang berpendapat bahwa sejarah filsafat tidak lain hanyalah “Komentar-komentar karya Plato belaka”. Hal ini menunjukkan pengaruh Plato yang sangat besar pada sejarah filsafat.
Buku karangan plato yang terkenal adalah berjudul "etika, republik, apologi, phaedo, dan krito".

Pembidangan secara umum filsafat.
Dalam tradisi filsafat Barat, dikenal adanya pembidangan dalam filsafat yang menyangkut tema tertentu.
  • Metafisika mengkaji hakikat segala yang ada. Dalam bidang ini, hakikat yang ada dan keberadaan (eksistensi) secara umum dikaji secara khusus dalam Ontologi. Adapun hakikat manusia dan alam semesta dibahas dalam Kosmologi.
  • Epistemologi mengkaji tentang hakikat dan wilayah pengetahuan (episteme secara harafiah berarti “pengetahuan”). Epistemologi membahas berbagai hal tentang pengetahuan seperti batas, sumber, serta kebenaran suatu pengetahuan.
  • Aksiologi membahas masalah nilai atau norma yang berlaku pada kehidupan manusia. Dari aksiologi lahirlah dua cabang filsafat yang membahas aspek kualitas hidup manusia: etika dan estetika.
  • Etika, atau filsafat moral, membahas tentang bagaimana seharusnya manusia bertindak dan mempertanyakan bagaimana kebenaran dari dasar tindakan itu dapat diketahui. Beberapa topik yang dibahas di sini adalah soal kebaikan, kebenaran, tanggung jawab, suara hati, dan sebagainya.
  • Estetika membahas mengenai keindahan dan implikasinya pada kehidupan. Dari estetika lahirlah berbagai macam teori mengenai kesenian atau aspek seni dari berbagai macam hasil budaya.[2]
Hubungan filsafat dengan ilmu.
            Antara filsafat dan ilmu dapat dipertemukan dalam objek materinya namun dalam objek formanya berbeda, ilmu berhenti pada ketika tidak dapat dibuktikan secara faktual filsafat tidak demikian karna objectnya ada dan mungkin ada, ilmu membahas tentang Sesuatu yang jelas seperti meneliti gejala alam dalam bahasa inggris science atau ilmu eksakta yang keberadaannya dapat dipertanggung jawabkan, tetapi apakah arti hidup,?, adakah nilai hidup dan adakah maksud dan tujuannya.? Itu semua bukanlah objek ilmu hayat.
            Kalau ada yang menjawab : hidup dan alam tak ada artinya, tak bernilai dan tak bertujuan serta sebaliknya kalau ada yang berpendapat ada nilai hidup pada umumnya. Pun hidup manusia dan serta alam manusia yang hidup itu ada tujuannya pula maka kesemuanya itu, apa merupakan jawaban yang positif atau negatif.
Bukan jawaban ilmiah, melainkan filsafat.
            Walaupun demikian antara ilmu dan filsafat ada juga hubunganya, filsafat memang dalam penyelidikannya mulai dari apa yang dialami manusia, karna tak ada pengetahuan, kalau tidak bersentuhan lebih dahulu dari indra. Sedangkan ilmu yang hendak menekaah hasil pengindraan itu tidak mungkin mengambil keputusan dengan menjalankan fikiran tanpa menggunakan dalil dan hukum fikiran yang tidak mungkin dialaminya.
            Sebaliknya, filsafatpun memerlukan data dari ilmu jika misalnya ahli filsafat manusia hendak menyelidiki manusia itu serta hendak serta hendak menentukan apakah manusia itu, ia memang harus mengetahui gejala tindakan manusia. Dalam hal ini ilmulah yang bernama psikologi akan menolong filsafat itu, filsafat akan pincang atau jauh dari kebenaran jika menghiraukan psikologi.[3]
            Agar lebih jelas bahwa ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang disusun secara sistematis yang memberi jawabab atas ontology yaitu apa yang ingin diketahui epistimologi yaitu bagaimana cara memperoleh pengetahuan dan aksiologi yaitu untuk apa kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia. Sedang filsafat adalah ilmu yang komprehensif maka dilazim disebut induknya ilmu sedangkan ilmu sifatnya parsial (pragmatisme), ilmu pengetahuan hanya membicarakan hal-hal yang khusus atau satu bidang saja.
   Ilmu berasal dari bahasa Arab, yakni ”ilm” yang diartikan pengetahuan. Dalam filsafat, ilmu dan pengetahuan itu berbeda, pengetahuan bukan berarti ilmu, tetapi ilmu merupakan akumulasi pengetahuan, sebagaimana bedanya science dan knowledge dalam bahasa Inggris.[4]
Filsafat Ilmu, kata lain dari epitomologi, berasal dari bahasa Latin, episteme yang berarti knowledge, yaitu pengetahuan; logos berarti theory. Jadi, epistemologi berarti ”teori pengetahuan” atau teori tentang metode, cara, dan dasar dari ilmu pengetahuan, atau studi tentang hakikat tertinggi, kebenaran, dan batasan ilmu manusia.[5]




B.        FILSAFAT ILMU.
Filsafat ilmu merupakan bagian dari filsafat yang menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu. Manakalah orang berfiqir secara filsafat, ketiga wilayah itu – ada, pengetahuan, dan nilai – kembali digunakan dalam mengupas dan menganalisis segala sesuatunya.[6]
Filsafat Ilmu, kata lain dari epitomologi, berasal dari bahasa Latin, episteme yang berarti knowledge, yaitu pengetahuan; logos berarti theory. Jadi, epistemologi berarti ”teori pengetahuan” atau teori tentang metode, cara, dan dasar dari ilmu pengetahuan, atau studi tentang hakikat tertinggi, kebenaran, dan batasan ilmu manusia.
Istilah ”epistemologi” pertama kali dipakai oleh J. F. Ferrier, institutes of Metaphysics(1854 M) yang membedakan dua cabang filsafat : epistemologi dan ontologi, epistemologi adalah sains filosofis (philosophical scince) tentang asal usul pengetahuan dan kebenaran. Puncak pengetahuan epistemologi adalah masalah kebenaran yang membawa ke ambang pintu metafisika (Hamlyn, 1972:94).
Filsafat ilmu atau epistomologi adalah analisis filosofis terhadap sumber-sumber pengetahuan, epitomologi mempersoalkan kebenaran pengetahuan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa filsafat ilmu adalah filsafat yang mengkaji seluk-beluk dan tata cara memperoleh suatu pengetahuan, sumber-sumber pengetahuan, metode dan pendekatan yang digunakan untuk mendapatkan pengetahuan logis dan rasional.[7]
C.       Ruang Lingkup Filsafat Ilmu
Ontology berada dalam wilayah ada. Berasal dari kata yunani Onto ( ada ) dan logos (teory), dengan demikian ontology dapat diartikan dengan teori tentang ada. Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini adalah apakah object yang ditelaah ilmu? bagaimana hakikat dari object itu?, bagaimana hubungan antara object tadi dengan daya tangkap manusia?
Epistemology berada dalam wilyah pengetahuan berasal dari kata yunani episteme (pengetahuan) dan logos (teory) dengan demikian epistimologi dapat diartikan dengan teori tentang pengetahuan. Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini antara lain: bagaimanakah proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan menjadi ilmu? Bagaimana prosedurnya? Untuk hal ini kita merambah kepada bidang filsafat metodelogi. Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita bisa mendapat pengetahuan yang benar? Apa yang dimaksud dengan kebenaran itu sendiri? Apa kritetianya? Kita pun akan masuk kecabang filsafat logika.
Aksiologi berada dalam wilayah nilai berasal dari kata yunani axion (nilai) dan logos (teori) pertanyaan yang menyangkut wilayah ini antara lain untuk apa pengetahuan ilmu digunakan? Bagaimana kaitan antara penggunaannya dengan kaidah moral? Bagaimana penentuan object yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan metode ilmiah yang digunakan dengan norma-norma moral dan profesional? Dengan begitu kita masuk pada filsafat etika.
D.       Hubungan FILSAFAT dengan FILSAFAT ILMU.
Sudah dikelaskan diatas bahwa filsafat ilmu merupakan cabang dari filsafat yang object kajiannya adalah ilmu itu sendiri, timbal balik antara keduanya tak dapat dipisahkan karena filsafat ilmu merupakan salah satu dari pembagian filsafat yang luas, singkat kata filsafat ilmu nama lain dari epistimologi ia merupakan bagian yang secara umum adalah pembagian dari filasafat.

  



PENUTUP

Kesimpulan
   Ilmu berasal dari bahasa Arab, yakni ”ilm” yang diartikan pengetahuan. Dalam filsafat, ilmu dan pengetahuan itu berbeda, pengetahuan bukan berarti ilmu, tetapi ilmu merupakan akumulasi pengetahuan, sebagaimana bedanya science dan knowledge dalam bahasa Inggris.
Filsafat Ilmu, kata lain dari epitomologi, berasal dari bahasa Latin, episteme yang berarti knowledge, yaitu pengetahuan; logos berarti theory. Jadi, epistemologi berarti ”teori pengetahuan” atau teori tentang metode, cara, dan dasar dari ilmu pengetahuan, atau studi tentang hakikat tertinggi, kebenaran, dan batasan ilmu manusia.
Filsafat ilmu adalah filsafat yang mengkaji seluk-beluk dan tata cara memperoleh suatu pengetahuan, sumber-sumber pengetahuan, metode dan pendekatan yang digunakan untuk mendapatkan pengetahuan logis dan rasional.







DAFTAR PUSTAKA
Poedjawijatna. Tahu dan Pengetahuan: pengantar ilmu dan filsafat, Jakarta: PT Rineka Cipta.
Prawironegoro, Darsono. Filsafat Ilmu, Jakarta: Nusantara Consulting, 2010.
Saebani, Beni Ahmad. Filsafat Ilmu: kontemplasi filosofis tentang seluk beluk, sumber, dan tujuan ilmu pengetahuan, Bandung: CV Pustaka Setia, 2009.
Soetrisno dan Rita Hanafie. Filsafat Ilmu dan Metode Penelitian, Jogjakarta: CV Andy, 2007.
Vardianyah, Dani. Filsafat Ilmu Komunikasi, Jakarta: PT Index, 2005.
http://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat



[1] Beni Ahmad Saebani,  Filsafat Ilmu: kontemplasi filosofis tentang seluk beluk, sumber, dan tujuan ilmu pengetahuan, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2009), h. 29.
[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat
[3] Poedjawijatna, Tahu dan Pengetahuan, (Jakarta: PT Rineka Cipta)
[4] Ibid. hal 35
[5] Ibid. hal. 30
[6] Dani Vardiansyah, Filsafat Ilmu Komunikasi, (Jakarta : PT index, 2005)
[7] Beni Ahmad Saebani, Filsafat Ilmu: kontemplasi filosofis tentang seluk beluk, sumber, dan tujuan ilmu pengetahuan, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2009)