Minggu, 29 Januari 2012

perintis tasawuf cinta

KONSEP MAHABBAH RABI’AH AL-ADAWIYAH[1]

A.        Biografi Rabi’ah al-Adawiyah: Perintis Tasawuf Cinta
Sosok sufi perempuan ini sangat dikenal dalam dunia tasawuf. Ia hidup di abad kedua Hijriah, nama lengkapnya adalah Ummu al-Khoir Rabiah binti al-Adawiyah. Di lahirkan di Bashrah tahun 95 H/741 M dan meninggal pada tahun 185 H/801 M, ada yang mengatakan bahwa ia dikuburkan di dekat kota Yerussalem.[2] Meski ia hidup di Bashrah sebagai seorang hamba sahaya dari keluarga Atiq, hal itu tidak menghalanginya tumbuh menjadi seorang sufi yang disegani di zamannya, bahkan hingga di zaman modern sekarang ini.[3]
Rabiah kecil telah ditinggalkan oleh kedua orang tuanya sejak kecil, begitu pula kakaknya juga meninggal ketika wabah penyakit melanda Bashrah. Ada yang mengatakan bahwa ia dijual untuk dijadikan budak, akan tetapi pada akhirnya ia memperoleh kemerdekaan kembali.[4] Setelah bebas Rabiah pergi ke tempat-tempat yang sunyi untuk menyendiri, kemudian ia hidup sebagai seorang zahid.[5]
Corak tasawuf Rabi’ah yang begitu menonjolkan cinta kepada Tuhan tanpa pamrih apapun merupakan suatu corak tasawuf yang baru di zamannya. Pada saat itu, tasawuf lebih didominasi corak kehidupan zuhud (asketisme) yang sebelumnya dikembangkan oleh Hasan al-Bashri yang mendasarkan ajarannya pada rasa khauf  dan roja’ kepada Allah. Corak tasawuf yang dikembangkan oleh Rabi’ah tersebut kelak membuatnya begitu dikenal dan menduduki posisi penting dalam dunia tasawuf.[6]

B.         KONSEP “MAHABBAH” RABIAH AL-ADAWIYAH
Mahabbah adalah cinta murni kepada tuhan yang menjadi puncak tasawuf Rabiah, menurutnya “al-Hubb” itu merupakan cetusan dari perasaan rindu, dan pasrah terhadap Allah SWT, dimana seluruh ingatan dan perasaan tertuju kepada-Nya. Perasaan cinta yang menyelinap dalam lubuk hati Rabiah, menyebabkan dia mengorbankan hidupnya untuk mencintai. Selama hidupnya hanya tenggelam dalam dzikir, thilawat dan wirid.
Sedemikian tulusnya cinta kepada Allah yang dikembangkan oleh Rabi’ah, bisa dilihat, misalnya, dalam sebuah munajat yang ia panjatkan:
"اِلَهِي لَوْكُنْتُ اَعْبُدُكَ خَوْفًا مِن نَارِكَ فَاَحْرِقْنِي بِنَاِر جَهَنَّمَ . واذا كُنْتُ اَعبُدُكَ طَمَعًا في جَنّتِكَ فاَحْرِمْنِيْهَا . وَاَمّا اِنْ كُنْتُ اَعْبُدُكَ مِنْ اَجْلِ مَحَبَّتِكَ فَلَا تَحْرِمْنِيْ مِن مُشَاهَدَةِ وَجْهِكَ"
 “Tuhanku, sekiranya aku beribadah kepada-Mu karena takut neraka-Mu, biarlah diriku terbakar api jahanam. Dan sekiranya aku beribadah kepada-Mu karena mengharap surga-Mu, jauhkan aku darinya. Tapi, sekiranya aku beribadah kepada-Mu hanya semata cinta kepada-Mu, Tuhanku, janganlah Kauhalangi aku melihat keindahan-Mu yang abadi.”[7]
Selain itu kecintaannya kepada Tuhan juga terlihat dalam syair:
يَا حَبِيْبَ اْلقَلْبِ مَالِى سِوَاكَا #  فَارْحَمِ اْليَوْمَ مُذْنِبًا قَدْ أَتَاكَا...
 يَا رَجَائِيْ وَرَاحَتِي وَسُرُوْرِي # قَدْ أَبَى الَقلْبُ أَنْ يُحِبَّ سِوَاكَا
Buah hatiku, hanya Engkau-lah yang kukasihi. Beri ampunlah pembuat dosa yang datang ke hadirat-Mu, Engkau-lah harapanku, kebahagiaan dan kesenanganku, hatiku telah enggan mencintai selain Engkau.
Saking besar dan tulusnya cinta Rabi’ah kepada Allah, maka seolah cintanya telah memenuhi seluruh kalbunya. Tak ada lagi tersisa ruang di hatinya untuk mencintai selain Allah, bahkan kepada Nabi Muhammad sekalipun. Pun, tak ada ruang lagi di kalbunya untuk membenci apapun, bahkan kepada setan sekalipun. Seluruh hatinya telah penuh dengan cinta kepada Tuhan semata. Hal ini juga Rabi’ah tunjukkan dengan memutuskan untuk tidak menikah sepanjang hidupnya, karena ia menganggap seluruh diri dan hidupnya hanya untuk Allah semata.[8]
Dalam Syairnya, ia mengatakan :
اُحِبُّكَ حُبَّيْنِ حُبَّ اْلهَوَى # وَحُبَّ لِأَنَّكَ اَهْلٌ لِذَاكَ # فَأَمَّا الَّذِيْ هُوَ حُبُّ اْلهَوَى # فَشُغْلِي بِذِكْرِكَ عَمَّن سِوَاكَ
وَاَمَّا الَّذِي اَنْتَ اَهْلٌ لَهُ # فَكَشْفُكَ لِيْ الحَجْبَ حَتَّى أَرَاكَ # فَلَا الْحَمْدُ فِي ذَا وَلَا ذَاكَ لِي # وَلَكِنْ لَكَ الْحَمْدُ فِي ذَا وَذَاكَ
“Aku mencintai Mu dengan dua dorongan cinta, kucintai Engkau lantaran aku cinta dan rindu serta aku cinta karena Engkau patut dicintai. Adapun cinta rindu, karena hanya Engkau kukenang selalu bukan selainMu. Adapun cinta karena Kau layak dicinta, karena Kau sibakkan tabir penutup tatapan sembahku sehingga Kau nyata bagiku. Bagiku tentang ini itu tidak ada puji, namun bagiMu sendiri segala puji”.
Menurut Rabiah al-Adawiyah tujuan satu-satunya yang wajar dan sewajarnya dicintai adalah agar dapat sampai kepada-Nya, seorang sufi harus lebih dahulu mendidik dirinya supaya mencintai segala keindahan alam ini, merenungkannya dan meresapkannya secara mendalam.
Keindahan dan kecantikan adalah ciri-ciri dari dzat yang dicintai. Cinta adalah anugrah dari rahmat Allah, cerita manusia kepada keindahan adalah disukai Allah, karena ia sendiri adalah sumber dari segala keindahan.

C.        DOKTRIN-DOKTRIN MAHABBAH
1.    Makna Cinta di Kalangan Sufi
Dalam tasawuf, konsep cinta (mahabbah) lebih dimaksudkan sebagai bentuk cinta kepada Tuhan.[9] Meski demikian, cinta kepada Tuhan juga akan melahirkan bentuk kasih sayang kepada sesama, bahkan kepada seluruh alam semesta. Hal ini bisa dilacak pada dalil-dalil syara’, baik dalam Alquran maupun hadis yang menunjukkan tentang persoalan cinta.
Secara terminologis, sebagaimana dikatakan al-Ghazali, cinta adalah suatu kecenderungan terhadap sesuatu yang memberikan manfaat. Apabila kecenderungan itu mendalam dan menguat, maka ia dinamakan rindu. Sedangkan sebaliknya, benci adalah kecenderungan untuk menghindari sesuatu yang menyakiti. Apabila kecenderungan untuk menghindari itu mendalam dan menguat, maka ia dinamakan dendam[10].
 Abu Yazid al-Busthami mengatakan bahwa cinta adalah menganggap sedikit milikmu yang sedikit dan menganggap banyak milik Dzat yang kau cintai. Sementara Sahl bin Abdullah al-Tustari menyatakan bahwa cinta adalah melakukan tindak-tanduk ketaatan dan menghindari tindak-tanduk kedurhakaan[11]. Bagi al-Junaid, cinta adalah kecenderungan hati. Artinya, kecenderungan hati seseorang kepada Allah dan segala milik-Nya tanpa rasa beban[12].
2.   Cinta sejati adalah cinta kepada Allah
Bagi al-Ghazali, orang yang mencintai selain Allah, tapi cintanya tidak disandarkan kepada Allah, maka hal itu karena kebodohan dan kepicikan orang tersebut dalam mengenal Allah. Cinta kepada Rasulullah SAW, misalnya, adalah sesuatu yang terpuji karena cinta tersebut merupakan manifestasi cinta kepada Allah. Hal itu karena Rasulullah adalah orang yang dicintai Allah. Dengan demikian, mencintai orang yang dicintai oleh Allah, berarti juga mencintai Allah itu sendiri. Begitu pula semua bentuk cinta yang ada. Semuanya berpulang kepada cinta terhadap Allah[13]. Hanya Allah Yang Maha Sempurna. Ia tidak bergantung kepada apapun dan siapa pun. Kesempurnaan itulah yang akan mengantarkan seseorang kepada cinta sejati, yaitu cinta terhadap Allah[14].
3.   Mahabbah: antara Maqam dan Hal
Sebagaimana diketahui, dalam terminologi tasawuf ada istilah maqam (tingkatan) dan hal (keadaan, kondisi kejiwaan). Menurut as-Sarraj ath-Thusi dalam kitabnya al-Luma’, maqam merujuk kepada tingkatan seorang hamba di depan Tuhan pada suatu tingkat yang ia ditempatkan di dalamnya, berupa ibadah, mujahadah, riyadhah, dan keterputusan (inqitha’) kepada Allah. Sedangkan hal adalah apa yang terdapat di dalam jiwa atau sesuatu keadaan yang ditempati oleh hati. Sementara menurut al-Junaid, hal adalah suatu “tempat” yang berada di dalam jiwa dan tidak statis[15].
Menurut al-Ghazali, cinta kepada Allah (mahabbah) merupakan tingkatan (maqam) puncak dari rangkaian tingkatan dalam tasawuf. Tak ada lagi tingkatan setelah mahabbah selain hanya sekedar efek sampingnya saja, seperti rindu (syauq), mesra (uns), rela (ridla), dan sifat-sifat lain yang serupa. Di samping itu, tidak ada satu tingkatan pun sebelum mahabbah selain hanya sekedar pendahuluan atau pengantar menuju ke arah mahabbah, seperti taubat, sabar, zuhud, dan lain-lain[16]. Cinta sebagai maqam ini juga diamini oleh Ibn Arabi. Menurutnya, cinta merupakan maqam ilah[17]i.
Berbeda dengan al-Ghazali, menurut al-Qusyairi, mahabbah merupakan termasuk hal. Bagi al-Qusyairi, cinta kepada Tuhan (mahabbah) merupakan suatu keadaan yang mulia saat Tuhan bersaksi untuk sang hamba atas keadaannya tersebut. Tuhan memberitahukan tentang cinta-Nya kepada sang hamba. Dengan demikian, Tuhan disifati sebagai yang mencintai sang hamba. Selanjutnya, sang hamba pun disifati sebagai yang mencintai Tuhan[18].
4.   Tingkatan Cinta
Dilihat dari segi orangnya, menurut Abu Nashr ath-Thusi, cinta kepada Tuhan terbagi menjadi tiga macam cinta. Pertama, cinta orang-orang awam. Cinta seperti ini muncul karena kebaikan dan kasih sayang Tuhan kepada mereka. Ciri-ciri cinta ini adalah ketulusan dan keteringatan (zikir) yang terus-menerus. Karena jika orang mencintai sesuatu, maka ia pun akan sering mengingat dan menyebutnya[19].
Kedua, cinta orang-orang yang shadiq dan mutahaqqiq. Cinta mereka ini timbul karena penglihatan mata hati mereka terhadap kekayaan, keagungan, kebesaran, pengetahuan dan kekuasaan Tuhan. Ciri-ciri cinta ini adalah “terkoyaknya tabir” dan “tersingkapnya rahasia” Tuhan. Selain itu, ciri lain adalah lenyapnya kehendak serta hilangnya semua sifat (kemanusiaan dan keinginan duniawi)[20].
Ketiga, cinta orang-orang shiddiq dan arif. Cinta macam ini timbul dari penglihatan dan pengenalan mereka terhadap ke-qadim-an Cinta Tuhan tanpa sebab (illat) apapun. Menurut Zunnun al-Mishri, sifat cinta ini adalah terputusnya cinta dari hati dan tubuh sehingga cinta tidak lagi bersemayam di dalamnya, namun yang bersemayam hanyalah segala sesuatu dengan dan untuk Allah. Sedangkan menurut Abu Ya’qub as-Susi, cirinya adalah berpaling dari cinta menuju kepada Yang Dicintai. Sementara al-Junaid menambahkan bahwa ciri cinta macam ini adalah meleburnya sifat-sifat Yang Dicintai kepada yang mencintai sebagai pengganti sifat-sifatnya[21].

D.       PENGARUH DOKTRIN MAHABBAH
Semenjak Rabi’ah al-Adawiyah mengungkapkan corak tasawuf melalui puisi, prosa, atau dialognya, ajaran cinta ilahi (mahabbah) pun mulai menjadi tema menarik di kalangan tasawuf. Gambaran tentang Tuhan pun tidak lagi begitu menakutkan seperti sebelumnya. Tuhan seolah menjadi lebih dekat dan lebih “manusiawi”.
Pada perkembangan tasawuf selanjutnya, mahabbah selalu menjadi tema yang mendapat pembahasan secara khusus. Para sufi pun banyak yang membahas lebih mendalam tentang tema ini dalam karya-karya mereka, seperti al-Hujwairi dengan Kasyf al-Mahjub, ath-Thusi dengan al-Luma’, al-Qusyairi dengan ar-Risalah al-Qusyairiyyah, al-Ghazali dengan Ihya Ulumiddin, Ibnu Arabi dalam al-Futuhat al-Makkiyah, dan lain-lain.
Pada bidang puisi, banyak para sufi yang juga sekaligus penyair yang kemudian menyenandung cinta ilahi, seperti Abu Sa’id bin Abi al-Khair, al-Jilli, Ibnu al-Faridh, Jalaluddin Rumi, dan lain-lain. Hingga sekarang, para penyair sufi kontemporer masih banyak yang menyenandungkan puisi-puisi cinta ilahi, seperti Syekh Fattah yang membentuk kelompok musik Debu yang kini ada di Indonesia.

PENUTUP
Ajaran cinta ilahi yang dikumandangkan oleh tasawuf sebenarnya bisa dijadikan sarana kita untuk lebih memperhalus jiwa. Kehalusan jiwa yang dihasilkan oleh tasawuf ini diperlukan agar agama tidak selalu dipahami secara legal-formalistik belaka yang biasanya ditampilkan oleh kalangan ahli fikih. Dengan demikian, agama pun diharapkan bisa menjadi berwajah toleran, humanis, dan menerima realitas pluralistik yang ada di tengah di masyarakat.
Meski demikian, ajaran cinta dalam Alquran sendiri, juga menghendaki keseimbangan antara sisi individual dan sosial; antara emosional dan rasional. Term-term cinta yang ditampilkan Alquran justru bersifat dinamis dan menghendaki aktualisasi riil dalam realitas sosial. Cinta dalam Alquran hampir selalu ditempatkan dalam konteks untuk mewujudkan kebaikan dan keadilan sosial.[28] Karena itu tidaklah mengherankan jika di akhir abad 19 hingga awal abad 20, beberapa kelompok sufi di Afrika Utara menjadi pendorong perlawanan terhadap penjajahan Barat. Wallahu a’lam.


  

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrasyid Ridha, Memasuki Makna Cinta, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003).
Abu al-Qasim al-Qusyari, ar-Risalah al-Qusyairiyyah, (format e-book dalam Program Syamilah).  
Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Suatu Pengantar tentang Tasawuf, terj. Ahmad Rofi’ Utsmani, (Bandung: Pustaka, 1985).
Abu Bakr Muhammad al-Kalabadzi, at-Ta’arruf li Mazhab Ahl at-Tashawwuf, (tk.: Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyyah, 1969).
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, (Beirut, Dar al-Ma’rifah, tt). 
Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusi, al-Luma’, (Mesir: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1960).
Al-Hujwairi, Kasyful Mahjub, terj. Suwardjo Muthary dan Abdul Hadi WM, (Bandung: Mizan, 1993).
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973).
Ibn al-Mulqin, Thabaqat al-Auliya, (format e-book Program al-Maktabah asy-Syamilah)
Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari al-Ja’fi, al-Jami’ as-Shahih al-Mukhtashar, ed. Mushtafa Dib al-Biqha, (Beirut: Dar Ibnu Katsir, 1987).
Muhyiddin Ibnu Arabi, al-Futuhat al-Makkiyah, (format e-book dalam Program Syamilah).
______, Dzakhair al-A’laq Syarh Tarjuman al-Asywaq, seperti dikutip oleh Syamsuddin Arif, “Ibnu Arabi dan Pluralisme” dalam www.hidayatullah.com
Muslim bin al-Hajjaj Abu al-Husain al-Qusyairi an-Naisaburi, Sahih Muslim, ed. Muhammad Fuad Abd al-Baqi, (Beirut: Dar Ihya at-Turats al-Arabi, tt).




[1]Bahan presentasi Mata Kuliah Akhlak Tasawuf II semester 6/B Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. 11 April 2011.
[2] Ibid
[3]Ibn al-Mulqin, Thabaqat al-Auliya, (format e-book Program al-Maktabah asy-Syamilah), juz 1, hal. 68.
[4] Ibid
[5] Ibid
[6]Ibid., hal. 85.
[7] Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Suatu Pengantar tentang Tasawuf, terj. Ahmad Rofi’ Utsmani, (Bandung: Pustaka, 1985). Hal 86

[8] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hal. 74.
[9] Ibid.,  hal. 70.
[10] al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, (Beirut, Dar al-Ma’rifah, tt). 
[11] Al-Hujwairi, Kasyful Mahjub, terj. Suwardjo Muthary dan Abdul Hadi WM, (Bandung:
Mizan, 1993), hal. 278-279.
[12] Abu Bakr Muhammad al-Kalabadzi, at-Ta’arruf li Mazhab Ahl at-Tashawwuf, (tk.: Maktabah
al-Kulliyat al-Azhariyyah, 1969), hal. 130.
[13] Al-Ghazali, Ihya., op. cit., juz 4, hal. 301.                     
[14] Ibid., juz 4, hal. 307.
[15] Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusi, al-Luma’, (Mesir: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1960), hal. 65-66.
[16] Al-Ghazali, Ihya., op. cit.., juz 4, hal. 294.
[17] Ibnu Arabi, al-Futuhat al-Makkiyah, (format e-book Program al-Maktabah asy-Syamilah), juz 3, hal. 465.
[18] Abu al-Qasim al-Qusyari, ar-Risalah al-Qusyairiyyah, (format e-book Program al-Maktabah asy-Syamilah), hal. 143.  
[19] Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusi, al-Luma’, (Mesir: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1960). Hal 86
[20] Ibid., hal. 87.    
[21] Ibid., hal. 88