Rabu, 23 Mei 2012

pengertian ushul fiqh


A.      Pengertian ushul fiqh
Ushul fiqh adalah tarkib idhafi (kalimat majemuk) yang telah menjadi nama bagi suatu disiplin ilmu. Ditinjau dari segi etimologi, ushul fiqh terdiri dari mudhaf dan mudhaf ilaih. Untuk itu, sebelum memberikan definisi ushul fiqh, terlebih dahulu kita harus mengetahui pengertian lafadzh “ushul” (yang menjadi mudhaf) dan “fiqh” (yang menjadi mudhaf ilaih).
Kata fiqh secara etimologi berarti “paham yang mendalam”. Seperti firman Allah yang berbunyi:
ÉA$yJsù ÏäIwàs¯»yd ÏQöqs)ø9$# Ÿw tbrߊ%s3tƒ tbqßgs)øÿtƒ $ZVƒÏtn ÇÐÑÈ  
Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) Hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun? (QS. An-nisa’: 78)
Arti fiqh dari segi istilah hukum sebenarnya tidak jauh berbeda dari arti secara etimologi yaitu: “Ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah yang digali dan dirumuskan dari dalil-dalil tafsili”.
Dari definisi tersebut, dapat diketahui bahwa pembahasan ilmu fiqh itu ada 2 macam, yaitu:
1.      Pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia yang prktis.
2.      Pengetahuan tentang dalil-dalil yang terperinci (mendetail) pada setiap permasalahan.
Adapun pengetian ashl (jamak: ushul) menurut etimologi adalah dasar (fundamen) yang di atasnya dibangun sesuatu. Pengertian ini sama dengan pengertia ushul secara terminlogi, karena ushul menurut terminologi adalah dasar yang dijadikan pijakan oleh ilmu fiqh. Dengan demikian “ushul fiqh” secara istilah teknik hukum berarti: “Ilmu tentang kaidah-kaidah yang membawa kepada usaha merumuskan hukum syara’ dari dalil yang terperinci,” atau dalam arti yang sederhana adalah: “Kaidah-kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya”.
Syeikh Kamaluddin ibn Himam dalam Tahrir mendefinisikan ushul fiqh adalah pengertian tentang kaidah-kaidah yang dijadikan sarana (alat) untuk menggali hukum-hukum fiqh. Atau dengan kata lain, ushul fiqh adalah kaidah-kaidah yang menjelaskan tentang cara (metode) pengambilan (penggalian) hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dari dalil-dalil syar’i.
Dari penjelasan sederhana di atas dapat diketahui perbedaan ushul fiqh dan fiqh. Ushul fiqh adalah pedoman atau aturan-aturan yang membatasi dan menjelaskan cara-cara yang harus diikuti seorang fakih dalam usahanya menggali dan mengeluarkan hukum syara’ dari dalilnya; sedangkan fiqh adalah hukum-hukum syara’ yang telah digali dan dirumuskan dari dalil-dalil menurut peraturan yang telah ditentukan itu.
B.       Objek dan Ruang lingkup ushul fiqh
Objek pembahasan fiqh adalah hukum yang terperinci. Adapun objek pembahasan ushul fiqh adalah mengenai metodologi penetapan hukum-hukum tersebut. Kedua disiplin ilmu tersebut sama-sama membahas dalil-dalil syara’ tetapi tinjauannya berbeda. Fiqh membahas dalil-dalil tersebut untuk menetapkan hukum-hukum cabang yang berhubungan dengan perbuatan manusia. Sedangkan ushul fiqh meninjau dari segi metode penerapan penetapan hukum, klasifikasi argumentasi serta situasi dan kondisi yang melatar belakangi dalil-dalil tersebut.
Bertitik tolak dari definisi ushul fiqh yang disebutkan di atas maka bahasan pokok ushul fiqh adalah tentang:
a.     Dalil-dalil dan hukum syara’
b.    Hukum-hukum syara’ yang terkandung dalam dalil itu
c.     Kaidah-kaidah tentang usaha dan cara mengeluarkan hukum syara’ dari dalil atau sumber yang mengandungnya.
Dalam membicarakan sumber hukum dibicarakan pula kemungkinan terjadinya benturan antara dalil-dalil dan cara menyelesaikannya. Dibahas pula tentang orang-orang yang berhak dan berwenang menggunakan kaidah atau metoda dalam melahirkan hukum syara’ tersebut.
Muhammad al-Zuhaili (ahli fiqih dan usulul fiqh dari syiria), menyatakan bahwa yang menjadi objek kajian ushul fiqh yang membedakannya dari kajian fiqh antara lain adalah :
1.    Sumber hukum islam atau dalil-dalil yang digunakan dalam menggali hukum syara, baik yang disepakati (seperti kehujahan al-quran dan sunnah), maupun yang diperselisihkan (seperti kehujahan istishan dan mashlahah al-mursalah).
2.    Mencariakan jalan keluar dari dalil-dalil yang secara zahir dianggap bertentangan.
3.    Pembahasan ijtihad, syarat-syarat, dan sifat-sifat orang yang melakukannya, baik yang menyakut sayarat-syarat umum maupun syarat-syarat khusus keilmuan yang harus dimiliki mujtahid.
4.    Pembahasan tentang hukum syara, yangmeliputi syarat-syarat dan macam-macamnya, baik yang bersifat tuntutan untuk berbuat, tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, memilih untuk berbuat atau tidak, maupun yang berkaitan dengan sebab, syarat, mani’, sah, batal/fasad, adzimah, dan ruksah.
5.    Pembahasan tentang kaidah-kaidah yang digunakan dan cara menggunakannya dalam mengistinbathkan hukum dari dalil-dalil, baik melalui kaidah bahasa maupun melalui pemahaman terhadap tujuan yang akan dicapai oleh suatu nash (ayat atau hadist).

C.      Manfaat ilmu ushul fiqh
Tujuan yang hendak dicapai dari ilmu ushul fiqh adalah untuk dapat menerapkan kaidah-kaidah terhadap dalil-dalil syara’ yang terperinci agar sampai kepada hukum-hukum syara’ yang bersifat amali, yang ditunjukkan oleh dalil-dalil itu. Dengan kaidah dan bahasannya itu dapat dipahami nash-nash syara’ dan hukum yang terkandung di dalamnya. Dalam hal ini ada dua maksud mengetahui ushul fiqh itu.
Pertama, bila kita telah mengetahui metoda ushul fiqh yang telah dirumuskan oleh ulama terdahulu, maka bila suatu ketika kita menghadapi masalah baru yang tidak mungkin ditemukan hukumnya dalam kitab-kitab fiqh terdahulu, maka kita dapat mencari jawaban hukum terhadap masalah baru itu dengan cara menerapkan kaidah-kaidah hasil rumusan ulama terdahulu itu.
Kedua, bila kita menghadapi masalah hukum fiqh yang terurai dalam kitab-kitab fiqh, tetapi mengalami kesukaran dalam penerapannya karena sudah begitu jauhnya perubahan yang terjadi, dan kita ingin mengkaji ulang rumusan fuqaha lama itu atau ingin merumuskan hukum yang sesuai dengan kemaslahatan dan tuntunan kondisi yang menghendakinya. Kaji ulang terhadap suatu kaidah atau menentukan kaidah baru itu tidak dapat mungkin dilakukan bila tidak mengetahui secara baik usaha dan cara ulama lama dalam merumuskan kaidahnya.
Secara sistematis, para ulama ushul fiqh mengemukakan kegunaan ilmu ushul fiqh, yaitu antara lain untuk:
1.      Mengetahui kaidah-kaidah dan cara-cara yang digunakan mujtahid dalam memperoleh hukum melalui metode ijtihad yang mereka susun.
2.      Memberikan gambaran mengenai sayarat-syarat yang harus dimiliki seorang mujtahid, sehingga dengan tepat ia dapat menggali hukum-hukum syara’ dari nasah.
3.      Menentukan hukum melalui berbagai metode yang dikembangkan para mujtahid, sehingga berbagai persoalan baru yang secara lahir belum ada dalam nasah; dan belum ada ketetapan hukumnya dikalangan ulama terdahulu dapat di tentukan hukumnya.
4.      Memelihara agama dari penyalahgunaan dalil yang mungkin terjadi.
5.      Menyusun kaidah-kaidah umum yang dapat diterapkan guna menetapkan hukum dari berbagai persoalan sosial yang berkembang.
6.      Mengetahui kekuatan dan kelemahan suatu pendapat sejalan dengan dalil yang digunakan dalam berijtihad, sehingga para peminat hukum islam dapat melakukan tarjih (penguatan) salah satu dalil atau pendapat tersebut dengan mengemukakan alasannya.
'fon� #z : �@ �> ne-height:150%; font-family:"Times New Roman","serif"'>Dalamperkawinansementaraini, jugaterdapatsyaratrukunnikah yang sangatberbedadenganperkawinan yang dituntunolehsyariat, yaitu:[8]
1.    Ijab Kabul
Ijabkabul yang adadalamkawinmut’ahtidakberlangsungantarawalinikahdenganmempelaipria, tetapiantarawanita yang bersangkutandengansipriacalonsuaminya.
2.    CalonIstri
Istilah istri dalam nikah mut’ah tidaklah sama dengan perkawinan/pernikahan permanen, hal ini sebagaimana diakui oleh tokoh syiah ibnu babawaih. Sehingga yang paling cocokadalahwanita yang dijadikan partner dalamkawinmut’ah.
Dalamsyi’ahpenentuanmengenaiwanita yang diperbolehkanuntukdimut’ahmemangtidaksamaantara yang ada di kitab-kitab propaganda merekadengankitab-kitabaslimereka. Biladalamkitab propaganda yang banyaktersebar di Indonesia bahwawanita yang tidakboleh di mut’ahadalah yang masihperawan, yang masihpunyasuami, dan yang melacur. Akan tetapiapabilakitapelajarikitab-kitabaslimerekamakakitaakandapatikebalikannya.
3.    BatasanWaktu
Termasukrukundalamkawinmut’ahadalahpenentuanbataswaktuberlangsungnyahubunganpria-wanita.Biladalamkawinpermanenpenetapanbataswaktudapatmerusakakad yang diucapkan, makadalamkawinmut’ahmerupakansuatukeharusan.
4.    Mas Kawin
Istilah mas kawin yang ada dalam kawin mut’ah sesungguhnya adalah sebagai ongkos untuk membayar kesenangan yang didapat dari tubuh wanita yang di kontrak.
E.            DampakNikahMut’ahSecaraYuridismaupunSosiologis
Praktik kawin/nikah mut’ah yang terjadi pada umumnya banyak melahirkan permasalahan-permasalahanyuridisdansosiologis. Berikutinimerupakanpermasalahanyuridis yang di maksudantaralainsbb:[9]
1.    Tidakadanyamawaddahdanrohmah
2.    Tidakadanyanafkah
3.    Tidakadanyamekanismepewarisanantarsuamiistri
4.    Tidakadanyamekanismecerai
Adapunpermasalahansosiologis yang dimaksudantaralainsbb:
1.    Merendahkanmartabatwanita
2.    Melegalkanseksbebasdanprostitusiatasnama agama
3.    Merusak moral paragadis
4.    PenelantaranAnak
5.    Rentanterhadap AIDS


[1]Muhammad QuraishShihab, 1001 SoalKeislaman yang PatutAndaKetahui, (Jakarta: LenteraHati, 2010),  h. 557-558
[2]Muhammad Fuad Syakir, Perkawinan Terlarang, (Jakarta: Cendekia Sentra Muslim, 2002),  h. 55
[3]Ibid. h. 58-59

[4]Muhammad Fuad Syakir, Perkawinan Terlarang, (Jakarta: Cendekia Sentra Muslim, 2002),  h. 57-58
[5]Luthfi Surkalam, Kawin Kontrak dalam Huukum Nasional Kita, (Tangerang: CV.Pamulang, 2005),  h. 15
[6]Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz, (Jakarta: Putaka As-sunnah, 2008),  h. 579
[7]Mahjuddin, MasailulFiqhiyah, (Jakarta: KalamMulia, 1998),  h. 44-45
[8]Luthfi Surkalam, Kawin Kontrak dalam Hukum Nasional Kita, (Tangerang: CV.Pamulang, 2005),  h. 16-18
[9]Ibid, h. 38-50