Sabtu, 27 Oktober 2012

hadis niat dalam mencari ilmu


PENDAHULUAN
Niat merupakan syarat layak/diterima atau tidaknya amal perbuatan, dan amal ibadah tidak akan mendatangkan pahala kecuali berdasarkan niat (karena Allah ta’ala). Waktu pelaksanaan niat dilakukan pada awal ibadah dan tempatnya di hati. Ikhlas dan membebaskan niat semata-mata karena Allah ta’ala dituntut pada semua amal shalih dan ibadah.  Seorang mu’min akan diberi ganjaran pahala berdasarkan kadar niatnya. Semua perbuatan yang bermanfaat dan mubah (boleh) jika diiringi niat karena mencari keridhoan Allah maka dia akan bernilai ibadah,yang membedakan antara ibadah dan kebiasaan rutinitas adalah niat.
Dan pada salah satu sabda nabi Muhammad SAW yang berbunyi "Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan; Barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan" (Bukhari, muslim, ahmad, abu daud, ibnu majah, tirmidzi)
Aspek niat itu meliputi 3 hal :
1.      Diyakini dalam hati.
2.      Diucapkan dengan lisan (tidak perlu keras sehingga dapat mengganggu orang lain atau bahkan menjadi ijma.
3.      Dilakukan dengan amal perbuatan.
Jadi niat akan lebih kuat bila ke tiga aspek diatas dilakukan semuanya, sebagai contoh saya berniat untuk salat, hatinya berniat untuk salat, lisannya mengucapkan niat untuk salat dan tubuhnya melakukan amal salat. Demiikian pula apabila kita mengimani segala sesuatu itu haruslah dengan hati yang yakin, ucapan dan tindakan yang selaras.
Dengan definisi niat yang seperti ini diharapkan orang Islam atau Muslim itu tidak hanya 'semantik' saja karena dengan berniat berati bersatu padunya antara hati, ucapan dan perbuatan. Niat baiknya seorang muslim itu tentu saja akan keluar dari hati yang khusyu dan tawadhu, ucapan yang baik dan santun, serta tindakan yang dipikirkan masak-masak dan tidak tergesa-gesa serta cerdas. Karena dikatakan dalam suatu hadits Muhammad apabila yang diucapkan lain dengan yang diperbuat termasuk ciri-ciri orang yang munafik.

PEMBAHASAN
NIAT DALAM MENCARI ILMU
  1. Teks Hadits
حَدَّثَنَا عَِليُّ بْنُ نَصْرِ بْنُ عَِليٍّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عََبََّادٍ الهُنَائِى حََدَّثََنَا عَِليُّ بْنُ المُبَرَكِ عَنْ أَيُّوْبَ السََّخْتِيَانِيْ عَنْ خَاِلدِ بْنِ دُرَيْكٍ عَنْ بْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِ صَلَّ الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا لِغَيْرِ اللهِ أَوْ أَرَادَ ِبه غَيْرَ اللهِ فَلْيَتَبَوَّأ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّاِر : روه الترمذي 
Ali bin Nashr bin Ali menceritakan kepada kami(Imam Tirmidzi), Muhammad bin Abbad Al Hana’i memberitahukan kepada kami, Ali bin Al Mubarak memberitahukan kepada kami, dari Ayyub AS Sikhtiyani, dari Khalid bin Duraik dari Ibnu Umar dari Nabi SAW bersabda, “Barang siapa belajar ilmu karena selain Allah atau menghendaki dengan ilmu itu selain Allah, maka hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya di neraka.”  (Riwayat At-Tirmidzi)[1]
B. Kosa Kata (Mufrodat)
تَعَلَّمَ = Belajar
عِلْمً = Ilmu
غَيْرَ = Selain
مَقْعَدَهُ = Tempat Duduk[2]
C.  Kandungan Hadits
Hadits di atas berbicara tentang pentingnya niat mencari ilmu. Dalam mencari ilmu hendaknya seseorang harus benar-benar menjaga niatnya, karena jika ia salah dalam niatnya, Maka Allah SWT telah menyiapkan tempat duduk bagi dia di neraka. Pada hakekatnya niat ikhlas karna Allah SWT tidak hanya terbatas untuk menuntut ilmu saja, melainkan segala amal baik seoarang muslim hendaknya karena Allah SWT, sebagaiman FirmanNya yang berbunyi:
ûïÏe$!$# tã t&s! ûüÅÁÎ=øƒèC  (©!$# !ž (#rßç6÷èuÏ9#wÎ)ÿrâÉDé& $tBur
Artinya : “ Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan  memurnikan ketaatan kepadanya dalam  menjalankan agama dengan lurus”
Ketika Hamka menafsirkan ayat ini, beliau mengomentari ; segala amal dan ibadat, atau apapun jua perbuatan yang bersangkutan dengan agama, yang dikerjakan dengan kesadaran, hendaklah ikhlas karena Allah swt belaka, bersih dari pada pengaruh yang lain. Dengan menjauhkan diri dari kesesatan, yaitu condong kepada kebenaran laksana jarum kompas (pedoman) kemana pun dia diputarkan, namun jarumnya selalu condong ke utara. Demikian hendaknya hidup manusia, condong kepada yang benar, tidak dapat dipalingkan kepada yang salah.[3]
            Menuntut ilmu akan menjadi sebuah ibadah dan merupakan bukti ketaan kepada Allah swt apabila di niati  sebagi mana ayat diatas. Bahwasanya ayat diatas menjelaskan, manusia diperintah hanya untuk beribadah kepada Allah swt dan berbuat ikhlas dalam menjalankan agamanya.
            Sebagai sebuah konsekuensi apabila seorang penuntut ilmu terdapat niatan yang salah bukan karena ridlo Allah swt atau hany untuk mencari kesenangan dunia belaka, maka ia tidak akan pernah mendapatkan bau harumnya surga di hari kiamat nanti
Islam adalah agama yang ajarannya banya menyerukan kepada pemeluknya untuk menuntut ilmu, karena agama tidak akan dipahami tanpa ilmu. Dalam konteks ini niatan mencari ilmu sebagaimana bunyi di dalam al- Qur’an dalam surat Al- Bayyinah ayat 5, hanya dipergunakan untuk menegakkan ajaran islam.
Sebagai motivasi para penuntut ilmu adalah mendapatkan ridlo Allah dalam bentuk konkritnya adalah surga, karena seseorang yang pergi untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan ia untuk masuk surga. Tidak dipungkiri selama perjalanan mencari ilmu, niat seorang pelajar kemungkinan besar bias berubah. Maka langkah untuk mengantisipasinya adalah sebagai berikut :
Selalu melakukan “ tajdidun niat “ ( memperbaruhi niat ) jadi untuk mengantisipasi agar orientasi penuntut ilmu tidak berubah, pada sewaktu memperbaruhi niat, merupakan jawaban yang paling tepat. Bagi seorang yang cerdik, ia akan memperbaruhi niatnya untuk memastikan hati dan perasaan agar terus teguh memadu kehidupan sebagai seorang penuntut ilmu, ia akan meneguhkan hati dan niatnya agar tidak mudah menerima bisika syaitan. Konsep niat yang diterapkan oleh Rasul bukan sekedar satu prinsip yang dipegang untuk mencapai kebahagiaan dunia saja, tetapi juga kebahagiaan di akhirat kelak.
Ayat lain yang menunjang keutamaan niat adalah :
ö@è% ¨bÎ) ÎAŸx|¹ Å5Ý¡èSur y$uøtxCur ÎA$yJtBur ¬! Éb>u tûüÏHs>»yèø9$# ÇÊÏËÈ 
Artinya : “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam (QS. Al An’aam : 162)
          Ayat ini menjelaskan tentang iman kepada Allah itu dengan kesatuan tujuan ibadat kepada-Nya pula sebab kita telah percaya bahwa Dia Esa, maka kitya atukan satukan pula ibadat kita kepada-Nya. Nabi muhammad mempelopori ibadah itu, sebab itu beliau disuruh menyatakan dengan tegas bahwa sembahyang beliau hanya karena Allah dan untuk Allah. Pertama sembahyang , karena inilah pokok. Tanda acara kepadanya dan tanda cinta kepadanya. Bila datang panggilan, maka disaat itu juga aku hadir. Allah maha besar, Allah maha besar ! yang lainkecil yang remeh berhala. Kemudian itu ialah ibadatku semuanya. Disini disebut nusuki, yang diartikan pada umumnya untuk sekalian ibadat. Sedangkan pangkal pokok arti dipakai untuk penyembelihan kurban ketika mengerjakan haji untuk Allah. Bahkan bukan itu saja, hidupku inipun dan matikupun untuk Allah, karena Allah. Semuanya itu aku serahakan kepada tuhanku Allah. Tuhan dari sarwa sekalian alam ini, tidak dua, tidak berbilang, hanya satu. Dengan segenap kesadaran hidupku ini, aku kurbankan untuk mencapai ridha-Nya dan dengan segenap kesadaran pula aku bersedia bila saja datang panggilan maut, buat menghadap hadiratnya.   
Al- Ghozali menuliskan dalam kitabnya ihya’ ulumiddin bahwa pelajar harus rajin dan bersungguh- sungguh dalam menuntut ilmu. Jangan sampai menuntut ilmu berubah menjadi keserakahan yaitu untuk mengumpulkan kelebihan duniawi. Jika demikian tujuan niatnya, berarti ia adalah seorang yang sedang berusaha untuk meruntuhkan agamanya dan menjerumuskan  dirinya, serta menjual akhiratnya yang abadi dengan kepentingan dunia yang hampa ini. Sebaliknya apabila niat dan tujuannya hanya karena Allah dan hanya dirinya yang tahu, karena hendak mencari hidayah bukan sekedar mencari kesenangan duniawi maka bergembiralah. Sebab saat ia berjalan mencari ilmu, ia akan dipayungi oleh malaikat dengan sayapnya, dan ikan-ikan di airpun akan memohonkan pengampunan terhadapa Allah agar terkabul niat nya.[4]
Menurut K.H. Moch. Jamaludin Ahmad, orang yang menuntut ilmu itu terbagi menjadi 3 golongan, yaitu :
1.      Orang yang mencari ilmu karena hendak mencari bekal ke akhirat. Niatnya hanya untuk mencapai keridhoan Allah dan bekal utuk hari  kiamat.
2.      Orang yang mencari ilmu untuk persiapan kehidupan yang fana ini, disamping niat untuk persiapan kehidupan akhirat lainnya hendak mencapi kekuasaan, kemuliaan, kemegehan, dan harta benda. Sedang ia sadar bahwa niat yang demikian itu sama sekali tidak bernilai dan tidak dihargai.
3.      Orang yang mencari ilmu karena dipengaruhi oleh syaithon, ia mempergunakan ilmunya untuk menambah kekayaan, membanggakan kemegahan dan menyombongkan diri. Ia tidak dapat digolongan kedalam golongan orang yang berilmu, karena ia telah digelapkan oleh tipu daya syaithon. Orang yang seperti ini akan rusak dan mudah diperdaya.[5]
Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa, niat dalam segala perbuatan merupakan hal yang sangat penting. Karena jika dalam niat saja seseorang telah keliru maka berat rasanya untuk menjalankan perbuatan tersebut dan hasil yang akan dicapaipun tidak akan maksimal. Apalagi dalam urusan ilmu, jangan sampai seseorang berniat untuk mencari kesenangan dunia semata, karena hal yang demikian akan menghalangi ia untuk mendapatkan ridloNya serta menghalangi langkahnya untuk menuju surga.
Pelajaran yang Terdapat dalam Hadits:
-          Niat merupakan syarat layak/diterima atau tidaknya amal perbuatan, dan amal ibadah tidak akan mendatangkan pahala kecuali berdasarkan niat (karena Allah Ta’ala).
-          Ikhlas dan membebaskan niat semata-mata karena Allah Ta’ala dituntut pada semua amal shalih dan ibadah.
-          Seorang mu’min yg akan akan belajar dengan niat yang ikhlas akan diberi ganjaran pahala.
-          Semua perbuatan yang bermanfaat dan mubah (boleh) jika diiringi niat karena mencari keridhoan Allah maka dia akan bernilai ibadah.
-          Yang membedakan antara ibadah dan adat (kebiasaan/rutinitas) adalah niat.

D. Biografi  Perawi
1.   Ibnu Umar
      Nama lengkap      : Abdullah bin Umar bin Hafsi bin ‘Asim bin Umar bin Khattab Al ‘Adawi.
      Nama panggilan   :  Abu Usman 
      Nasab                    :  ‘Adawi Quraisy
      Tahun wafat          :  74 H di Marwa al Rud
      Guru               :  Rasulullah SAW, Kholid bin Kholid bin said bin ‘ash, Salim bin Abdullah bin Umar, Umar bin nafi’, Qosim bin Muhammad bin harist.
       Murid             : Ayyub as Syikhtiyani, Yahya bin sa’id al anshori, Sulaiman bin bilal, Abdullah bin mubarok, Kholid bin haris, Abdurrohim bin sulaiman, Kholid bin duraikin
        Kwalitas             :  Imam Nasa’i berkata Tsiqoh,  Ibnu Hiban berkata Tsiqoh.[6]


2. Ayyub as Syikhtiyani
      Nama lengkap           :  Ayub bin Abi Tamimah Khaisani
      Nama panggilan        :  Ibnu Abi Tamiyah 
      Nasab                         :  As Syikhtiyani
      Tahun wafat               :  131 H
      Guru                            : Khumaid bin Hilal bin Hubairah , Hatim bin Wardani bin Mahran , Hasan bin Abi Ja’far, Kholid bin Duraikin, Muhammad bin Abdullah bin Muhajir.
        Murid                          : Isma’il bin Ibrahim bin Ma’sam, Ali bin Mubarok
         Kwalitas                     : Ibnu Hiban berkata Tsiqoh[4]

3.    Ali bin Mubarok
      Nama lengkap  :  Ali bin Mubarok Hana’i
      Nasab               :  Al Hana’i
      Guru          : Abdul Azis bin Sihab, Ayyub as Syikhtiyani, Yahya bin Abi Katsir, Muhammad bin Wasi’ Hasan bin Muslim.
      Murid         : Ibnu Mubarok, Yahya bin al ‘anir’, Muhammad bin ‘Abbad al Hana’I, Harun bin Isma’il, Utsman bin ‘Amar bin Fariz, Harun bin Ismail, Muslim bin Ibrahim.
      Kwalitas     : Ibnu Hiban berkata Tsiqah Sholih bin Ahmad berkata Tsiqoh





DAFTAR PUSTAKA
Ahmad ,Mochammad Jamaludin. Pendidikan .Jombang : Pustaka Al- Muhibbin. 2010.
Al- Apresi, M. Athiah. Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, terj. Bustami, A. Ghani, dan Djohar Bahri. Jakarta: Bulan Bintang. 1984 .
At- Tirmidzi, Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa. Sunan Tirmidzi. Beirut: Dar al Fikri. 1994 M/1414 H.
Hamka. Tafsir al- Azhar. Jakarta: PT. Pustaka Panji Mas. 1983
Ibnu Hajar al Asqolani, Syihabuddin Ahmad bin Ali. Tahdzibu al Tahdzib. Beirut : Dar al Fikri.1994 M / 1414 H
Imam al Ghozali. Ihya’ Ulumiddin. Semarang : CV. Asy Syifa’. 1990.
Sulaiman bin Abu Daud, Sunan Abu Daud. Beirut: Dar al Fikri. 1994 M / 1414 H. 
  












       [1]  Diriwaytkan oleh Tirmidzi dalam Sunannya, kitab ilmu (Beirut: Dar al Fikri, 1994 M/1414 H) Jilid 4, hal 298.
       [2] Kamus bahasa Arab
       [3]  Prof. Dr. Hamka. Tafsir al- Azhar (Jakarta: PT. Pustaka Panji Mas. 1983) Juz XXX
[4] Imam al- Ghozali. Ihya’ ‘ulumiddin  ( Semarang: CV. Asy- Syifa’.1990 ) jilid 1, hal. 13.
[5] KH. Moch. Jamaludin Ahmad. Pendidikan ( Jombang : Pustaka Al- Muhibbin. 2010) hal : 47
       [6] Syihabbudin Ahmad bin Ali bin Hajar al Asqolani – Tahdzibu al-  Tahdzib.( Beirut, Dar al- Fikri 195 M/ 1415 H). Jilid 5, hal. 3999