A.
Pengertian
Yang
dimaksud dengan “perkawinan antar orang yang berlainan agama” di sini ialah
perkawinan orang Islam (pria/wanita) dengan orang bukan Islam (pria/wanita).[1]
Sedangkan
perkawinan antar agama, dapat diartikan sebagai perkawinan dua insan yang
berbeda agama, kepercayaan atau paham[2].
B. Hukumnya
Mengenai
masalah ini Islam membedakan hukumnya sebagai berikut :
1. Perkawinan
antara seorang pria Muslim dengan wanita musyrik
Islam melarang
perkawinann antara seorang pria Muslim dengan wanita musyrik baik budak maupun
merdeka, berdasarkan firman Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 221 :[3]
wur (#qßsÅ3Zs? ÏM»x.Îô³ßJø9$# 4Ó®Lym £`ÏB÷sã 4 ×ptBV{ur îpoYÏB÷sB ×öyz `ÏiB 7px.Îô³B öqs9ur öNä3÷Gt6yfôãr& 3 wur (#qßsÅ3Zè? tûüÏ.Îô³ßJø9$# 4Ó®Lym (#qãZÏB÷sã 4 Óö7yès9ur í`ÏB÷sB ×öyz `ÏiB 78Îô³B öqs9ur öNä3t6yfôãr& 3 y7Í´¯»s9'ré& tbqããôt n<Î) Í$¨Z9$# ( ª!$#ur (#þqããôt n<Î) Ïp¨Yyfø9$# ÍotÏÿøóyJø9$#ur ¾ÏmÏRøÎ*Î/ …( ÇËËÊÈ
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang
musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu.
mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan
izin-Nya.”
Dalam ayat ini terdapat keterangan agar orang Muslim selalu
berhati-hati terhadap jebakan orang-orang musyrik untuk menggiring kita
meninggalkan agama Islam dengan menawarkan yang cantik untuk dikawininya[4].
Sehingga setelah Allah swt menurunkan ayat ini Umar bin Khattab ra
menceraikan dua istri beliau yang dinikahinya ketika masih musyrik.
Ibnu Qudamah ra. Menyatakan : tidak ada perselisihan di antara para
ulama bahwa wanita dan sembelihan semua orang kafir selain ahli kitab seperti
orang yang menyembah patung, batu, pohon dan hewan yang mereka anggap baik,
haram (bagi kaum Muslimin)[5].
Ketika
Ibnu Umar ditanya mengenai pernikahan seorang laki-laki Muslim dengan perempuan
Nasrani atau Yahudi, dia berkata, “Allah swt. telah mengharamkan
perempuan-perempuan musyrik atas laki-laki Muslim. Dan aku tidak tahu adakah
kemusyrikan yang lebih berbahaya dari pengakuan seorang perempuan bahwa
tuhannya adalah Isa as. Sesungguhnya Isa as. Hanyalah seorang hamba Allah swt”[6].
2. Perkawinan
antara seorang pria Muslim dengan wanita Ahlul Kitab
Kebanyakan
ulama berpendapat, bahwa seorang pria Muslim boleh kawin dengan wanita Ahlul
Kitab (Yahudi atau Kristen), yang berdasarkan firman Allah dalam surat
Al-Maidah ayat 5 :[7]
tPöquø9$# ¨@Ïmé& ãNä3s9 àM»t6Íh©Ü9$# ( ãP$yèsÛur tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# @@Ïm ö/ä3©9 öNä3ãB$yèsÛur @@Ïm öNçl°; ( àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB ÏM»oYÏB÷sßJø9$# àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# `ÏB öNä3Î=ö6s% !#sÎ) £`èdqßJçF÷s?#uä £`èduqã_é& tûüÏYÅÁøtèC uöxî tûüÅsÏÿ»|¡ãB wur üÉÏGãB 5b#y÷{r& 3 `tBur öàÿõ3t Ç`»uKM}$$Î/ ôs)sù xÝÎ6ym ¼ã&é#yJtã uqèdur Îû ÍotÅzFy$# z`ÏB z`ÎÅ£»sø:$# ÇÎÈ
“Pada
hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang
yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi
mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara
wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara
orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas
kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak
(pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman
(tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari
kiamat termasuk orang-orang merugi”.
Tidak
ada pertentangan di antara ayat 221 surat Al-Baqarah dengan Al-Maidah ayat 5,
karena kata asy-Syirik (kemusyrikan) tidak mencakup Ahlul Kitab
sebagaimana firman Allah swt.
óOs9 Ç`ä3t tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. ô`ÏB È@÷dr& É=»tGÅ3ø9$# tûüÏ.Îô³ßJø9$#ur tûüÅj3xÿZãB 4Ó®Lym ãNåkuÏ?ù's? èpuZÉit7ø9$# ÇÊÈ
“Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik
(mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang
kepada mereka bukti yang nyata”
(QS.Al-Bayyinah:
1)
Dalam
ayat ini, Allah swt. membedakan sebutan bagi keduanya (Ahlul Kitab dan Musyrik)
dan kata penghubung di antara kedua kata tersebut berfungsi sebagai pemisah
atau pembeda[8].
Imam Abu Ja’far ath-Thabari ra. Menyatakan :
“Pendapat yang paling rajih tentang tafsir ayat 221 dari Al-Baqarah adalah
pendapat Qatadah ra. yang menyatakan bahwa yang dimaksudkan oleh Allah swt.
dalam firman-Nya :
wur (#qßsÅ3Zs? ÏM»x.Îô³ßJø9$# 4Ó®Lym £`ÏB÷sã
4
(Dan janganlah
kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman) adalah wanita musyrik selain ahli kitab. Secara dzahir ayat ini bersifat umum. Namun kandungannya
bersifat khusus, tidak ada yang dimansukh (dihapus) sama sekali. Dan wanita
ahli kitab tidak termasuk di dalam ayat di atas, karena Allah menghalalkan bagi
kaum muslimin untuk menikahi wanita-wanita yang menjaga kehormatan dari ahli
kitab dengan firman-Nya :
àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# `ÏB öNä3Î=ö6s%
(dan
wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al
kitab sebelum kamu), sebagaimana Allah swt menghalalkan
wanita-wanita mukminat yang menjaga kehormatan[9].
Selain
berdasarkan Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 5, juga berdasarkan sunnah Nabi, di
mana Nabi pernah kawin dengan wanita Ahlul Kitab yakni Mariah al-Qibtiyah
(Kristen). Demikian pula seorang sahabat Nabi yang termasuk senior bernama
Huzaifah bin Al-Yaman pernah kawin dengan seorang wanita Yahudi, sedang para
sahabat tidak ada yang menentangnya.
Namun
demikian, ada sebagian ulama yang melarang perkawinan antara seorang pria
Muslim dengan wanita Kristen atau Yahudi, karena pada hakikatnya doktrin dan
praktik ibadah Kristen dan Yahudi itu mengandung unsur syirik yang cukup jelas,
misalnya ajaran trinitas dan mengkultuskan Nabi Isa dan ibunya Maryam (Maria)
bagi umat Kristen, dan kepercayaan Uzair putra Allah dan mengkultuskan Haikal
Nabi Sulaiman bagi umat Yahudi[10].
3. Perkawinan
antara seorang wanita Muslimah dengan pria non-Muslim.
Ulama
telah sepakat bahwa Islam melarang perkawinan antara seorang wanita Muslimah
dengan pria non-Muslim, baik calon suaminya itu termasuk pemeluk agama yang
mempunyai kitab suci, seperti Kristen dan Yahudi (revealed religion), ataupun pemeluk agama yang mempunyai kitab
serupa kitab suci, seperti Budhaisme, Hinduisme, maupun pemeluk agama atau
kepercayaan yang tidak punya kitab suci dan juga kitab yang serupa kitab suci.
Termasuk pula di sini penganut Animisme, Ateisme, Politeisme dan sebagainya.
Adapula
dalil yang menjadi dasar hukum untuk larangan kawin antara wanita Muslimah
dengan pria non-Muslim,
a. firman
Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 221 :
wur (#qßsÅ3Zè? tûüÏ.Îô³ßJø9$# 4Ó®Lym (#qãZÏB÷sã 4 Óö7yès9ur í`ÏB÷sB ×öyz `ÏiB 78Îô³B öqs9ur öNä3t6yfôãr& 3 y7Í´¯»s9'ré& tbqããôt n<Î) Í$¨Z9$# ( ª!$#ur (#þqããôt n<Î) Ïp¨Yyfø9$# ÍotÏÿøóyJø9$#ur ¾ÏmÏRøÎ*Î/ ( ßûÎiüt7ãur ¾ÏmÏG»t#uä Ĩ$¨Y=Ï9 öNßg¯=yès9 tbrã©.xtGt ÇËËÊÈ
“Dan janganlah kamu menikahkan
orang-orang musyrik dengan wanita-wanita yang mukmin sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya budak yang beriman lebih baik daripada orang musyrik, walaupun dia
menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surge dan
ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayatNya
(perintah-perintahnya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin ra.
menyatakan : Maknanya adalah janganlah kalian menikahkan orang-orang musyrik
(dengan wanita-wanita mu’min) hingga mereka beriman.
Hal ini juga dipertegas dengan firman Allah swt.
QS. Al-Mumtahanah ayat 10 :
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sÎ) ãNà2uä!%y` àM»oYÏB÷sßJø9$# ;NºtÉf»ygãB £`èdqãZÅstGøB$$sù ( ª!$# ãNn=÷ær& £`ÍkÈ]»yJÎ*Î/ ( ÷bÎ*sù £`èdqßJçFôJÎ=tã ;M»uZÏB÷sãB xsù £`èdqãèÅ_ös? n<Î) Í$¤ÿä3ø9$# ( w £`èd @@Ïm öNçl°; wur öNèd tbq=Ïts £`çlm; …( ÇÊÉÈ
”Hai
orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan
yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui
tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar)
beriman Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka)
orang-orang kafir. mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan
orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.”
Dalam ayat yang mulia ini Allah swt. melarang untuk
mempertahankan status pernikahan kaum mukminat dengan orang kafir. Bila status
pernikahan yang sudah terjadi saja harus diputus, maka tentu lebih tidak boleh
lagi bila memulai pernikahan baru.
b. Ijma’
para ulama tentang larangan perkawinan antara wanita Muslimah dengan pria
non-Muslim.
Adapun
hikmah dilarangnya perkawinan antara orang Islam (pria/wanita) dengan orang
yang bukan Islam (pria/wanita selain Ahlul Kitab), ialah bahwa antara orang
Islam dengan orang Kafir selain Kristen dan Yahudi itu terdapat way of life dan filsafat hidup yang
sangat berbeda. Sebab orang Islam percaya sepenuhnya kepada Allah sebagai
pencipta alam semesta, percaya kepada para nabi, kitab suci, malaikat, dan
percaya pula pada hari kiamat; sedangkan orang musyrik/kafir pada umumnya tidak
percaya pada semua itu. Kepercayaan mereka penuh dengan khurafat dan irasional.
Bahkan mereka selalu mengajak orang-orang yang telah beragama/beriman untuk
meninggalkan agamanya dan kemudian diajak mengikuti “kepercayaan/ideologi”
mereka.
Mengenai
hikmah diperbolehkannya perkawinan antara seorang pria Muslim dengan wanita
Kristen/Yahudi ialah karena pada hakikatnya agama Kristendan Yahudi itu satu rumpun dengan agama Islam, sebab
sama-sama agama wahyu. Maka kalau seorang wanita Kristen/Yahudi nikah dengan
pria Muslim yang baik, yang taat pada ajaran-ajaran agamanya, dapat diharapkan
atas kesadaran dan kemauannya sendiri masuk Islam, karena ia dapat menyaksikan
dan merasakan kebaikan dan kesempurnaan ajaran agama Islam, setelah ia hidup di
tengah-tengah keluarga Islam[11].
[1] Masjfuk Zuhdi, Masail
Fiqhiyah, (Jakarta: Haji Masagung, 1993), hlm.4
[2] Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah
berbagai Kasus yang dihadapi Hukum Islam Masa Kini, (Jakarta: Kalam
Mulia, 2003), hlm.39
[3] Masjfuk Zuhdi,…hlm.4
[4] Mahjuddin,…hlm.29
[5] Kholid Syamhudi, Majalah
As-Sunnah: Nikah dengan Orang Kafir,
Februari 2009 Edisi ke-11, hlm.40
[6] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah
Jilid 3 cet.2, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2011), hlm.336
[7] Masjfuk Zuhdi,…hlm.5
[8] Sayyid Sabiq…hlm.337
[9] Kholid Syamhudi,…hlm.41
[10] Masjfuk Zuhdi,…hlm.5
[11] Masjfuk Zuhdi,…hlm.7