Sabtu, 27 Oktober 2012

hukum membaca basmalah


1.        Membaca Basmalah dalam Al-Fatihah
Hadits dari Anas bin Malik r.a ia berkata:
صَلَّيْتُ مَعَ رَسُوْلِ للهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَ عُمَرَ وَ عُثْمَا نَ فَلَمْ أَسْمَعْ اَحَدًا مِنْهُمْ يَقْرَأْ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ ( رواه مسلم و الترمذي و النساءى واللفظ لمسلم )

“Saya shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Abu Bakar, Umar dan Utsman, maka saya tidak mendengar seorang pun dari mereka membaca “BISMILLAAHIR RAHMANIR RAHIM". H.R Muslim (I/170), at-Tirmidzi (244), An-Nasai (II/104),- Lafazh ini dari Muslim.
صَلَّيْتُ خَلْفَ رَسُوْلِ للهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَ عُمَرَ وَ عُثْمَا نَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُمْ فَلَمْ أَسْمَعْ اَحَدًا مِنْهُمْ يَجْهَرُ بِبِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ (رواه النسائ)
“Saya shalat di belakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, Umar, Utsman radiallahu ‘anhum, maka saya tidak mendengar seseorang dari mereka mengeraskan ‘BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM’ ”. HR.An-Nasai (II/104)
Jadi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca basmalah dengan sirr (tidak keras) dan kadang-kadang dengan jahr (keras)[1].

A.      Hanafiyah
Abu Hanifah, Abu Ast-Tsauri, dan Imam Ahmad berpendapat bahwa basmalah hanya dibaca pelan bersama al-Fatihah pada setiap rakaat. Baik imam atau munfarid harus membaca basmalah secara sir pada tiap raka’at, baik shalat sir atau jahr. Hukumnya sunnah[2].

B.       Syafi’iyah
Basmalah itu harus dibaca ketika shalat jahr ataupun sirr. Menurut Imam Syafi’i, basmalah itu merupakan satu ayat dari surah al-Fatihah[3]. Oleh sebab itu hukum membacanya ialah fardhu dan bukan sunnah. Siapa yang tidak membaca basmalah, maka shalatnya batal.

C.       Hanabilah
Hukum membaca basmalah ialah sunnah. Orang membacanya tiap raka’at dengan sirr. Basmalah bukanlah termasuk ayat surah Al-Fatihah. Ia dibaca sebelum ta’awudz, maka gugurlah hukum membaca ta’awudz dan tidak usah diulang kembali. Begitu pula bila meninggalkan membaca basmalah dan terus saja membaca Al-Fatihah, maka hukumnya gugur dan tidak usah diulang kembali.

D.      Malikiyah
Hukum membaca basmalah, ialah makruh dalam shalat fardhu, baik ia sirr atau jahr. Lain halnya bila orang meniatkan keluar dari khilafiyah. Pada waktu itu, maka dia hendaklah membaca pada permulaan surah al-Fatihah secara sirr dan hukumnya mandub. Menjaharkannya, ialah makruh[4].

Ulama yang berpendapat bahwa basmalah adalah salah satu ayat dari surah al-Fatihah, maka kalimat basmalah harus dibaca, terkait dengan kewajiban membaca al-Fatihah dalam shalat.
Adapun ulama yang menganggap bahwa basmalah itu termasuk ayat pertama setiap surah, mereka berkesimpulan bahwa basmalah harus dibaca pada setiap surah di al-Qur’an[5].

2.        Membaca Al-Fatihah dalam Shalat
Bacaan Al-Fatihah Rasulullah ketika shalat. Dari Ummu Salamah ra.ia berkata bahwa :
أَنَّهَا سُئِلَتْ عَنْ قِرَاءَةِ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ كَانَ يَقْطَعُ قِرَاءَتَهُ آيَةً آيَةً بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ الْحَمْدُ اللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ.  (رواه أحمد وأبو داود) 
“Sesungguhnya ia ditanya tentang bacaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia menjawab : “Beliau membacanya dengan memutus satu ayat-satu ayat “BISMILLAHIR RAHMAANIR RAHIIM”, “ALHAMDULILLAHI RABBBIL ‘ALAMIIN”, “ARRAHMAANIR RAHIIM”, “MAALIKIYAUMID DIIN”. HR. Ahmad dan Abu Dawud (Nailul Authar II/225)[6]

لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَا تِحَةِ الْكِتَا بِ (رواه البخارى ومسلم وأبو داود وانسا ئ وابن ماجة و اللفظ لأبى داود)
“Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Al-Fatihah”. HR. Al-Bukhari (I/138), Muslim (I/167), Abu Dawud (822), An-Nasai (I/106). Ibnu Majah (837).-Lafazh ini dari Abu Dawud.

Tentang seseorang yang tidak hafal surah Al-Fatihah, Rasulullah saw. bersabda,
قُلْ : سُبْحَانَ اللهِ , وَالْحَمْدُ لِلّهِ , وَلاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ , وَاللهُ أَكْبَرُ , وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ اِلاَّ بِا اللهِ .
“Katakanlah, ‘Subhanallah wal hamdulillah, wa la ilaha illallah wallahu akbar wa la hawla wa la quwwata illa billah. (Mahasuci Allah, segala puji milik Allah, tiada Tuhan selain Allah, Allah Mahabesar, tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah)”. HR. Abu Dawud[7]
Akan tetapi, bacaan itu hanya dikhususkan bagi orang yang benar-benar tidak mampu, meskipun telah berusaha untuk menghafalnya, atau bagi non-Arab yang mengalami kesulitan dalam hal itu.

A.      Hanafiyah
Membaca Al-Fatihah dalam shalat fardhu tidak diharuskan, dan membaca bacaan apa saja dari Al-Qur’an itu boleh, berdasarkan Al-Qur’an surah Muzzammil ayat 20:
(#râätø%$$sù $tB uŽœ£uŠs? z`ÏB Èb#uäöà)ø9$#
“karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran.”.
Membaca Al-Fatihah itu hanya diwajibkan pada dua raka’at pertama, sedangkan pada raka’at ketiga pada shalat Maghrib, dan dua raka’at terkahir pada shalat Isya dan Ashar kalau mau bacalah, bila tidak bacalah tasbih, atau diam.
B.       Syafi’iyah
Membaca Al-Fatihah itu adalah wajib pada setiap raka;at tidak ada bedanya, baik pada dua raka’at pertama maupun pada raka’at terakhir, baik pada shalat fardhu maupun sunnah. Basmalah itu merupakan bagian dari surah, yang tidak boleh ditingglkan dalam keadaan apapun. Dan harus dibaca dengan suara keras pada shalat subuh dan dua raka’at yang pertama pada shalat magrib dan Isya, selain raka’at tersebut harus dibaca dengan pelan.

C.  Malikiyah
Membaca Al-Fatihah itu harus pada setiap rakaa’at, tidak ada bedanya, baik dalam raka’at-raka’at pertama maupun pada raka’at terkahir, baik dalam shalat fardhu dan sunnah, sebagaimana pendapat Syafi’i.
Basmalah bukan termasuk dalam surah, bahkan disunahkan untuk ditinggalkan. Disunahkan menyaringkan bacaan pada shalat subuh dan dua raka’at pertama pada shalat magrib dan isya’.
D.      Hanabilah
Wajib membaca Al-Fatihah pada setiap raka’at, dan sesudahnya disunahkan membaca surah Al-Qura’an pada dua raka’at pertama. Dan pada shalat subuh, serta dua raka’at pertama pada shalat magrib dan Isya disunahkan membacanya dengan nyaring. Basmalah merupakan bagian dari surah, tetapi cara membacanya harus dengan pelan-pelan dan tidak boleh dengan keras.[8]


[1] Abdullah Fadlil Aly Sirrradj, Tuntunan Shalat Menurut Sunnah Rasulullah saw.,(Bekasi: Al-Jama’ah, 1991), hlm.168
[2] Drs. H. Kahar Masyhur, Salat Wajib Menurut Mazhab Yang Empat, (Jakarta:PT Rineka Cipta,1995),hlm.226
[3] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid,(Jakart:Pustaka Azzam, 2006), hlm,256
[4] Drs. H. Kahar Masyhur, Salat Wajib Menurut Mazhab Yang Empat,… hlm.227
[5] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid,(Jakart:Pustaka Azzam, 2006), hlm,259
[6]Abdullah Fadlil Aly Sirrradj, Tuntunan Shalat Menurut Sunnah Rasulullah saw.,(Bekasi: Al-Jama’ah, 1991), hlm.170
[7] Abu Malik Kamal, Fiqih Sunnah Wanita, ( Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007), hlm 96
[8] M. Jawad.Mughaniyah, Fiqh Lima Mazhab,(Jakarta:Lentera,2007),hlm.106-108